○27.
Tubuh Jhosua menegang mendengar kalimat kebencian itu. Hatinya pun seolah tertusuk oleh ribuan jarum kecil yang justru sangat menyakitinya. Pandangan Karina tak bisa berbohong, wanita itu benar-benar menunjukkan kebenciannya.
Pandangan Jhosua kini fokus ke arah pipi Karina yang sudah memerah, dalam hati dia mengumpat pada kebodohan yang telah dilakukannya itu.
"Sayang, kau terluka," ujarnya dengan suara yang sangat lembut. Maju satu langkah, lantas Karina langsung mundur menjauhinya.
"Jangan sentuh aku!" Karina memberikan peringatannya. Perlahan dia membalikkan tubuhnya, hendak pergi dari sana. Namun, saat kakinya akan bergerak melangkah, dia meringis kesakitan karena luka yang didapatkannya dari kecelakaan tadi justru terasa sangat sakit sekarang.
"Akhh!" Tanpa sadar dia berteriak dengan cukup kuat, tubuhnya terjatuh di lantai, membuat Jhosua membelalak tak percaya.
Apakah tamparannya itu sampai membuat tubuh Karina kesakitan? Dia pun langsung menjatuhkan lututnya ke lantai. "Astaga, apa yang terjadi dengan mu." Jhosua heboh melihat luka di lutut Karina yang cukup besar, lapisan kulit luarnya seperti sudah lepas.
"Bukan urusanmu." Karina kembali berusaha bangun agar bisa pergi secepatnya dari sana, tali Jhosua tak akan membiarkan hal tersebut sampai terjadi, dia pun langsung membawa tubuh Karina ke dalam gendongannya.
"Kau harus tetap berada di sini, nanti aku akan panggilkan dokter."
"Sial, aku tak memerlukan dokter hanya karena luka kecil seperti ini!" Karina berteriak marah.
"Tidak, ini adalah luka yang besar. Kau bisa terkena pendarahan nanti." Jhosua kini terlihat berlebihan sekali dalam menanggapi luka kecil milik Karina.
Dia melangkah menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Telinga nya sengaja ditulikan untuk sementara karena Karina terus mengoceh, wanita itu tak memiliki tenaga banyak untuk memberontak darinya agar bisa terlepas. Sampai pada akhirnya, Karina sendiri yang pasrah saja.
Terus memberontak hanya akan membuat energinya terbuang saja dan Jhosua yang keras kepala akan tetap pada pendiriannya itu.
Tubuhnya yang memang sudah lemas itu ditaruh ke atas ranjang yang terasa sangat empuk. Kala Karina akan ditidurkan, lantas dia berusaha untuk menahan tubuhnya. "Aku gak mau tiduran," tolaknya dengan suara yang sangat pelan.
Seolah mengerti, Jhosua langsung menaruh banyak di kepala ranjang agar wanita itu bisa merasa nyaman dengan posisi duduknya. "Tunggu, aku akan menghubungi dokter dulu."
Karina berusaha untuk mencegah apa yang akan Jhosua lakukan, tapi ternyata dia cukup terlambat untuk melakukan hal tersebut, karena Jhosua terlebih dahulu menjauh dengan ponsel yang sudah menempel di telinganya.
Nafasnya berhembus dengan kasar, dia menatap pada luka yang ada di tangan dan kakinya, padahal ini hanya luka kecil saja. Dengan mengobatinya dengan obat merah saja, mungkin besok sudah sembuh.
Mengapa Jhosua sangat berlebihan sekali?
Waktunya akan terbuang secara sia-sia jika dia berada di sini. Duduk diam hanya menunggu dokter yang datang. Apalagi dengan keberadaan Jhosua yang selalu disampingnya, pria itu sama sekali tak tertarik untuk meninggalkannya.
"Luka itu dari mana?" Jhosua membuka pembicaraan diantara mereka yang sebelumnya hanya ada keheningan saja.
"Nabrak gerobak sayuran tadi," jawan Karina jujur.
"Hah! Kau tabrakan!" Langsung saja Jhosua merubah posisi duduknya menghadap ke Karina, menarik tangan wanita itu pelan dan melihat ke sekujur tubuhnya. "Astaga, tanganmu juga terluka!" hebohnya. Jhosua menatap pada tangannya yang kini sudah terdapat bercak darah, dia baru saja menyentuh luka milik Karina tadi.
"Tidak-tidak, harusnya aku tak memanggil dokter. Kita harus ke rumah sakit sekarang. Katakan kepalamu pusing bukan? Kau pasti terbentur dan bisa saja mengalami geger otak---"
"Astaga Jhosua jangan berlebihan!" Karina memijat pelan keningnya yang terasa sangat pusing sebab ulah Jhosua. "Aku gakpapa, cuman tangan sama kaki ku saja yang luka dan ini adalah luka kecil yang besok sendiri akan sembuh, jadi jangan berlebihan."
"Lagian juga kenapa kau bisa kecelakaan, heh? Kau pasti kebut-kebutan di jalanan kan?"
Karina menatap Jhosua dengan sinis. Jika diingat lagi, tragedi yang menimpanya ini juga karena ulah Jhosua tadi yang terus menelponnya, bagaimana dia sampai tak kecelakaan coba?
"Jika kau tak sibuk menghubungiku, aku pasti tak akan sampai jatuh. Jadi, jika kau tanya dari mana luka ini? Jawabannya dari mu."
"Karenaku?" Kepala Jhosua langsung menunduk, rasa bersalah itu menyebar ke seluruh hatinya. "Maaf," lirihnya.
"Tidak." Karina membuang wajahnya, memilih untuk melihat ke objek yang lainnya.
Dia rasa pertengkaran harus diselesaikan.
Tok.
Tok.
Tok.
Ketukan pintu yang sedari tadi terbuka itu berhasil mengakuhkan atensi kedua orang di sana. Dilihatnya seorang pelayan yang datang dengan membawa seorang dokter.
"Tuan, Nyonya. Dokter Budi sudah datang."
Jhosua mengangguk. Langsung saja dia membangunkan tubuhnya, menghampiri dokter yang telah dipanggilnya tadi.
"Cepat periksa kekasihku sekarang!"
Dokter Budi menatap pada sosok wanita yang ada di atas ranjang. Senyuman tipis ditunjukkannya, lalu dia mulai melangkah menuju ke tempat wanita itu.
"Apakah ada keluhan dari Nyonya?"
"Aku terjatuh dari motor. Hanya ada luka di sini sama sini saja," ujarnya sembari menunjukkan luka yang tak besar itu.
Dokter Budi hanya bisa terdiam beberapa saat, lalu dia meminta Karina mengulurkan tangannya agar dia bisa memperhatikan luka tersebut, apakah berbahaya atau tidak.
"Jangan menyentuhnya!" Sebelum Dokter itu menyentuh pasiennya, terlebih dahulu Jhosua berbicara memberikan peringatan.
Tak ingin menyebabkan masalah, dokter tersebut menurut. Dia memperhatikan luka itu baik-baik, di kaki dan tangan.
"Ini adalah luka kecil yang tak menyebabkan bahaya dalam jangka waktu panjang. Cukup diberikan obat luka saja, dalam beberapa hari maka luka ini akan sembuh." Dokter Budi menjelaskan, sembari mencatat obat apa saja yang dibutuhkan oleh Karina.
"Benarkah? Dia tak mengalami geger otak kan? Atau tulangnya ada yang patah gitu? Seharusnya kau melakukan Rontgen untuk memastikan kalau dia baik-baik saja," ujar Jhosua yang kembali terlihat berlebihan.
"Saya pikir Nyonya tak perlu melakukan Rontgen, karena dia sendiri tak memiliki keluhan pada bagian kepalanya. Rontgen sendiri bisa memberikan dampak negatif pada tubuh pasien."
Jhosua menganggukkan kepalanya dengan pelan. Setidaknya saat ini dia sudah merasa lebih lega. "Baik, terimakasih. Kau bisa keluar sekarang." Mereka berjabatan tangan, lalu Dokter Budi keluar dari sini sehingga Jhosua kembali menuju ke tempat Karina berada dengan senyuman lebar yang terpasang di wajah menyebalkan nya itu.
"Sudah bukan? Aku bisa pulang sekarang. Joy pasti menungguku."
"Tidak---"
"Anakku menungguku, aku tak memiliki waktu meladenimu sekarang."
Jhosua terdiam beberapa saat, memikirkan Joy yang memang ditinggalkan oleh Karina, hatinya pun tak akan tega jika harus mrnguring Karina di sini sementara anak yang masih kecil itu di rumah sendirian.
"Baiklah, kau boleh pulang. Tapi aku harus menginap di kamar mu bersama dengan mu."