Gila.
Hanya satu kata itu saja yang bisa Karina dapatkan untuk menggambarkan sosok Jhosua. Tak henti-hentinya pria itu membuat sebuah kekacauan di dalam hidupnya.
Sangat menyebalkan sekali.
Rasanya, saat ini Karina ingin sekali mendorong pria itu ke tebing jurang, membiarkan tubuhnya terguling-guling di tempat tersebut, lalu tenggelam di bawah lautan dan menghilang selamanya.
Yah, itu hanya angan-angan nya saja.
Karina tak bisa berbuat banyak untuk membalaskan setiap perlakuan dari Jhosua. Pria itu berkuasa, itu adalah salah satu alasan yang membuat Karina kalah dengannya. Meski berapa kali dia berusaha berbuat untuk melawan, rasanya sangat sulit sekali.
"Ada apa denganmu?" tanya Maureen.
Karina mengedipkan matanya beberapa kali. Dia menengok, tangannya pun dengan cepat bergerak menyembunyikan benda pipih yang sedari tadi dipegang nya.
"Tidak, tadi hanya ada pesan masuk dari Arsen," balas Karina. Sekali lagi, dia menengok ke arah kaca spion, melihat mobil hitam itu masih mengikutinya. "Hmm, mobil itu tak benar-benar mengikuti kita. Hanya perasaanmu saja."
"Tapi---"
"Sudah jangan dipikirkan, lebih baik fokus pada perjalanan di depan," potong Karina cepat.
Tak ada jawaban dari Maureen, membuat Karina merasa yakin kalau Maureen kini mulai fokus pada perjalanan tanpa memperdulikan sekitar. Yah, setidaknya hal tersebut membuat hati Karina merasa lebih lega.
Setidaknya, mobil yang di belakang itu tak memiliki niat buruk. Meski sedikit merasa terganggu akan keberadaannya, maka Karina berusaha untuk tak mengacuhkannya. Biarkan saja para mata-mata Jhosua itu menyampaikan informasi yang tak disukai Jhosua, Karina benar-benar merasa tak peduli.
Mobil itu tiba-tiba berhenti. Lamunan Karina pun buyar, dilihatnya ke arah sebuah rumah yang ada di depannya. Rumah yang sangat tak asing baginya. "Kau ingin ikut masuk?" tanya Karina, memberikan penawaran pada sahabatnya itu.
"Tidak, kau saja. Aku akan menunggu di sini."
"Baiklah." Buru-buru Karina keluar dari mobil, berlari dengan cukup cepat menuju ke rumah besar yang ditempati oleh orangtuanya itu.
Sampai tepat di depan pintu rumah tersebut, tangannya terangkat menekan bell beberapa kali, hingga akhirnya pintu tersebut terbuka, memunculkan pelayan yang semalam menyambutnya.
"Di mana Joy?" tanya Karina. Wanita itu melangkah memasuki rumah masa kecilnya itu, dengan pandangan yang mengedar sembari mencari sosok gadis kecil ya itu.
"Nona sedang berada di taman, Nyonya."
Karina menganggukkan kepalanya. Langsing saja dia menuju ke taman yang ada di belakang rumah. Tempat yang tak terlalu luas tersebut biasa menjadi tempat refreshing mereka di sini.
Dilihatnya, Joy tengah duduk di atas rumput. Anak itu memperhatikan wanita paruh baya yang ada di sebelahnya sedang sibuk mengurus tanaman bunga.
Sebuah senyuman terbit di wajah Karina saat itu. Hatinya merasa sedikit terhibur dengan apa yang dilihatnya itu. Memang dia tak memiliki banyak waktu untuk mengajarkan Joy hal-hal yang ada di lingkungan. Tentu saja Karina sering merasakan menjadi ibu yang buruk, tetapi dia kembali berusaha untuk berubah.
"Karina!" panggil ibunya saat melihat keberadaan putrinya yang masih terdiam di bawah pohon mangga. "Ayo sini!"
"Ibu!" Joy langsung beranjak, anak itu berlari dengan cukup kencang menuju ke tempat Karina berada. Memeluk pinggangnya dengan erat, lantas Karina tersenyum dengan lebar.
"Anak Ibu, bagaimana keadaanmu?" tanya Karina. Lututnya dijatuhkan di atas rumput-rumput tersebut, menyamakan posisi antara dirinya dengan Joy.
"Baik, aku senang di sini," jawab Joy dengan penuh keceriaan.
Hati Karina sangat bersyukur kala mendengarnya, ditambah ketika dia bisa melihat dengan jelas senyum lebar yang dimiliki olehnya saat ini. Tangannya terangkat, mengelus dengan pelan puncak rambut. "Ayo kita pulang," ajak Karina dengan suara yang sangat lembut.
Anak itu mengangguk, meski begitu Karina bisa melihat raut terpaksa Joy yang berusaha untuk disembunyikan oleh gadis kecil itu.
"Di mana Ibu?" Karina bertanya kepada pelayan yang sedari tadi ada di belakangnya itu.
"Nyonya sedang berada di dalam kamarnya." Pelayan itu memberikan informasi.
"Kita temui Nenek dulu, yuk." Ditarik dengan pelan tangan Joy, mengajak anak itu menuju ke kamar ibunya yang berada di lantai dua, sehingga mereka harus naik tangga dulu untuk menuju ke sana.
Ruang kamar itu tak jauh dari tangga, tepatnya berada sekitar 10 meter dari tangga tersebut, mereka akan menemukan sebuah pintu dengan cat warna putih yang tertutup rapat itu.
Dengan penuh kesopanan, Karina pun mengetuk pintu kamar tersebut beberapa kali, hingga tak berselang lama setelahnya, dapat didengar olehnya suara sahutan dari dalam ruangan itu, menyuruhnya untuk masuk.
Karina pun membuka pintu, menemukan sosok seorang wanita paruh baya yang tampak kini tengah terduduk di atas ranjang, kakinya diluruskan sementara punggungnya bersandar di kepala ranjang, tampak wanita paruh baya itu memegang sebuah majalah.
"Karina, ayo masuk!" perintah dengan suara lembut itu mengalun dari bibirnya.
Lantas mereka langsung menurut dengan perintah tersebut. Mengambil tempat duduk yang berada tepat di bibir ranjang tersebut. "Ibu apa kabar?" Karina menyalami tangan yang tampak sudah keriput itu dengan pelan.
"Baik. Kau sendiri? Tampaknya tak baik?"
Wanita paruh baya tersebut seolah dapat membawa isi pikiran Karina, ucapannya yang terkesan tenang itu, semakin membuat Karina merasa terintimidasi saat itu juga.
"Maksud Ibu? Tentu aku baik."
"Jika sesuatu yang buruk terjadi pada kehidupan rumah tanggamu dengan Arsen, katakan pada Ibu. Ibu tak mau, suatu saat nanti mendapatkan kabar yang mengejutkan secara tiba-tiba."
Karina terdiam untuk beberapa saat. Di dalam hatinya, dia sudah merasakan keresahan, begitu juga dengan reaksi tubuhnya yang sedikit gelisah, terbukti dengan keringat dingin yang kini telah berkeluaran dari pori-pori kulitnya.
Karina menjilat pelan bibirnya, berusaha untuk menetralisirkan kembali emosi dalam hatinya.
"Sungguh, tak terjadi apa-apa antara aku dengan Arsen. Ibu jangan khawatir, ya," cetus Karina.
Mata wanita itu sempat melihat ke arah tembok untuk beberapa saat. Sudah sekitar 15 menit dia meninggalkan Maureen di dalam mobil dan sepertinya dia harus cepat-cepat kembali.
"Hmm, Bu. Aku pulang dulu, ya. Kebetulan ada urusan penting yang saat ini harus aku tangani."
"Kamu gak mau nginep dulu? Ibu dengar Arsen tengah pergi keluar kota, jadi lebih baik kau tinggal sini."
"Maaf Bu, tapi Karina bener-bener gak bisa. Karina harus menyusun beberapa nilai untuk raport akhir semester nanti," ujar Karina dengan penuh rasa bersalah karena telah menolak permintaan dari wanita paruh baya itu.
"Ya sudah, kau boleh pulang. Tapi inget ya, jika ada sesuatu buruk terjadi cepat selesaikan. Ibu gak mau mendengar berita buruk suatu saat nanti," ujar wanita tua itu, seolah mengetahui keadaan rumah tangga anak dan menantunya.