Pintu rumah itu dibanting dengan sangat kuat oleh Karina. Barang-barang yang ada di sekitarnya saja menjadi tempat pelampiasan atas seluruh kekesalan yang tengah dirasakannya saat ini. Dia melempar tas dan juga jaket yang ditenteng oleh tangannya tadi.
Tubuhnya dijatuhkan di atas sofa. Punggungnya bersandar, sementara kepala nya kini mendongak ke atas, melihat langit-langit ruangannya itu dengan ekspresi yang sangat pasrah.
Di dalam pikirannya saat ini, seperti ada perpaduan benang-benang yang sangat berantakan, semuanya saling mengikat, sehingga sangat sulit untuk memisahkan satu benang dengan benang yang lainnya.
"Apa yang terjadi semalam?" tanya Karina dengan suara yang sangat lirih. Berusaha sekeras mungkin untuk dia mengingat kejadian semalam yang justru membuat kepala dia menjadi pusing karena memaksa otak untuk bekerja.
Karina membangunkan tubuhnya. Wanita itu melangkah menuju ke kamar, berniat untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Tadi, Jhosua sempat menawarkan dia untuk mandi di rumah mewah itu dan tentunya Karina menolak. Alangkah lebih baiknya dia untuk pergi secepatnya dari pria yang bisa menjadi ancaman terbesar dalam hidupnya itu.
Melepaskan seluruh pakaiannya. Wanita itu kini tengah berdiri tepat di depan cermin, melihat tubuh tanpa pakaiannya itu dengan cermat. "Bukankah katanya, dia menyentuhku semalam? Lalu, mengapa tak ada tanda-tanda nya?" Wanita itu melangkah mendekat kaca, berusaha mencari titik kebenaran yang bisa menjadi bukti tentang ucapan Jhosua.
Namun, tetap saja, dia tak menemukan apa yang dicari olehnya.
Dari leher, dada dan juga bahunya, tak ada tanda kemerahan yang membuktikannya. Apa pria itu sengaja tak membuatnya? Atau ucapan Jhosua semalam hanyalah omong kosong semata?
Karina harus benar-benar mencari tahu akan kebenarannya. Tak akan doa biarkan jika sampai Jhosua berusaha untuk membohonginya.
"Awas saja sampai dia berbohong," ujar Karina dengan penuh kegeraman.
Dalam hatinya, dia berjanji akan memberikan pelajaran kepada Jhosua yang telah membuat hatinya merasa gusar. Pria itu juga harus menerima karma atas perbuatannya dan berharap, Jhosua berhenti untuk mengganggunya.
Ya, itulah yang diinginkannya.
***
Tok!
Tok!
Tok!
"Iya, tunggu sebentar." Buru-buru Karina beranjak dan bergegas, keluar dari kamarnya. Kakinya melangkah cepat melewati setiap anak tangga dengan tangannya yang memegang pembatas tangga tersebut untuk menjaga keamanannya.
Tanpa perlu melihat siapa tamu yang datang, dia langsung membuka pintu rumahnya itu dengan lebar-lebar. Wajah ceria yang tadi ditunjukkan olehnya langsung surut begitu melihat tamunya. Berbalik, wanita itu melangkah menuju ke sofa, meninggalkan tamunya yang masih berada di daun pintu.
Terdengar bunyi jejak kaki disusul dengan tangannya yang ditarik.
"Karina, aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam."
Karina menatap dengan malas sosok Maureen yang menjadi tamunya itu. Dia bisa melihat bagaimana wajah melas yang kini ditunjukkan oleh Maureen, wanita itu benar-benar merasa bersalah.
"Aku benar-benar pergi tak lama. Pas aku kembali, kau sudah tak ada di club itu, aku telah berusaha mencarimu, tapi sungguh aku tak menemukanmu di manapun itu."
"Ya, karena setelahnya aku langsung pergi," balas Karina dengan nada suara ketus nya itu.
Dilepaskan genggaman tangan Maureen, Karina langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Sempat dia melirik ke arah sofa yang kosong, seolah memberikan kode kepada Maureen untuk duduk di sana.
"Kau pulang sama siapa semalam?" tanya Maureen ketika dia telah susuk di samping Karina.
"Sendirian."
"Tapi kau benar-benar tak diganggu bukan sama orang-orang yang ada di club?" tanya Maureen.
"Tidak, aku benar-benar langsung pulang dan tak ada sesuatu yang buruk terjadi padaku," balas Karina dengan gelagat yang santai, seolah sedang membuat Maureen mempercayai apa yang dikatakan olehnya tadi.
Untuk saat ini, Karina memang sengaja tak menceritakan kejadian semalam kepada Maureen. Apapun itu kejadian nya, jika berkaitan dengan Jhosua, tak akan Karina biarkan seseorang mengetahuinya.
Dia hanya merasa, bahwa hanya dengan dirinya saja yang tahu, maka semuanya akan lebih baik.
"Syukurlah kalau begitu. Aku benar-benar lega mendengarnya. Tak dapat aku bayangkan bagaimana jika kau sampai diculik oleh pria hidung belang di sana."
Karina hanya bisa tersenyum saja mendengarnya. Tak dapat dibayangkan oleh nya bagaimana terkejutnya Maureen jika mengetahui kejadian yang sebenarnya.
"Lalu, kenapa kau marah padaku jika sesuatu yang buruk tak terjadi padamu?" tanya Maureen.
Decakan pelan keluar dari mulut Karina, mulai merasa sangat kesal sekali dengan ucapan sepele Maureen. "Jelas saja. Kau meninggalkan aku dalam waktu yang lama dan semalam ... aku sempat mabuk---"
"Kau mabuk? Bukankah minuman mu memiliki kadar rendah alkohol?"
"Ya, aku sempat mencoba untuk memesan minuman dengan kadar yang berbeda, alhasil semalam aku berusaha untuk pulang, meski tubuhku benar-benar tak mendukung untuk bergerak."
Mata Maureen membelalak, menunjukkan keterkejutan dia mendengar ucapan sahabatnya itu. "Aku tak salah dengar bukan? Aku ingat kau semalam mengatakan untuk gak mau mabuk," ujar wanita itu.
Tak ada jawaban dari Karina sendiri. Wanita itu mulai merasa bingung harus menjawab apa. Tak mungkin juga dia menjawab dengan asal-asalan, karena Maureen sendiri memiliki sikap yang sangat teliti dan akan terus bertanya sampai akar.
Untuk saat ini, Karina tak ingin dulu membuat Maureen curiga terhadap dirinya.
Tentang foto yang didapatkannya, mungkin akan disembunyikannya dulu dari Maureen. Suatu saat nanti, wanita itu berjanji untuk menceritakan semuanya kepada Maureen.
"Itu, semalam aku hanya ingin mencoba minuman yang lain, karena sedikit bosan menunggu. Setelah aku sedikit ya aku pulang, udah gitu aja."
Maureen menganggukkan kepalanya dan saat itu, Karina benar-benar merasa sangat berharap sekali kalau Maureen akan berhenti bertanya pada dirinya.
Namun, ternyata apa yang diinginkannya itu tak terkabulkan, karena satu detik kemudian, sahabatnya mulai membuka suaranya lagi, "Kau benar-benar tak bertemu pria kan di sana----"
"Ssst, diam. Kepalaku sangat pusing mendengar setiap pertanyaan mu," potong Karina cepat. "Kau tunggu sini sebentar, aku akan mengambil minuman." Tanpa perlu menunggu waktu lebih lama lagi, Karina meninggalkan tempat tersebut untuk menuju ke dapur.
Sementara Maureen, dia tetap menunggu di ruang tamu dengan pandangannya yang mengedar ke mana-mana. Tatapannya terkunci pada sebuah jaket hitam yang berada di sofa sebelahnya.
Satu alisnya menukik naik. Dia pun langsung mengambil jaket yang terlihat asing untuknya dan mencium aroma wangi nya.
"Seperti aroma wangi pria." Maureen membolak-balik jaket tersebut, melihat desainnya yang benar-benar ciri khas pria dewasa.
Wanita itu menengok ke arah dapur, melihat Karina yang kini mulai melangkah menuju ke tempatnya dengan membawa minuman. Dia sama sekali belum menyadari akan suatu hal yang besar terjadi padanya.
"Karina, ini jaket pria milik siapa? Bukankah Arsen tak suka mengenakan jaket?"