"Cinta bagaikan mawar liar, indah dan tenang, tetapi mampu menumpahkan darah demi mempertahankannya".
Mark A. Overby
"Aurora adalah seorang seniman yang sangat berbakat. Dia tidak pernah absen dalam memamerkan lukisannya dan dapat dipastikan, semua lukisannya akan terjual habis bahkan sebelum pameran itu selesai. Tapi sudah hampir lima tahun dia tidak ikut peran dalam pameran di galery kota Venus. Dia tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan identitasnya jadi tidak ada yang mengetahui apa yang ia lakukan sekarang. Hanya direktur dari galery ini yang bisa mempertemukan anda dengan Aurora. Tetapi beliau sedang ada kerjasama si London jadi Kami mohon maaf, untuk saat ini tidak ada yang dapat saya lakukan, "
Ronan masih memandang lukisan mawar dan onak duri berukuran besar yang berada dihadapannya. Warna merah bunga mawar, sunset oranye dengan sentuhan hitam dan dedaunan hijau tua yang menyatu dalam kombinasi dan keselarasan. Membuat siapapun yang memandang lukisan itu seperti tertarik masuk dalam keanggunan kelopak mawar merah, namun sekaligus terperangkap dalam onak duri yang meliuk bagaikan labirin.
Disamping Ronan berdiri manager galery bernama Steve dan Mark, sekretarisnya.
"Kapan Alan kembali dari London?" Tanya Ronan menyebut nama direktur galery secara casual.
"Di musim kedua, beliau akan hadir pada pameran selanjutnya." Jawab Steve. Ronan mengangguk. Ia mengucapkan terimakasih dan berpamitan sebelum berjalan keluar dari galery dan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan. Hari sudah mulai gelap dan mobil hitam itupun mulai memasuki jalan utama untuk kembali menuju hotel tempat Ronan menginap selama berada di kota Venus.
"Dia tidak keluar dari kamarnya sejak pagi. " Mark bersuara.
"Siapa?" pria yang berada di depan kemudi menoleh ke arah Mark.
"Nona Megan," jawab Mark datar. Ia tahu bosnya sedang mendengarkan mereka meskipun matanya fokus kepada berkas yang ada ditangannya.
"Dia mengikutimu sampai Venus? Waahhh..." Lucas terlihat antusias, ia membalikkan badan demi melihat ekspresi sahabatnya yang duduk di kursi belakang.
"Pak Lucas, anda sedang menyetir. Perhatikan jalan didepanmu." Kata Mark yang duduk di samping kemudi. Pria berkacamata itu tampak gugup.
"Oh, ok!" Lucas menurut dan kembali ke posisi menyetir yang sempurna. Ia melihat Ronan dari kaca spion. "Kamu tidak penasaran apa yang Megan lakukan hingga membuatnya betah berada di kamar hotel?" godanya.
"Bukan urusanku." kata Ronan santai sembari membolak-balikkan halaman berkas di pangkuannya.
"Lalu mengapa kau meminta Mark mengintainya?"
"Aku hanya tidak ingin berpapasan dengannya." jawab Ronan asal, Lucas memang seperti itu semakin Ronan menyangkal semakin gencar Lucas merecokinya dengan pertanyaan.
Lucas mengangguk-angguk walau tidak puas dengan jawaban Ronan. Tapi ia tidak ingin menyulut emosi sahabatnya, Ronan yang sedang marah sangat mengerikan.
"Aku tidak mengerti, Megan wanita yang cerdas, cantik, berbakat. Kalau aku jadi kau mungkin aku sudah jatuh dipelukannya seperti laki-laki yang lain..."
Tek... Ronan yang dari tadi sibuk membaca berkasnya mendadak terhenti demi mendengar kata-kata sahabatnya. Pupil matanya bergerak kecil, ia kehilangan fokus untuk membaca kontrak di tangannya.
"Beruntung Pak Ronan bukan laki-laki seperti Pak Lucas atau..."
"Mark!" Ronan berhasil menjangkau suaranya yang terasa amat jauh.
"Ya, pak?" Mark langsung menoleh ke jok belakang.
"Apa kau menghubungi bengkel?"
"Sudah, pak. Besok pagi pihak bengkel akan mengirimnya ke hotel."
"Bagaimana dengan pemotretan besok?"
"Sudah siap, pak. Para kru sudah ready di lokasi dan para model akan menyusul besok pagi."
"Laporkan segera jika ada masalah!"
"Baik, pak."
"Dan katakan pada orang disebelahmu untuk tidak terlalu mengurusi kehidupanku hanya karena dia memberi kita tumpangan."
"Baik, pak..." Mark baru ingin berbicara kepada Lucas ketika pria itu menyela.
Lucas melambaikan tangannya. "Sudah...sudah, aku mengerti."
Lampu-lampu jalanan mulai menyala, berpendar kemerlap menghiasi kota Venus. Menuntun mobil hitam itu menyusuri jalanan beraspal yang berpagarkan tebing dan jurang di kedua sisinya. sekitar lima belas menit lagi mereka akan sampai di grand hotel tempat mereka menginap.
Ronan Zereen menatap keluar jendela. Sebentar ia menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi mobil. Pikirannya tidak tenang.
Kedatangannya ke Venus bukan hanya tentang hal pekerjaan tapi juga atas permintaan kakeknya. Ia ingin bertemu dengan Aurora, sang pelukis yang telah bertahun-tahun tidak muncul dalam acara pameran.
Mungkin saja itu permintaan terakhir kakeknya yang sedang menjalani pengobatan di luar negeri. Dokter mendiagnosa hidup beliau tidak akan lama lagi. Adik Ronan, Arnold Zereen menemani beliau menjalani masa pengobatan sembari menjalankan tugasnya di perusahaan via online. Meski dari jarak jauh Ronan dan Arnold tidak pernah putus komunikasi. Meski jarak usia mereka hanya satu setengah tahun tapi mereka hampir tidak pernah bertengkar. Mereka menjalani persaudaraan dan pekerjaan dengan sangat baik sehingga berdirilah Fairytale Company, industri entertainment yang menyuguhkan kepopularitasan dan mimpi. Perusahaan raksasa yang siap menghadapi lawannya dan menerkam yang dibawahnya.
Tidak boleh ada cacat pada talent Fairytale, atau mereka akan merasakan neraka dunia yang tidak pernah bisa dibayangkan.
*
Ronan Zereen, mungkin sekilas tidak berbahaya untuk dipandang. Tapi hanya Megan yang tahu pria itu ada untuk menghancurkan hidupnya.
Megan duduk di tepi kasur hotel yang berbalut bedcover warna putih yang menyelimuti pria tampan yang sedang tertidur bertelanjang dada.
Ia menarik ke atas rit sleeting gaunnya kemudian mulai mengenakan heels tujuh belas centi – nya. Ponsel Megan berdering, ia bangkit sambil mengangkat panggilan yang masuk,
"Ronan akan tiba di hotel pukul tujuh." Kata suara di dalam telpon.
Megan melangkahkan kaki jenjangnya menuju balkon kamar hotel. Menikmati aroma angin senja yang bercampur dengan mendung. Tangan kirinya menggenggam erat besi pembatas balkon. Ia memejamkan kedua matanya sembari memulihkan tenaganya kembali.
"Biarkan dia datang, aku akan menyambutnya dengan cintaku,"
"Seperti kamu bisa menyentuh ujung jasnya saja," ledek si penelpon. Megan tertawa, ia mengakuinya sampai sekarang ia belum mampu menaklukan pria itu. Tiga tahun...waktu yang sangat lama.
"Kamu sudah mendapatkan informasi tentang Clarissa?"
"Hampir komplit, akan kukirimkan padamu dua hari lagi."
"Ok, aku tunggu!" Megan menjawabnya dengan nada lembut sambil memiringkan kepalanya berharap si penelpon menyadari keimutannya sekarang.
"Simpan nada bicaramu yang imut itu untuk merayu Ronan. Kamu tidak bisa mempengaruhiku."
Sekali lagi Megan tertawa. Ia menurunkan ponsel dari telinganya setelah panggilan berakhir. Dan seketika reaksi wajahnya berubah datar. Ia kembali masuk ke kamar hotel dan memantaskan diri di depan cermin hotel. Ditinggalkannya pria yang masih tertidur di ranjang dan berjalan menyusuri lorong dengan langkah pragawatinya yang memukau.
Megan Magdala. Brand Ambassador nomor satu di Fairytale selama satu tahun terakhir. Dalam tiga tahun ini ia berhasil menaiki puncak karier dan menyingkirkan wanita-wanita yang berusaha mendekati Ronan. Ia selalu menemukan jalan untuk merayu Ronan dalam setiap meeting bersamanya. Kecuali kelakuan minusnya itu, ia merupakan model yang berbakat dan profesional jadi tidak ada alasan profesional untuk Fairytale memberhentikannya.
Fairytale adalah satu-satunya jalan untuk Megan berhubungan dengan Ronan, untuk itu dia harus melakukan yang terbaik untuk mempertahankan posisinya.
Tapi selama itu pula, Ronan selalu membangun benteng tebal yang sangat sulit ditembus. Membuat Megan terkadang ingin menyerah. Tapi ia tidak bisa menyerah.
Bukankah cinta memang seperti itu?