Chereads / (UN)BREAKABLE TRUST / Chapter 11 - MIMPI BURUK BIANCA

Chapter 11 - MIMPI BURUK BIANCA

Bianca masuk ke dalam rumah minimalisnya. Rumah yang ia beli dengan uangnya sendiri, hasil dari bekerja keras siang dan malam.

Bianca langsung membersihkan diri. Ia mencuci mukanya, mencuci tangan dan kakinya. Setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi, ia masuk ke dalam kamarnya. Bianca duduk di depan sebuah cermin, ia menatap wajahnya lama.

"Kamu itu cantik Bianca, kamu bisa dapetin apapun yang kamu mau," ujar Bianca kepada pantulan dirinya sendiri di cermin.

"Hahaha, apapun yang kamu mau? Emang apa sih yang kamu mau?" Bianca menatap pantulan wajahnya di cermin dengan pandangan merendahkan.

"Cinta yang tulus? Laki-laki yang terima kamu apa adanya? Mana adaaa, jangan halu."

Bianca bangkit dari duduknya di depan cermin, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Bianca memandang langit-langit kamarnya yang ia tempeli berbagai tempelan glow in the dark. Ada yang berbentuk bulan, ada yang berbentuk bintang, ada juga yang berbentuk hewan-hewan.

"Dave, lo tuh cakep, lo tuh kaya, kenapa sih lo punya istri biasa aja?" tanya Bianca pada langit-langit kamarnya.

"Sedangkan gue yang cantik, gue yakin gue lebih punya badan yang bagus, kenapa enggak ada yang mau sama gue?" tanya Bianca lagi.

Bianca duduk dari tempat tidurnya, ia berjalan menuju ke arah lemarinya, mengeluarkan sebuah mesin kecil yang ada headset yang tersambung di mesin tersebut. Bianca memainkan sebuah suara kesukannya, suara air hujan.

Bianca memasang kedua headset di kedua telinganya. Ia selalu berharap suara air hujan dapat membawanya ke tempat yang tenang, penuh air dan menghanyutkan.

"Anjing enak banget ini," ujar sebuah suara. Kepala Bianca pening luar biasa, tubuhnya terasa begitu berat. Bianca berusaha membuka mata tapi terasa begitu berat. Tubuhnya tidak bisa bergerak, seperti ada sesuatu yang berat yang sedang menindih tubuhnya.

Dengan sekuat tenaga Bianca mencoba membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah wajah Rian, pacarnya saat itu tepat berada di atas wajahnya.

"Hai sayang. Gimana? Enak?" tanya Rian. Bianca masih berusaha mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya ia miliki. Ketika kesadaran itu kembali ia miliki, ia baru sadar apa yang sedang dilakukan oleh Rian. Rian merenggut sesuatu yang paling berharga darinya. Sesuatu yang ia jaga selama hidupnya.

"Argghhhhhh!!!!"

Bianca bangun dengan keringat yang mengalir deras di sekujur tubuhnya. Mimpi itu lagi, mimpi itu datang lagi. Bianca mengatur nafasnya, ia seperti habis berlari berkilo-kilo meter jauhnya, padahal sejak tadi ia hanya berada di atas tempat tidurnya.

"Brengsek," ujar Bianca.

Ia bangun dari tempat tidur, mengambil sebatang rokok dan korek yang ada di atas meja riasnya. Bianca menghisap rokoknya kuat-kuat dan menghembuskannya dengan kuat. Tubuh Bianca gemetar luar biasa.

Semenjak kejadian itu, hampir setiap Bianca memejamkan mata, kejadian itu kembali terulang dalam tidurnya. Bianca tidak tahu harus melakukan apa selain merokok untuk menghempaskan pikiran-pikiran buruk yang menghantuinya.

"Rian bener-bener brengsek," ucap Bianca dengan emosi yang begitu sesak. Bianca masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan dirinya dengan mandi. Bianca mandi dengan cepat, ia memakai baju dan keluar dari rumahnya.

Bianca mengendarai mobil dengan perasaan kalut. Setiap mimpi itu datang, Bianca tidak pernah bisa berfikir jernih. Bianca membenci dirinya sendiri yang ia anggap kotor karena telah dirusak oleh orang bernama Rian.

Bianca memutar radio, berusaha untuk mengalihkan perhatiannya dari pikirannya yang macam-macam. Lagu You Raise Me Up yang dinyanyikan kembali oleh Westlife diputar di radio. Bianca berusaha bernyanyi untuk menghilangkan perasaan gundahnya, namun ternyata tidak juga bisa hilang pikiran-pikiran buruk itu.

20 menit Bianca mengendarai mobilnya, ia akhirnya sampai di sebuah tempat yang dituju. Bianca berdiri di sebuah rumah berwarna putih, rumah yang selalu Bianca datangi ketika ia merasa membutuhkan pertolongan. Bianca mengetuk pintu rumah itu.

"Iya sebentar…" ucap seorang wanita dari dalam rumah.

Bianca berhenti mengetuk dan menunggu wanita yang ada di dalam rumah keluar dari rumahnya. Bianca memperhatikan rumah yang minimalis yang di cat bernuansa warna putih ini.

"Bianca…" panggil seorang wanita yang muncul dari dalam rumah.

"Iya mbak.." jawab Bianca.

"Masuk-masuk Bi.." ujar wanita itu.

Bianca masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang selalu menjadi saksi perjalanan panjang Bianca menuju 'normal', rumah yang selalu menjadi saksi air mata Bianca, rumah yang benar-benar menjadi tempat Bianca pulang jika tidak tahu harus pergi kemana.

"Mbak Riska, maaf ya mbak aku selalu datang diwaktu-waktu yang random.." ujar Bianca.

"It's oke kok Bi. Kamu bisa dateng kapanpun kamu mau," ujar Riska, wanita berusia pertengahan 30an yang selalu Bianca hubungi jika ia merasa ada yang salah pada dirinya, terutama setelah mimpi-mimpi buruk yang selalu ia dapatkan.

"Kamu kenapa Bi?" tanya mbak Riska.

"Aku mimpi itu lagi mbak," ujar Bianca. Air matanya sudah hampir mengalir. Entah mengapa di hadapan Riska, sepupunya itu, Bianca bisa menangis, Bianca bisa menjadi rapuh, ia bisa menjadi dirinya apa adanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

"Ya ampun Bi.." Riska memeluk Bianca dengan erat. Ia ingin bisa berbagi rasa dengan Bianca. Riska ingin meringankan perasaan apapun yang mengganggu Bianca saat ini. Riska adalah satu-satunya orang dimana Bianca bisa mengeluarkan sisinya yang rapuh.

Bianca menangis, menangis dalam pelukan Riska. Seperti yang selalu ia lakukan untuk melegakan perasannya. Untuk menenangkan perasannya. Biasanya Riska tidak akan berkata apapun, ia hanya akan memeluk Bianca sampai perasannya tenang.

Tidak ada orang lain yang akan memeluk Bianca seerat Riska memeluknya. Bianca hanya membutuhkan sosok yang selalu ada untuknya jika ia jatuh, Bianca hanya memerlukan beberapa jam untuk menangis dalam pelukan seseorang dan perasaannya akan jadi jauh lebih baik.

"Tunggu sini ya Bi, mbak bikinin kamu makanan sama minuman biar kamu lebih enak perasannya," ujar Mbak Riska setelah tangis Bianca mereda. Riska bangkit menuju dapur. Ia membuatkan Bianca coklat hangat dan setangkup sandwich isi telur.

"Nih Bi, makan dulu," Riska menyodorkan coklat hangat dan sandwich yang ia buat. Bianca langsung memakannya dengan lahap. Ia baru ingat belum makan apa-apa lagi setelah pulang dari rumah Dave tadi siang.

"Mbak, aku tidur di sini ya malem ini," pinta Bianca sambil mengunyah sandwich yang dibuat oleh Riska.

"Iya Bi, kamu bisa tidur sini kapanpun kamu mau," jawab Riska. Ia tersenyum, di hadapannya tidak ada Bianca yang nakal, tidak ada Bianca penggoda laki-laki, tidak ada Bianca yang sensual. Yang ada hanya Bianca, si anak kecil yang membutuhkan perhatian, yang membutuhkan kasih sayang.

"Mbak makasih banyak ya," ujar Bianca.

"Sama-sama.." jawab Riska.

"Eh mbak, aku mau cerita.." ujar Bianca.

"Cerita apa tuh?" tanya Riska.

"Aku kan lagi deketin suami orang mbak.."