"Bianca, plis kamu jangan macem-macem," ujar Riska.
"Ih abisnya gemes banget mbak. Dia kaya, dia ganteng, tapi masa istrinya biasa-biasa aja. Enggak ada cantik-cantiknya," ujar Bianca.
"Enggak cantik menurut kamu, menurut dia udah pasti cantik lah. Jangan ya Bi, jangan merusak kebahagiaan orang lain," Riska memohon kepada Bianca.
"Trus kebahagiaan aku gimana mbak?" tanya Bianca.
"Bi, mbak yakin pasti ada laki-laki yang akan sayang sama kamu dengan tulus. Sayang sama kamu apa adanya, kamu Cuma perlu yakin, percaya. Kamu cantik, kamu harus baik biar ada laki-laki baik yang sayang sama kamu," ujar Riska.
"Mbak Riska baik, tapi kenapa sampe sekarang enggak ada laki-laki baik yang jadi suami mbak?" tanya Bianca.
"Karena mbak emang belum mau berumah tangga," jawab Riska.
"Nah, kalo aku udah mau mbak. Lagian juga dia nya juga mau kok sama aku," ujar Bianca cuek.
"Darimana kamu tahu dia mau sama kamu?" tanya Riska.
"Karena kita udah ciuman," jawab Bianca. Tidak ada sedikitpun perasaan bersalah yang ditampilkan oleh Bianca. Ia benar-benar merasa bahwa ini adalah hal yang wajar.
"Bi, aku Cuma kasih tau kamu sebagai orang yang lebih tua, jangan sampai rumah tangga orang rusak karena kamu. Kamu kan enggak tahu gimana sulitnya mereka bertahan, jangan sampe karna kamu perjuangan mereka malah jadi sia-sia," ujar Riska lagi.
"Mbak, sekarang gini, siapa sih yang bisa prediksi kapan cinta dateng, siapa yang bisa prediksi kemana cinta mau bawa kita. Aku ya mana tahu kalo ngeliat dia yang sekarang bikin aku jatuh cinta pada pandangan pertama lagi."
"Aku yakin dia juga enggak tahu kalo ternyata dia masih cinta sama aku mbak. Dia dulu tuh suka sama aku, trus aku tolak mentah-mentah. Pas ketemu aku lagi ternyata dia masih cinta, gimana dong. Enggak ada yang bisa disalahin kan berarti," ujar Bianca.
"Aku tahu enggak ada yang tahu kapan cinta datang dan kepada siapa cinta datang, tapi kamu bisa pilih untuk terus maju atau berhenti sampai di sini. Pergi dari hidupnya Bi, mumpung belum terlambat," Riska benar-benar berharap kali ini Bianca mendengarkan ucapannya.
"Mbak, aku mau tidur dulu ya, aku capek jujur," ujar Bianca. Riska menarik nafas, sepertinya harapan ucapannya didengarkan Bianca hanya akan menjadi harapan. Bianca benar-benar mengacuhkan ucapannya.
"Oh yaudah Bi, di kamar biasa ya," jawab Riska. Sebenarnya ia tidak ingin ikut campur dengan urusan Bianca, tapi Bianca sudah dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri. Riska begitu menyayangi Bianca, ia hanya tidak ingin Bianca berbuat sesuatu yang bisa merugikannya. Meskipun Riska tahu betul penyebab Bianca melakukan itu semua.
"Iya mbak," ujar Bianca.
Bianca bangkit, ia membawa piring dan gelas bekas makannya, mencucinya di dapur, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang sudah seperti kamarnya sendiri karena tidak ada lagi yang menempati kamar ini selain dirinya.
Kamar ini memang kamar kosong di rumah Riska. Ia tinggal sendirian di rumah yang minimalis ini. Riska tidur di kamar yang ada di sebelah kamar yang ditiduri oleh Bianca. Bianca merebahkan tubuhnya, nyaman sekali.
Bianca mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi chat. Ia membuka sebuah nama, Dave. Bianca menyunggingkan senyumnya.
"Good night," ketik Bianca. Sent. Dan ia tertidur begitu saja.
Di tempat lain, Dave sedang tiduran di atas tempat tidurnya sambil focus pada laptopnya. Ia melirik ke sebelahnya dan melihat Viona yang sudah pulas tertidur. Dave masih harus mengurus beberapa berkas yang urgent untuk diprint dan dibawa hari senin. Agar senin tidak terlalu terburu-buru, Dave mengerjakannya sekarang.
Ting..
Sedang focus-fokusnya, ada sebuah notifikasi masuk di ponselnya. Dave mengabaikannya. Ia akan mengeceknya nanti setelah ia selesai mengerjakan pekerjaannya. Dave kembali focus, sesekali ia mengernyitkan kening. Jari-jarinya menari diatas keyboard.
Tidak terasa, sudah pukul 12 malam, Dave meregangkan tubuhnya. Tidak terasa ia sudah 3 jam focus melihat laptop di atas tempat tidurnya. Dave mematikan laptopnya dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidurnya.
Dave mengambil ponsel, ia ingat tadi ketika sedang bekerja ada sebuah notifikasi yang belum ia buka. Dave membuka ponselnya dan heran, nama Bianca muncul pada notifikasi.
"Good Night," hanya itu pesan dari Bianca. Jantung Dave langsung berdetak sedikit lebih kencang daripada normalnya jantung berdetak. Ah Dave benar-benar kesal dan membenci dirinya sendiri. Ia harus ingat bahwa ia sudah memiliki Viona.
Dave menekan dengan lama chat dari Bianca dan memilih tombol hapus. Dave memilih untuk tidur, mengistirahatkan pikirannya.
Hari senin sudah datang, sebuah hari yang sibuk bagi Sebagian besar orang, termasuk di rumah keluarga Dave.
"Maaaahhh… Topi aku dimana yaa?" teriak Ilona dari kamarnya.
"Tunggu mama kesana… Intan, tolong kamu terusin ya.." Viona meninggalkan pekerjaan yang sedang ia lakukan, yaitu membuat sarapan. Viona masuk ke dalam kamar Ilona dan mendapati kamarnya sudah berantakan.
"Kenapa sih ini?" tanya Viona.
"Topi aku dimana Mah? Kan hari ini upacara," ujar Ilona. Suaranya hampir putus asa, ia harus memakai topi di upacara hari ini, kalau tidak ia bisa di hukum dan Ilona tidak mau sampai di hukum. Viona mengedarkan pandangannya di kamar Ilona yang sudah seperti kapal pecah ini.
Tiba-tiba Viona menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melihat topi itu masih menggantung di tempatnya biasa tergantung. Topi itu menggantung di atas meja belajar Ilona di sebuah gantungan sapi kesukannya. Viona beranjak menuju tempat topi itu tergantung, mengambilnya dan memperlihatkannya ke depan Ilona.
"Ini apa Ilona?" tanya Viona
"Oh iyaa hehehe. Makasih Mah," Viona langsung mengambil topi dari tangan Viona. Ilona mengambil tas bergambar sapi kesukannya. Ia turun kebawah diikuti Viona.
"Ada apa sih anak papah yang cantik pagi-pagi udah rame," ujar Dave kepada Ilona dengan lembut.
"Biasa pah, Ilona nyari apa-apa juga pake mulut bukan pake mata," ujar Viona.
"Ih mamah mah gituuu," Ilona mulai merajuk. Ia duduk di kursi meja makan dan memakan roti yang sudah tersedia di mejanya.
"Kamu udah makan pah?" tanya Viona.
"Udah mah, aku udah makan. Aku sedikit lagi berangkat ya. Biasa kalo senin pengiriman banyak banget," ujar Dave.
"Iya.." Viona bergabung dengan Ilona dan Dave di meja makan. Ia ikut memakan sarapannya, roti bakar dengan isi keju.
Ting..
Sebuah notifikasi di ponsel Dave berbunyi. Sangat tidak mengherankan bagi Viona dan Ilona, mereka sudah biasa melihat Dave sibuk bahkan ketika sarapan pagi.
Dave melihat ponselnya, tersenyum kecil dan memasukkan ponselnya kembali ke saku celananya. Senyum kecil yang Dave kira tidak terlihat, namun mata Viona tidak pernah bisa ditipu.