"Jadi sebenernya.. dulu aku pernah suka sama Bianca," ujar Dave. Keberaniannya menolak untuk mengatakan kejujuran secara gamblang. Ia hanya bisa mengatakan fakta bahwa dulu ia suka pada Bianca.
"Dulu?" tanya Viona.
Ada nada keraguan yang Viona tangkap dari cara Dave berbicara. Seperti bicara yang terlalu difikirkan.
"Iya dulu waktu SMA. Bianca itu cewe paling cantik di kelasku bahkan di sekolah. Jadi aku suka sama dia," ujar Dave berusaha bicara setenang mungkin.
"Enggak kaget sih," ujar Viona santai. Dave sedikit terpana melihat reaksi Viona yang teramat datar. Jauh dari perkiraannya. Ia fikir, Viona akan marah, berteriak dan merutukinya macam-macam. Tapi justru, Dave takut bukan main. Ia tahu dan ia yakin, Viona bukanlah wanita bodoh.
"Enggak kaget apanya nih?" tanya Dave waspada.
"Pertama, aku enggak kaget kalo dia jadi cewe idola di sekolah. Cewe Indo cakep kayak gitu udah pasti banyak yang suka. Kedua, aku pun enggak kaget kalo kamu juga suka sama dia. Wajar lah kamu laki-laki normal. Dan yang ketiga.."
Viona menatap Dave dengan intens.
"Aku enggak kaget waktu kamu bilang dulu kamu suka sama dia, karena kamu tau banyak hal tentang dia. Mulai dari dia yang enggak ngopi, punya sakit lambung, pernah masuk rumah sakit. Jadi, aku yakin kamu sama dia bukan temen SMA biasa."
Viona berhenti berbicara. Ia memberi jeda bicaranya untuk melihat reaksi Dave yang sedikit terlihat kaget. Hanya sedikit, namun Viona dapat merasakannya.
"Aku yakin, dulu kamu pasti suka stalking dia. Kenapa aku bisa bilang kayak gitu? Karena menurut sedikit fakta dan desas desus yang aku dengar, kamu enggak terlalu gaul dulu di sekolah. Lihat foto kamu waktu sekolah pun aku tau cewe macem Bianca enggak mungkin mau sama kamu."
Dave terperangah, ia benar-benar tidak menyangka Viona bisa tahu ini semua tanpa ia bercerita sedikitpun.
"So, denger ini aku enggak kaget sama sekali," ujar Viona sambil tersenyum.
"Kamu… Marah enggak?" tanya Dave dengan sangat hati-hati.
"Marah? Karna dulu kamu suka sama Bianca?"
"Iya.." jawab Dave.
"Hahahaha, no. Not at all. Your past is yours. My past is mine. Masa lalu enggak akan berubah gimanapun keadaannya dan apapun yang kita lakuin sekarang. Even ketemu mantan kamupun, aku enggak akan marah kok," ujar Viona.
"Kenapa? Apa kamu enggak cemburu?" tanya Dave.
"Cemburu? Sama masa lalu? Hahaha. Enggak. Aku biasa aja. Semua orang kan punya masa lalu," ujar Viona.
"Kamu enggak takut aku bisa macem-macem sama wanita yang udah pernah ada hubungan sama aku di masa lalu?" tanya Dave lagi.
"Takut? Sini aku bilangin. Kalo sampe kamu macem-macem, yang rugi itu kamu, bukan aku," Viona berkata dengan pelan namun tajam.
"Aku kasih tau aja dari awal ya. Kalo sampe kamu macem-macem, Ilona akan ikut sama aku, dia enggak akan aku kasih ketemu sama Papanya yang udah nyakitin Mamanya," Dave menelan ludah. Ia tidak tahu bagaimana hidupnya jika sampai dipisahkan dari anak tercintanya itu.
"Jujur, aku takut kehilangan kamu, tapi kamu harus tahu kalo aku tetep bisa hidup tanpa kamu. Mereka fikir kamu sempurna kan? Trus mau ngambil kamu dari aku? Go ahead. Aku acungin jempol kalo mereka bisa hadepin kamu kayak aku hadepin kamu," ujar Viona. Ia menatap Dave dengan tatapan yang tajam.
Selama belasan tahun menikah dengan Viona, Dave belum pernah sama sekali melihat Viona dalam sisi ini. Selama ini semua permasalahan bisa Viona toleransi, tapi ternyata masalah perselingkuhan, sama sekali tidak ada ampun dari Viona.
Viona berjalan keluar kamar. Ia sudah merasa cukup bicara semua yang harus Dave tahu. Viona keluar rumah melalui pintu belakang. Pintu yang langsung menhubungkannya dengan taman di belakang rumahnya.
Viona duduk di sebuah kursi yang langsung menghadap ke kolam renang yang ada di rumahnya.
"Bu.. tumben siang-siang gini duduk di sini," sapa Mang Turah, laki-laki yang bertugas untuk membersihkan kebun di rumah Viona dan Dave.
"Hehe iya mang. Boleh tolongin saya mang? Tolong bilangin Intan, saya minta tolong dibikinin ice lemon tea ya," pinta Viona.
"Baik bu," Mang Turah masuk ke dalam rumah dan mencoba memberitahu Intan apa yang barusan Viona ucapkan. Viona kembali terduduk di kursi yang menghadap kolam renang. Ia menumpukan tangannya di dagu. Memandang jauh ke dalam kolam renengnya.
"Bu.." panggil Intan. Viona hampir saja terlonjak karena kaget luar biasa ketika Intan datang menghampirinya.
"Eh Intan, iya Intan.." ujar Viona.
"Ini ice lemon tea nya bu," ujar Intan. Ia meletakkan segelas es lemon tea di hadapan Viona.
"Iya makasih ya, kamu lagi ngapain Intan?" tanya Viona.
"Saya lagi nyuci baju bu," jawab Intan.
"Temenin saya dulu sini Tan," pinta Viona.
"Oh iya bu," Intan duduk di samping Viona. Viona meminum es lemon tea buatan Intan. Rasa asam manis segar melesak masuk ke dalam tenggorokan Viona secara bersamaan. Hal ini sedikit membuat perasaan Viona yang sedang merasa tidak enak menjadi baikan.
"Intan, kamu umur berapa?" tanya Viona.
"Saya 23 bu tahun ini," jawab Intan sopan.
"Kamu belum mau nikah? Setahu saya kalo usia segitu di kampung udah harus nikah," ujar Viona.
"Iya bener bu, tapi saya enggak mau bu nikah muda gitu," ujar Intan.
"Kenapa?" tanya Viona.
"Karena saya ngeliat orang-orang yang nikah muda di kampung saya enggak ada yang hidupnya seneng bu. Mereka semua setiap hari kerjanya ngurusin anak sama suami aja, enggak pernah bisa seneng-seneng. Enggak pernah bisa ke pasar malem, enggak pernah boleh beli baju, selalu tampil kucel karena capek."
"Ya enggak semua juga di kampung saya yang nikah muda pada enggak bahagia sih, tapi jumlah yang bahagia itu sedikit," Inta berhenti, ia mengambil nafas. Viona melihat ada nada sedih di ucapan dan mata Intan.
"Makanya saya memilih untuk merantau ke kota, dan di sini yang saya lihat itu ibu, orang yang bahagaia dengan pernikahannya. Cukup umur, ibu cantik, Pak Dave juga ganteng. Enggak pernah sekalipun saya lihat ibu berantem sama Pak Dave selama 1 tahun saya di sini. Ibu sama Pak Dave juga saling memperlakukan pasangannya dengan baik," ujar Intan. Viona tersenyum kikuk menjawab ucapan Intan.
"Yahhh tetep sih Tan, semua rumah tangga selalu ada naik turunnya, ada akur dan berantemnya, ada kerikil-kerikil kcil yang ikut menyandung kaki, tapi yang paling penting gimana cara hadepinnya. Dan harus percaya kalo semua itu proses Tan, dulu juga Pak Dave enggak kayak sekarang," ujar Viona.
Setelah berkata seperti itu, pikiran Viona terbawa ketika mereka masih berpacaran yang bahkan hampir merenggut nyawa Viona di tangan Dave sendiri.