"Sayang," panggil Viona pada Dave. Dave baru saja sampai sehabis mengantar Bianca sampai di rumahnya.
"Ya?" jawab Dave.
"Kemarin kamu tuh jalan dulu ya sama Bianca setelah acara reuni?" tanya Viona. Meskipun tidak ada nada menuduh, tidak ada nada menyudutkan dari ucapan Viona sama sekali, tapi ucapan itu begitu menghantam pikiran Dave.
"Mampus nih, jangan-jangan tadi pas gue tinggal ke dalem Bianca cerita nih," pikir Dave.
"Jujur apa bohong ya, bohong pun percuma, Viona pasti sebenernya udah tau, aduh gue jawab apa ya," kata-kata itu terus berputar di kepala Dave. Ia bingung harus menjawab apa pertanyaan Viona yang begitu tiba-tiba itu.
"Sayang?" Viona melihat Dave yang bengong dan bukannya menjawab pertanyaannya.
"Eh kenapa sayang?" Dave terlihat bingung sekali, ini pertama kalinya ia harus berbohong kepada Viona, apalagi urusan dengan wanita. Tapi Dave yakin, jika ia terlihat bingung atau gelisah, justru Viona akan tahu. Jadi dalam sekejap mata, ia merubah mimik wajahnya menjadi biasa saja dan santai.
"Iya sayang, ngopi di coffee shop di depan situ," jawab Dave santai.
"Oh…" jawab Viona. Ia mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kenapa emangnya sayang?" tanya Dave. Dave duduk di meja makan memperlihatkan Viona yang sedang membereskan bekas makan tadi. Tidak ada ekspresi kesal yang terlihat dari wajah Viona, harusnya ini pertanda bagus.
"Oh enggak, tadi Bianca bilang kalo kopi di sana katanya enak, kata dia waktu itu kamu ngopi di situ dan bilang kopinya enak, dia tuh enggak ngopi ya sayang?" tanya Viona.
"Iya dia pesen es coklat sih," ujar Dave. Viona hanya mengangguk-angguk mendengarnya.
"Kenapa dia enggak ngopi ya?" tanya Viona.
"Lambungnya enggak kuat sayang, kalo minum kopi suka deg-degan katanya," jawab Dave. Ia menyomot buah yang ada di meja. Sebenarnya ia tidak begitu ingin, tapi untuk mengalihkan perasaan gugupnya, ia memakan buah yang ada di atas meja.
"Yah sayang banget ya dia enggak bisa ngopi. Dari kapan itu sayang?" tanya Viona.
"Dari SMP katanya, jadi dia pernah nyoba ngopi punya ayahnya eh enggak kuat. Ya harusnya mah lanjut aja ngopi ya, wajar aja anak SMP enggak kuat. Eh tapi dia jadi trauma trus enggak mau lagi minum kopi," Viona membelakangi Dave. Ia tersenyum. Tepat seperti dugaannya.
"Emang separah itu deg-degannya? Lambungnya se enggak kuat itu?" tanya Viona. Nadanya terdengar antusias, Dave sama sekali tidak menyadari bahwa Viona sedang mencari-cari tahu tentang Bianca.
"Iya, pas SMA juga dia bahkan pernah masuk rumah sakit gara-gara lambung padahal dulu Cuma Cobain es kopi punya temennya sedikit," jawab Dave.
"Tapi dia.."
"Maah…" panggil Ilona. Ucapan Viona terputus karena panggilan Ilona. Ia berlari-lari menuju kea rah orangtuanya.
"Iyaa?" jawab Viona.
"Mah aku berangkat dulu ya, mau nonton sama temen-temen," ujar Ilona.
"Mau nonton apa sayang?" tanya Viona.
"Aku mau nonton film horror mah, katanya bagus," jawab Ilona.
"Iyaudah sana hati-hati ya.." ujar Viona.
"Iya Mah.." Ilona mencium tangan Viona.
"Pah, minta uang dong," Ilona mengadahkan tangannya kea rah Dave.
"Oke, papa transfer aja ya," ujar Dave.
"Oke, makasih ya Pah.. Bye bye," Ilona berlari keluar dan masuk ke dalam mobil yang di dalamnya sudah ada Pak Abdul.
Suasana di meja makan hening. Viona sibuk dengan tabletnya, mencatat semua pesanan untuk senin, sedangkan Dave sibuk dengan buah yang sedang ia makan dan pikirannya yang melayang kemana-mana sesaat setelah mentransfer sejumlah uang kepada Ilona.
Dave merasa, bahwa ia harus jujur pada Viona. Ia tidak bisa terus-terusan dihantui perasaan bersalah karena membohongi Viona. Ia tidak pernah berbohong masalah apapun kepada Viona. Ia merasa ini semua tidak adil, ia tahu Viona sudah jujur dan setia padanya ketika ia tidak memiliki apa-apa, sekarang ketika ia memiliki segalanya, ia berani membohongi Viona.
Tapi ia juga tidak tahu hal terburuk apa yang akan ia dapatkan jika ia jujur pada Viona. Hal paling buruk yang sangat Dave takuti adalah jika Viona meninggalkannya. Ia akan kehilangan sosok penyayang dan penyabar tapi juga tegas dalam hidupnya.
"Sayang.." panggil Dave.
"Hmm.." Viona tidak mengalihkan fokusnya dari tablet yang sedang ia gunakan.
Hening kembali menyelimuti mereka berdua. Lagi-lagi Dave perang batin. Satu sisi dirinya mendorongnya untuk mengatakan yang sejujurnya pada Viona, tapi satu sisi lainnya bilang untuk tidak mengatakan apapun.
Semua akan baik-baik saja jika ia tidak berkata apa-apa. Ia dan Bianca sudah saling berjanji untuk menjadikan ini rahasia. Hidup akan normal jika ia tidak mengatakannya pada Viona. Tapi bagaimana jika akhirnya Viona tahu, bukan dari mulutnya melainkan dari orang lain? Ia yakin akan jauh lebih tidak nyaman situasinya jika seperti itu.
"Sayang, aku ke kamar dulu ya, masih ngantuk," ujar Dave.
"Oh iya sayang," jawab Viona tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari tabletnya. Dave naik ke atas, ke arah kamarnya. Ternyata ia belum memiliki cukup keberanian untuk berkata yang sebenarnya pada Viona.
Ia memutuskan untuk menyimpannya sendiri dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Dave masuk ke kamarnya dan merbebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia mencoba memejamkan matanya, namun tidak bisa. Dave benar-benar gelisah.
Viona masuk ke dalam kamar, ia melihat suaminya yang sedang tiduran di atas tempat tidur, namun tidak tidur.
"Kamu kenapa sayang? Ada yang dipikirin?" tanya Viona. Ia mengenal Dave sudah sejak lama, ia tahu sejak tadi ia membahas Bianca, ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya.
"Sayang.."
"Ya?" tanya Viona.
"Kalo aku jujur sama kamu, kamu marah enggak?" tanya Dave.
"Yaa tergantung.." jawab Viona.
"Kok tergantung?" tanya Dave. Nyalinya semakin menciut untuk berkata jujur pada Viona. Namun ia tidak akan pernah bisa tenang jika ia tidak jujur.
"Ya kalo kamu jujur kamu udah enggak sayang sama aku, enggak mungkin aku biasa-biasa aja dong," ujar Viona.
"Yaaa enggak mungkin aku ngomong gitu lah sayang, serius ini," ujar Dave.
"Hehehe iya bercanda. Hm aku enggak tahu dan enggak janji juga enggak akan marah sih, tergantung kamu mau jujur apa. Tapi setidaknya kalo kamu jujur sekarang, ada satu masalah yang akan selesai. Kalo aku marah, aku enggak akan selamanya marah kan, nanti juga baik. Tapi kalo enggak jujur, ya masalahnya akan tetep ada selamanya," jawab Viona.
"Yes, you right. Jadi aku mau jujur sama kamu," ujar Dave. Viona memandang Dave dengan tatapan intens.
"Oke. Tentang?" tanya Viona.
"Tentang aku sama Bianca," ujar Dave. Ia harus berkata jujur, ia tidak ingin rumah tangganya berpondasikan kebohongan, tekad Dave dalam hati. Semakin lama Viona menatapnya, semakin ia merasa takut
"Oke, I'll listen," jawab Viona.
Dave menarik nafas dalam.
"Jadi sebenernya.."