"Kenapa Bi?" tanya Dave.
"Ehm Dave, gue.." ucapan Bianca lagi-lagi menggantung. Dave yang sudah mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Pak Abdul untuk minta dijemput di depan pintu jadi mengurungkan niatnya karna ia melihat Bianca yang ingin mengatakan sesuatu.
"Bi, gue mau pulang, kalo enggak ada yang mau lo omongin, gue mau telpon supir gue sekarang," ujar Dave. Ia tidak ingin berlama-lama berduaan dengan Bianca, ia takut tidak bisa menahan detakan jantungnya bila terus seperti ini.
"Iya sebentar Dave. Ehm.. gue.. gue mau minta maaf ya," dengan terbata-bata akhirnya Bianca mengucapkan apa yang ada dalam kepalanya.
"Untuk?" tanya Dave.
"Banyak Dave. Banyak banget," ujar Bianca.
"Gimana maksudnya sih?" Dave benar-benar tidak mengerti apa yang ingin Bianca sampaikan.
"Dave, gimana kalo kita duduk dulu makan atau minum dimana gitu? Banyak banget yang mau gue sampein, gue mau minta maaf juga sama lo," ujar Bianca. Dave menarik nafasnya, ia tidak suka keadaan seperti ini. Tapi melihat ekspresi penyesalan yang ada di wajah Bianca, Dave sama sekali tidak tega.
"Yaudah ayok mau kemana? Lo naik apa kesini? Jalannya mau masing-masing aja?" tanya Dave.
"Di deket sini ada kok coffee shop yang 24 jam, kita kesana aja. Gue kesini tadi naik taksi Dave, gue enggak bawa kendaraan," jawab Bianca.
"Yaudah lo naik mobil gue aja," jawab Dave singkat. Ia langsung mengubungi Pak Abdul. Terjadi moment canggung kembali antara Dave dan Bianca setelah Dave mematikan telpon dengan Pak Abdul. Keduanya sama-sama salah tingkah. Dave yang biasanya tenang, kini berkali-kali melihat ke arah Bianca yang juga melakukan yang sama.
Untungnya suasana canggung mereka tidak berlangsung lama karena Pak Abdul sudah datang. Dave langsung duduk di kursi samping Pak Abdul, dan Bianca di belakangnya.
"Ke coffee shop depan ya pak, kesitu dulu," ujar Dave.
"Baik," jawab Pak Abdul. Tidak ada yang bicara di dalam mobil selama perjalanan dari restoran ke coffee shop. Dave memandang jauh ke jalanan di hadapannya. Tapi pikirannya menuju ke seseorang yang sedang duduk persis di belakangnya.
Seseorang yang dulu ia fikir terlalu jauh, terlalu sempurna, dan ia merasa bahwa dirinya terlalu hina untuk berdekatan dengannya, terlebih setelah ia mengalami penolakan yang amat sangat menyakitkan hati. Kini orang itu berada dekat sekali dengannya, meminta maaf padanya beberapa saat yang lalu.
Semesta memang sebercanda itu.
Tidak lama, mereka sudah sampai di depan sebuah coffee shop. Bianca dan Dave turun dari mobil dan masuk ke dalam coffee shop nya. Dave menuju ke kasir untuk memesan minuman.
"Silahkan kak pesanannya," ujar si kasir ramah.
"Saya mau coffee late satu, lo?"
"Hem apa ya.."
"Tadi gue liat ada menu ice chocolate, mau?" tanya Dave.
"Ah iya mau Dave!" jawab Bianca bersemangat.
"Ternyata selera minum lo juga belum berubah," ujar Dave membuat pipi Bianca memerah.
Setelah kasir membuatkan minuman untuk Dave dan Bianca, mereka menempati kursi yang kosong. Coffee shop masih terlihat ramai walaupun sudah hampir tengah malam, karena ini malam minggu. Dave dan Bianca duduk di sebuah kursi yang memang untuk 2 orang, jadi hanya ada 2 kursi yang saling berhadapan.
"Thanks ya Dave," ujar Bianca.
"For?" tanya Dave.
"For this," jawab Bianca.
"Hahaha biasa aja Bi," ujar Dave. Ia benar-benar merutuki dirinya sendiri yang masih saja sering salah tingkah ketika berada di dekat Bianca. Dave harus berkali-kali mengingatkan dirinya bahwa ada Viona dan Illona di rumah yang menunggunya dan akan pergi jika ia sampai macam-macam.
"Ehm Dave, yang mau gue omongin tuh, gue minta maaf ya. Gue minta maaf banget dulu gue tolak lo mentah-mentah. Trus pake bilang lo jelek, item, kayak gitu-gitu. Gue ngerasa bersalah banget Dave. Ditambah lagi tadi gue sempet godain lo, gue, gue minta maaf ya Dave," segala yang ingin Bianca keluarkan akhirnya ia utarakan.
Tidak ada suara yang tercipta setelah itu. Dave dan Bianca sama-sama hening. Dave sedang memproses kalimat yang barusan Bianca ucapkan.
"It's oke," setelah keheningan yang begitu lama, akhirnya Dave berucap pada Bianca. Bianca menarik nafas lega seolah-olah sedari tadi ia menahan nafasnya.
"Makasih ya Dave," ujar Bianca.
"Iya sama-sama," jawab Dave.
"By the way, anak lo udah gede ya. Lo nikah muda ya Dave?" tanya Bianca.
"Haha iya, gue nikah umur 25 waktu itu. Istri gue juga waktu itu umur 24, jadi kita sama-sama nikah muda," ujar Dave.
"Emang lo dulu udah sukses, berani nikah muda gitu?" tanya Bianca.
"Boro-boro deh. Gue bener-bener dari 0 ngerintis semua usaha bareng sama istri gue. Gue pernah susah banget sampe enggak bisa beli susu anak gue. Tapi itu yang bikin gue cinta mati sama Viona, dia sama sekali enggak pernah ngeluh atau nuntut apapun pas gue susah," ujar Dave, pandangan matanya menerawang.
Pikirannya berkelana ke masa ketika ia benar-bnar tidak memiliki apa-apa. Ketika hidup rasanya teramat berat, ketika apapun yang ada di hidupnya terasa salah. Viona tetap bersamanya, sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak protes.
"Bahkan ya Bi, gue punya usaha yang sekarang itu juga berkat Viona, dia yang pertama kali kasih ide gue buka usaha, kita jalanin bareng, sampe gede kayak sekarang, itu karna Viona dulu yang pegang. Sekarang kita udah punya bisnis masing-masing, jadi gue pegang bisnis ini sendiri," ujar Dave. Senyumnya melebar, ia selalu merasa bahagia ketika menceritakan betapa ia mencintai istrinya kepada orang lain.
"Emang sekarang lo usaha apa Dave?" tanya Bianca.
"Percetakan Bi," ujar Dave.
"Eh sorry ya jadi panjang kok gue cerita hahaha. Kalo lo sekarang gimana Bi? Udah married?" tanya Dave.
"Hehe belom Dave," ujar Bianca. Ia menundukan wajahnya.
"Kenapa Bi?" tanya Dave.
"Kenapa belom nikah?" Bianca balik bertanya.
"Kenapa kayak malu? Belum nikah mah wajar kok," ujar Dave,
"Bukan Dave, bukan malu karena belom nikah. Gue malu karena dulu waktu SMA gue nolak banyak banget cowo, eh sekarang malah enggak ada yang mau sama gue. Gue jadi ngerasa bersalah, karma gara-gara gue dulu kayak gitu," ujar Bianca.
"Enggak apa-apa lah Bi, wajar Namanya juga orang masih muda kan. Yang penting sekarang lo jangan kayak gitu lagi," ujar Dave.
"Lo dulu sakit hati enggak sama gue Dave?" tanya Bianca.
"Bukan sakit hati sih, lebih kayak sedih aja gue diperlakukan kayak gitu. Tapi yaudah itu udah berlalu kok. Eh yaudah yuk pulang yuk, enggak enak takut Viona nyariin udah malem. Lo mau ikut sama gue lagi enggak? Gue anterin pulang dulu," ujar Dave.
"Enggak usah, gue naik ojek online aja. Gue enggak enak sama istri lo kalo harus ngambil waktu lo lebih lama lagi," ujar Bianca sambil tersenyum.
"Bener?" tanya Dave.
"Bener," jawab Bianca meyakinkan.
"Oke kalo gitu," Dave berdiri sambil menghubungi Pak Abdul. Bianca mengikuti Dave yang berjalan ke arah coffee shop. Dave berdiri di depan pintu lobi. Bianca berdiri di sebelahnya.
"Udah pesen ojek online Bi?" tanya Dave.
"Udah. Dave.." panggil Bianca. Dave menoleh. Tubuh tingginya menunduk, memandang mata Bianca, mata besar yang selalu ia suka. Ia tidak sadar Bianca berdiri sedekat ini dengan dirinya. Wajah Bianca tepat di bawah dagunya.
"Kenapa Bi?"
Alih-alih menjawab, Bianca malah mendekatkan tubuhnya lebih dekat lagi ke tubuh Dave. Tangannya entah bagaimana sudah melingkar di pinggang Dave. Menarik tubuh Dave untuk bisa lebih merasakan tubuhnya.
Udara malam yang dingin ditambah dengan pencahayaan yang seadanya, membuat tubuh Bianca dan Dave hanya terlihat sebagai siluet.