"Seharuse ya kamu to yang bikinin, kamu itu Ibunya. Ayo sana buatin dulu!" ucap Nenek dengan nada rendah agar tidak menambah si bayi menangis.
"Ck, ngrepotin banget ni bocah," perempuan yang masih muda itu berdecak pelan. Menatap tajam ke arah bayi yang merupakan darah dagingnya sendiri. Langsung berdiri dengan terpaksa, berjalan ke arah dapur untuk membuatkan susu formulanya.
"Hehh ga boleh gitu Tin!! ini anakmu sendiri lo!" Nenek Khom menasihati ucapan anaknya barusan. Dia bernama Tina, Ibu dari si bayi tadi yang bernama Vanda.
"Ssssttt tunggu bentar ya anak cantik, bentar lagi Ibumu bawain susu buat kamu ya."
"Ututuuu tayang tayangg… ."
Jika bayi lain pasti akan diberikan asi dari Ibunya, jika tidak pun mungkin alasannya asi si Ibu tidak keluar. Namun, meskipun asi Ibunya lancar, Vanda tetap tidak akan mendapatkan asinya. Entah apa alasannya juga Vanda tidak tahu itu.
Ketika malam pun Vanda tidak tidur dengan Ibunya, melainkan dengan neneknya. Mulai dari Vanda bangun sampai tidur semua diurus oleh neneknya. Mana pernah dia peduli sedikitpun dengan Vanda.
Srkkk srkkkk (suara sikat yang mengenai baju).
"Dari tadi dicariin juga, ga denger apa tak panggilin?" protes Tina marah marah pada Ibunya yang sedang mencuci.
"Maap to Ibu ga denger tadi." Sedangkan Vanda masih tertidur lelap, di samping kanan kiri dan bawahnya di batasin bantal agar tidak jatuh. Jadi Nenek Khom tenang kalau ingin melakukan kegiatan apa saja tanpa khawatir pada cucunya itu.
"Ehh ini bukannya baju mas Yuan? kok Ibu yang nyuci?" melihat ada baju suaminya yang sedang di rendam bersama pakain lainnya. Mengangkatnya dan bertanya kebingungan pada Ibunya ini.
"Uda numpuk Tin di keranjang Tin, mumpung Ibu nyuci sekalian aja tak cuciin," jelas Ibunya dengan melanjutkan mencucinya. Nenek Khom masih mencuci dengan cara manual, yaitu cuci tangan. Mereka belum bisa membeli mesin cuci. Boro boro beli, bisa makan setiap hari aja sudah sangat bersyukur.
"Ngaku deh, Ibu suka kan sama mas Yuan?" tuduh Tina tanpa memikirkan ucapannya.
"Kamu ini ngomong apa sih," Nenek Khom tetap melanjutkan mencucinya tanpa memperdulikan omongan Tina barusan.
Akhirnya Ibu Tina melangkah pergi dengan perasaan yang masih menduga jika Ibunya itu mempunyai perasaan pada suaminya.
"Wan?" suara panggilan Gandrong membuat matanya terpaksa untuk terbuka. Melirik ke arah orang yang memanggilnya, seolah bertanya ada apa.
"Gimana klo kita cari ikan? banyak banget tuh, gede gede cuyy!!" Yuan melihat ke bawah batu besar itu, dan benar ternyata banyak sekali ikan di bawah sana.
Segera mereka bangkit dan mencari kayu ranting yang panjang dan kuat untuk memancing. Di umur mereka segitu, belum ada alat memancing seperti sekarang. Kalau memancing ya harus membuatnya dengan tradisional.
Setelah menunggu beberapa saat, pancingan mereka bergerak seperti ada ikan yang memakan cacing umpan mereka.
"Wan!! gerak Wan gerak!!" Gandrong berteriak heboh melihatnya.
"Tarik Drong!" Yuan langsung beraba aba untuk menariknya secara bersamaan. Ternyata mereka mendapat ikan nila yang ukurannya lumayan.
Setelah setengah hari mereka memancing di selingi tawaan, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Takut jika orang rumah pada nyariin dimana keberadaan mereka. Yuan membawa pulang 3 ikan nila, sedangkan Gandrong 2 ikan. Itu sudah sangat lumayan bukan.
"Tantee!! Yuan bawa ikan buat tante!!" teriak Yuan kecil seraya berlari menenteng keresek berisi ikan yang sudah dia pancing tadi bersama Gandrong.
"Wihh, banyak banget ini Wan. Dapet dari mana?" datanglah Tante Sur dari belakang dengan baju sedikit lusuh dan penuh dengan keringat. Entah apa yang Tante Sur lakukan, Yuan tidak tahu.
"Tadi mancing di Sungai Tan sama Gandrong," jawabnya dengan jujur.
"Lain kali kalua mau ke Sungai hati hati ya! bahaya banget kalua sampe jatoh," meskipun Tante Sur hanya sebatas Tantenya, tetapi dia sangat memperhatikan Yuan layaknya anak kandungnya sendiri.
"Oekkkk oekkkk," suara tangisan Vanda membuat Nenek Khom mau tidak mau harus bisa berdiri.
Dengan sekuat tenaga dan menahan rasa sakit di punggungnya, akhirnya Nenek Khom bisa berdiri dan segera berlari ke arah kamar untuk melihat Vanda yang tadi menangis.
"Cupcup sayangg, haus ya pasti. Bentar ya nenek bikini susu dulu," ucapnya dengan mengusap usap kepala Vanda dengan lembut.
Ketika sudah di minumkan susu, Vanda mulai bisa diam dari tangisnya. Tiba tiba Ibu Tina datang dengan bersidekap dada di depan pintu. "Bawa aja tu anak, berisik!" setelah ngomong seperti itu, dengan rasa tidak bersalah langsung pergi begitu saja. Padahal itu anak kandungnya sendiri, tetapi Vanda seperti tidak di anggap oleh Ibu Tina.
"Ya Allah, semoga kamu cepat di beri kesadaran Tina!" Nenek Khom sudah tidak tau lagi apa yang ada di pikirkan anaknya itu.
"Kamu ikut nenek aja ke pasar ya Van," ucapnya kepada Vanda yang masih belum tahu cara berbicara.
Menggendongnya dengan jarik, punggungnya terasa lebih sakit karena diikat oleh jarik dan di tambah menggendong Vanda yang lumayan berat.
Di tengah teriknya sinar matahari pagi sepanjang berjalan ke pasar, Nenek Khom hanya pasrah kuat tidak kuat harus menggendong Vanda sampai rumah. Jika dia tinggal pun sudah pasti Ibunya tidak ingin menjaganya.
Sesampainya rumah segera memasak agar anaknya itu tidak protes lagi kalua tidak ada makanan di meja.
"Tinn? Tinaa?" Nenek Khom mencari keberadaan Ibu Tina di semua sudut rumah, namun hasilnya nihil.
Langit mulai berwarna orange, menunjukkan keindahannya sebelum benar benar gelap. Sampai detik ini pun Ibu Tina belum pulang dari pagi. Entah kemana perginya, Nenek Khom terus khawatir takut terjadi apa apa dengan anak satu satunya itu.
"BUKA PINTUNYA SEKARANG DAN OBATIN IBUUKK!! GADA BANTAHAN!!" tidak mungkin jika Pak Yuan mengobati punggung mertuanya sendiri. Dia hanya menghindari kesalah pahaman yang nanti ujungnya jadi fitnah.
"Kok aku?"
"CEPETANNN!!
"Ck, iya iya bentar," membuka pintunya dengan terpaksa.
"Di luar ga usa di dalem ngobatinnya," Pak Yuan menyuruh Ibu Tina mengobati Nenek Khom di luar saja agar bisa dia awasi. Takutnya jika di dalam bisa bisa Nenek Khom di lukai lagi.
Sementara Pak Yuan mengayun ayunkan Vanda agar bisa tertidur karena hari sudah mulai larut malam.
"Sshhh… ," Nenek Khom meringis pelan.
"Pelan pelan Tin, kasian Ibuk sampek meringis gitu," peringat Pak Yuan lirih karena takut mengganggu Vanda.
"Iya iya," jawab Ibu Tina terpaksa.
Jika Pak Yuan sudah marah pasti Ibu Tina akan menurut walaupun itu terpaksa.
"Buk Pak, sekarang kan Vanda dah mulai gede. Kebutuhannya juga pasti tambah banyak banget. Aku takut Mas Yuan kewalahan kerja sendirian nyari uang buat nyukupin kebutuhan Vanda," kini mereka semua sedang kumpul di ruang keluarga. Mereka sedang mendengarkan apa yang Ibu Tina ucapkan.
"Maka dari itu Tina pengen kerja di Singapura biar ngebantu Mas Yuan ngeringanin bebannya, kira kira boleh kan?" Nenek Khom dan Kakek Man saling melirik. Mereka bingung kenapa tiba tiba anaknya ingin bekerja, padahal dulu tidak sudi sama sekali untuk bekerja.