Yang semula menatap ke depan, kini Pak Yuan menunduk setelah mendengar ucapan mertuanya. Memang benar apa yang di ucapkan Kakung Karman, dia memang tidak sepenuhnya rela istrinya bekerja jauh darinya.
Terlebih lagi yang di khawatirkan itu nasib pernikannya, sifat istrinya itu memang sering bersama lelaki lain jika dia sedang tidak rumah. Makanya itu Pak Yuan sangat takut jika nantinya rumah tanggannya akan hancur, apalagi sekarang sudah ada Vanda yang pasti nantinya akan menanyakan dimana keberadaan Ibunya.
"Uda jangan kebanyakan yang di pikir, ikuti saja bagaimana alurnya nanti Wan," Kakung Karman menepuk nepuk pundak Pak Yuan untuk menguatkannya. Lelaki sekalipun akan merasa lemah jika itu menyangkut hidupnya.
"Buat kopi aja Wan, enak nih hujan hujan minum kopi," kemudian Pak Yuan tersenyum tipis. Di keadaan seperti ini mertuanya masih saja tak lupa dengan kopi.
Kalau Nenek Khom tau pastinya akan di omelin seperti seminggu yang lalu.
Langit senja semburat jingga terlukis di langit langit bumi. Pemandangan yang sungguh indah ketika menjelang matahari tenggelam. Duduk dengan meneguk seduhan kopi, di sampingnya ada piring berisi pisang goreng yang menemani. Sungguh nikmat yang tiada tara.
"Emm, enak banget keknya ya Pak," ucap Nenek Khom yang tiba tiba sudah berdiri bersidekap dan bersender di pintu.
Kakung Karman yang mendengar suara yang tidak asing itu pun menoleh dan menyengir. Dia tau akan di omelin dalam tujuh detik lagi.
Namun, dugaannya salah. Baru saja dua detik suara Nenek Khom sudah berbicara seperti rentetan kereta.
"Enak ya sore sore minum kopi ditemenin pisang goreng," ucap Nenek Khom lagi. Tapi kali ini Nenek Khom berjalan dan menduduki kursi kayu di sebelah tubuh suaminya.
"Heheh," Kakung Karman hanya menjawabnya dengan menyengir tak bersalah.
"Heha hehe, ga ngrasa salah ae," sewot Nenek Khom.
"Kemarin dokter bilang apa?" dahi Kakung Karman mengernyit, sebenarnya dia tahu apa yang di maksud istrinya. Tetapi dia berlagak tidak tahu untuk mencari aman.
"Pura pura lupa apa gimana haa!!" mata Nenek Khom memicing, melihat itu Kakung Karman langsung menelan ludah dengan susah.
"Di bilang jangan keseringan minum kopi, lambungmu itu dah ga kuat. Masih ae bandel," terus saja mengomel tanpa henti.
"Dah tua juga masih ga bisa di bilangin kek anak kecil," Kakung Karman hanya bisa mendengarkan seraya terus menyruput kopinya.
"Hehh jangan srupat srup…," belum selesai omongan Nenek Khom terpotong karena mendengar suara tangisan Vanda dari dalam kamar. Kakung Karman tersenyum senang.
"Jangan senyam senyum! untung aja sekarang kamu lolos gara gara Vanda nangis, lain kali ga akan bisa!" setelah berucap seperti itu Nenek Khom langsung ngibrit ke arah kamar.
Sementara Kakung Karman yang di luar merasa sangat senang karena tidak akan di ganggu lagu waktu ngopi sorenya.
"Saatnya ngopi kembali," dengan santai menyeruput kembali kopinya menikmati pandangan disore hari.
Pak Yuan tahu kejadian sore kemarin karena dia diceritakan oleh Nenek Khom ketika sudah pulang bekerja. Mendengar ceritanya membuat Pak Yuan geleng geleng kepala melihat mertuany ini sangat keras kepala.
Tapi Pak Yuan bersyukur bisa tinggal dengan mertuanya walaupun sederhana seperti ini. Terlebih lagi ada Vanda yang bisa menjadi hiburan keluarga ini. Pak Yuan berjanji akan membesarkan Vanda dengan sangat amat baik dan menyekolahkan Vanda sampai Pendidikan yang tinggi.
Hari berganti menjadi bulan, keluarga Vanda menjalani semua kegiatan seperti biasanya. Kini Vanda sudah berumur 2 tahun setengah. Sudah bisa berjalan dan berbicara meskipun masih terbata bata.
Dulu sewaktu Vanda masih umur jalan 1,5 tahun, dia sudah tidak mau di dudukkan lagi. Ketika di dudukkan selalu berontak menangis ingin berdiri. Padahal kakinya masih belum kuat untuk menopang tubuhnya sendiri.
Akhirnya Kakung Karman membuatkan kayu yang membentuk huruf T lalu di tancapkan di tanah. Itu bisa membantu Vanda agar bisa belajar jalan dengan memegang kayunya dan memutari tancapan kayu tersebut. Tapi tak luput dari pantauan Kakek Neneknya yang selalu berada di dekatnya jika Vanda seperti terlihat oleng agar bisa lebih gesit menangkapnya supaya tidak terjatuh.
"Seneng ya Pak ngeliat Vanda bisa belajar jalan," ucap Nenek Khom yang terus mengawasi Gerakan Vanda.
"Iya Buk, apalagi perkembangannya sangat cepat," jawab Kakung Karman dengan senyum tipis.
"Tapi maaf ya Buk, Bapak cumin bisa buatin Vanda alat ini. Bapak ga punya uang buat beli alat yang buat jalan anak kecil itu," wajah Kakung Karman kini sedikit sedih. Tatapannya menunduk, dia merasa dirinya tidak berguna sebagai lelaki karena belum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
"Gapapa Pak, lagian pake alat ini juga sudah bikin Vanda seneng. Liat cucu kita, dari tadi ga berhenti ketawa," Nenek Khom tersenyum melihat cucunya itu.
Kakung Karman mendongakkan penglihatannya, dan benar cucunya memang sudah sangat senang meski hanya memakai kayu yang dia tancapkan. Perasaanya perlahan lahan kembali membaik.
Sudah berbulan bulan Ibu Tina tidak memberi kabar apapun tentang dirinya disana. Bahkan orang rumah pun tidak ada yang bisa menghubunginya sekarang. Ketika di telepon selalu operator yang berbunyi, "Nomor yang anda tuju tidak aktif."
Bahkan tidak mengirim uang sama sekali kepada orang tuanya.
"Aku mengharap uangmu nduk, hanya saja Ibuk nunggu kabarmu," rintihan Nenek Khom yang sedikit kecewa karena anaknya tidak bisa di hubungin beberapa bulan ini.
Orang rumah tidak mengharapkan uang Ibu Tine sepeserpun, mereka tidak apa apa hidup sederhana seperti ini. Asal mereka tau bagaimana kabar anaknya yang ada di negeri tetangga.
"Coba hubungin terus Wan, Ibu kangen sama Tina," wajahnya yang sudah tua di penuhi tetesan air mata yang mengalir dari kelopak matanya. Menyekanya terus menerus tetapi sia sia.
"Iya Buk, ini dari tadi Yuan udah coba," Pak Yuan terus menekan nomor telepon istrinya itu, berharap di angkat karena kasian melihat wajah Ibu mertuanya seperti menahan rasa rindu pada anaknya yang sudah lama tidak ada kabar.
Sebenarnya Pak Yuan tahu jika nomornya telah di blokir oleh Ibu Tina agar orang rumah tidak mengganggunya disana. Entah apa yang Ibu Tina lakukan sekarang Pak Yuan tidak tahu. Tapi pastinya Ibu Tina tidak ingin berhubungan lagi dengan keluarganya.
"Tetep ga bisa Buk," ucap Pak Yuan lirih. Nenek Khom tidak ada harapan lagi untuk mengetahui kabar anaknya disana. Satu satunya cara hanya menelponnya, kalo sudah begini apa yang harus Nenek Khom lakukan.
"Yasudahlah Buk, mungkin juga Tina disana lagi bekerja. Tidak boleh pegang handphone makanya tidak bisa di ganggu," Kakung Karman mencoba mencari alasan untuk menenangkan hati istrinya itu.