Chereads / As Time Goes By / Chapter 3 - Yang Berkisah

Chapter 3 - Yang Berkisah

"Silakan duduk," titah Arsjad.

Anna menjatuhkan tubuhnya di sebuah sofa panjang di depan Arsjad. Keduanya terpisahkan oleh sebuah meja kayu dengan sebuah kaca tebal tersemat di atasnya.

"Sebelumnya saya minta maaf, Anna, karena sepertinya saya gak bisa terlalu lama da'lam sesi wawancara ini," Arsjad menatap jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Emm … jam 11? Cukup?" tanyanya memastikan.

Anna mengeluh dalam hati. Selama karirnya dibidang ini, jarang sekali ia bertemu dengan orang semacam Arsjad. Sopan, dan menghargainya.

"Saya rasa cukup. Atau mungkin kita bisa membuatnya menjadi cukup." Anna tersenyum sementara Arsjad mengangguk mendengar jawabannya.

"Bisa kita mulai sekarang?" tanya Anna meminta persetujuan narasumbernya. Maka saat itu Arsjad membenarkan posisi duduknya dan mengangguk mantap.

Anna lantas membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah benda dari sana. Ponsel, ia langsung mencari aplikasi recorder dan menyalakannya. Anna mengangkat wajahnya dari kesibukannya mempersiapkan diri dan seketika di hadapkan pada mata bulat kecoklatan milik Arsjad. Sebelah alisnya terangkat saat Anna menatapnya.

"Itu saja?" tanya laki-laki di depannya dengan keheranan.

"Mm ... maksudnya?" Anna balik bertanya karena ia benar-benar tak mengerti maksud pertanyaan Arsjad. Lalu laki-laki itu menujuk ponsel Anna dengan dagunya.

"Hanya itu saja?" ia mengulangi pertanyaannya. "Bolpoin? Kertas?"

"Oh." Anna baru mengerti maksud pertanyaan laki-laki itu. Ia tersenyum malu. "Saya biasa hanya menggunakan ini saat wawancara. Rasanya ini jauh labih simple dari pada harus menggunakan bolpoin atau kertas."

Arsjad mengangguk sekali. Gerakan yang nampak anggun di mata Anna. Seketika setelah itu, Anna merutuki dirinya karena sudah berkali-kali memuji Arsjad hanya dalam waktu beberapa menit saja.

"Kalau boleh tahu, wawancara ini untuk rubik apa ya?"

"Jadi di majalah kami, ada sebuah rubik yang setiap minggunya membicarakan tentang keberhasilan orang-orang dalam menggapai cita-cita mereka. Tujuannya untuk memberikan motivasi bagi pembaca. Bahwa bukan mereka saja yang menghadapai rintangan. Bahwa bukan mereka saja yang memulai semuanya dari nol."

Arsjad mengangguk beberapa kali sebelum kemudian kembali menatap Anna. "Lalu, bagaimana kalau saya katakana sebenarnya semua ini bukan cita-cita saya? Dan semua ini saya dapatkan cuma-cuma. Bukan dari nol. Bukan dari usaha sendiri. Melainkan kekayaan turun temurun dari orang tua saya. Apakah rubik ini masih pada tujuan awalnya?"

Anna terdiam. Bagaimana? Apa yang harus dikatakannya? Rubik ini tidak boleh melenceng dari koridornya. Tapi ia juga tidak boleh menghentikan wawancra ini begitu saja. Setidaknya, ia harus mendapatkan sesuatu dari wawancara ini.

"Kalau begitu, mari kita bicara tentang cita-cita anda." Anna mengatur posisi duduknya. Kali ini ia berusaha membuat dirinya merasa lebih nyaman. "Boleh tahu cita-cita anda sebenarnya apa? Apa anda masih memperjuangkan cita-cita itu? Semua orang pasti mempunyai mimpi, 'kan? Dan rasanya, sudah naluri manusia untuk mengejar apa yang mereka inginkan."

Arsjad memainkan bibirnya. Ia terlihat berfikir sejenak. Apa ia punya cita-cita? Tentu saja. dulu ia punya cita-cita. Dan dulu ia sangat memperjuangkannya. Tapi sepertinya ia sudah mulai melupakan semuanya. Hanya berjalan mengikuti arah angin membawanya.

"Kalau kamu sendiri, Anna, apa cita-cita kamu?"

Anna menegakkan tubuhnya. Sedikit terkejut karena situasi tiba-tiba berubah.

"Apa ini cita-cita kamu? Menjadi seorang wartawan? Mewawancarai banyak orang. Bertemu orang-orang hebat seperti saya?"

Anna mengerjapkan mata. Tak percaya dengan rasa percaya diri laki-laki ini yang begitu tinggi. Lalu sedetik kemudian ia tersenyum.

"Bukan." Anna menggelengkan kepalanya.

"Bukan?" ulang Arsjad penuh selidik. Laki-laki itu bahkan memicingkan matanya karena rasa penasarannya pada kelanjutan cerita Anna. Ia sadar, situasi mereka sedang terbalik. Tapi, tak ada salahnya, 'kan mendapatkan sesuatu dari orang lain? Arsjad memang tipe orang yang senang mendengar pengalaman dari orang lain. Mendengar sudut pandang dan pola pikir lawan bicaranya. Iya, Arsjad memang tipe pendengar.

"Iya, bukan." Anna memastikan. "Ini bukan cita-cita saya. Bahkan apa yang saya pelajari dulu di tempat kuliah berlawanan arah dengan apa yang saya impikan. Banyak sekali yang sudah saya lakukan untuk cita-cita saya itu. Bahkan, banyak sekali yang sudah saya korbankan, meskipun sampai saat ini, saya memang belum sampai mana-mana." Anna tersenyum ketir. Membuat lawan bicaranya jadi tak enak hati karena sudah membahas sesuatu yang sentimentil buat Anna. "Tapi, saya rasa hidup memang seperti itu sih? Kita gak akan mendapatkan apa yang kita inginkan dengan mudah. Selalu ada proses di balik semuanya. Dan sampai saat ini, saya masih memperjuangkan cita-cita itu." Kali ini, senyum di wajah Anna terlihat jauh lebih tulus. Dan Arsjad merasa lega atasnya.

"Oh ya?" laki-laki itu mulai merasa tertarik dengan pembicaraan mereka. Ia bahkan mulai merasa tertarik dengan pemikiran lawan bicaranya. Dicondongkannya tubuh, berusaha bersikap senyaman mungkin. Sementara perempuan di depannya mengangguk. Yakin dengan apa yang dikatakannya.

"Pertanyaannya, sampai kapan? Bagaimana kalau ternyata kamu tidak akan pernah sampai di tujuan?" Arsjad mencoba menggali lebih dalam. Bukan tanpa alasan, pasalanya pertanyaan ini lah yang juga menghantui hidupnya beberapa tahun silam sehingga membuatnya memutuskan untuk mengikuti arah takdir.

"Gak ada kata gak pernah sampai buat saya sebelum saya benar-benar menghabiskan waktu dan umur saya. Jika sampai waktunya tiba bagi saya untuk meninggalkan dunia ini, dan saya belum mendapatkan apa yang saya mau, saya bahkan tidak akan mati dalam keadaan menyesal. Karena saya setidaknya sudah berusaha. Itu sebabnya, Arsjad, semua orang mungkin punya cita-cita yang mereka impikan. Tapi kita tidak bisa berpaku di satu titik. Kita harus terbuka, mencoba banyak hal. Menemukan sesuatu yang baru sebelum kita benar-benar mencapai cita-cita. Seperti kamu, seperti saya. Tapi di sisi lain, kita tetap tidak boleh melupakan cita-cita kita. Lagi pula, saya senang memperjuangkannya. Saya tidak pernah menganggapnya sebagai beban."

Arsjad merasa tertampar dengan pernyataan Anna. Dia bahkan bukan hanya melupakan cita-citanya saja, dia mengabaikannya. Meninggalkannya di belakang sementara dia tetap berjalan jauh sampai cita-citanya tertinggal di sana. Dan Anna membuatnya tersadar akan satu hal, bahwa ia telah mengabaikan sesuatu yang begitu penting baginya. Sesuatu yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sesuatu yang sangat ia cintai.

Arsjad berdehem sekali. "Good," pujinya atas pemikiran Anna yang sudah berhasil membuka pemikirannya. Ia tersenyum tulus pada perempuan itu. "Ngomong-ngomong, kamu belum menjawab pertanyaan saya yang satu lagi." Arsjad kembali menghempaskan tubuhnya di punggungng kursi, sementara Anna mengernyitkan keningnya. Sudah beberapa menit berlalu, tapi ia masih belum mendapatkan apa pun dari Arsjad. Dan justru laki-laki ini yang mendapatkan banyak hal dari Anna.

"Apa cita-cita kamu?" Arsjad mengulangi pertanyaannya tanpa mengalihkan tatapannya dari Anna. Selama beberapa detik berlalu, keduanya hanya saling menatap. Ada sesuatu yang terasa menusuk dada Anna ketika pertanyaan Arsjad terlontar. Gadis itu menunduk. Apa cita-citanya? Mendapat pertanyaan seperti ini, membuat Anna melayangkan ingatannya pada satu masa. Saat ia mulai berani mengatakan apa cita-citanya pada seseorang. Orang pertama yang diberitahunya apa yang ingin ia cita-citakan. Daniel.

***