Widya sedang berbicara serius dengan seorang dokter di luar ruang rawat, tentang keadaan laki-laki yang dibawanya ke rumah sakit. Katanya luka tusuknya cukup dalam. Tapi syukurlah, hal itu tidak sampai menyentuh organ vitalnya. Pisau sudah dikeluarkan, pendarahan sudah di atasi. Luka sudah dijahit. Ia hanya butuh istirahat dan pantauan dari dokter yang artinya dia harus di rawat inap. Tapi rumah sakit membutuhkan persetujuan dari wali. Dan wali harus melunasi administrasi terlebih dahulu.
Lalu ketika itu, Widya tanpa sengaja melihat laki-laki itu membuka matanya. Widya tersentak dan bergegas meninggalkan dokter yang masih menjelaskan keadaan laki-laki itu padanya. ia menyeruak masuk ke dalam ruangan. Menghampiri ranjang tempat laki-laki itu berbaring. Ia terlihat cemas.
"Kamu sudah sadar? Kamu bisa dengar suara saya kan?" tanya Widya. Ia menatap laki-laki yang tengah menatapnya dengan lemah itu. Lalu samar, ia melihatnya tersenyum dan mengangguk. Seketika Widya merasa lega. Lalu sedetik kemudian, ia membalas senyum laki-laki itu dan mengembuskan napasnya yang sejak tadi terasa mencekik kerongkongannya. Syukurlah. Gumamnya dalam hati. Saat itu, dokter yang tadi berbicara dengannya masuk ke ruangan. Ia mengeluarkan senter kecil dari jas dokternya dan menyorotkannya ke mata laki-laki itu.
"Anda bisa mendengar saya?" tanya dokter itu memastikan. Lalu sekali lagi, dengan lemah laki-laki itu mengangguk.
"Syukur lah anda sudah sadar. Luka tusuknya cukup dalam. Tapi tidak mengenai organ vital anda. Jadi untuk beberapa hari anda perlu di rawat di sini untuk pemulihan," jelas dokter itu. Laki-laki itu kembali mengangguk samar. Dokter itu menegakkan tubuhnya dan beralih menatap Widya.
"Mungkin anda bisa membantu dia untuk menghubungi keluarganya," sarannya.
"Iya dok," jawab Widya. Saat dokter itu meninggalkan mereka berdua, Widya menghempaskan tubuhnya di atas kursi di dekat kasur.
Untuk semua yang terjadi malam ini, dia benar-benar lega karena laki-laki yang dibawanya ke rumah sakit ini bisa bertahan. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu dan kembali menegakkan tubuhnya.
"Kamu, ada nomor telephone rumah? Mungkin saya bisa bantu kamu hubungi keluarga kamu," ujar Widya. Ia mendekatkan telinganya kembali di mulut laki-laki itu saat ia melihat laki-laki itu membuka mulutnya.
"Kantong," jawabnya dengan lemah.
"Maaf ya." Widya merogoh saku celana jins laki-laki itu dan menarik ponselnya keluar. Benda berukuran melebihi genggaman tangan Widya, dengan bobot lumayan berat itu, mulai diakses Widya. Ia tenggelam dengan seriusnya, tanpa tahu pria yang tengah tidur di depannya sedang mengamatinya.
Ada 12 panggilan tak terjawab. Widya ragu sejenak. Apakah ia lancang jika ia membuka panggilan masuk laki-laki ini? Tapi mungkin saja itu dari keluarganya dan Widya bisa menghubunginya kembali. Akhirnya, Widya memutuskan untuk membukanya. 12 panggilan tak terjawab itu semuanya dari Wira. Apakah Wira ini keluarganya? Adik atau mungkin kakaknya? Atau anak? Widya menatap laki-laki itu. Apakah ia sudah punya anak? Tapi usianya sepertinya tak jauh berbeda dengannya. Widya kembali mencondongkan tubuhnya ke tempat tidur dan memutuskan untuk bertanya dari pada menerka-nerka tanpa tahu jawaban pasti.
"Maaf, tapi ada 12 panggilan masuk dari Wira. Apa dia keluarga kamu?" meski dengan gerakan yang sangat samar, Widya dapat melihat laki-laki itu berusaha menggeleng. Oke, apa ia sudah terlalu banyak bertanya? Bukankah kondisi laki-laki ini masih sangat lemah dan ia sepertinya sudah terlalu banyak bertanya sejak tadi. Saat itu, Widya melihat laki-laki itu mengangkat tangannya. Ia menunjuk ponsel itu dengan matanya. "Oh," gumam Widya yang segera tersadar dan memberikan ponsel itu ke tangan laki-laki itu. Ia terlihat sedang melakukan sesuatu dengan ponselnya, dan setelah itu ia kembali menyerahkannya pada Widya. Dengan ragu, Widya menerima ponsel itu dan sebuah nomer tertera di layarnya. IBU. Begitu nama yang tertulis di atas nomer. Widya lantas bangkit dan berjalan menjauhi tempat tidur. Sejujurnya, ia gugup setengah mati harus mengabarkan berita buruk ini. Bahkan di waktu yang sangat tidak tepat. Pukul 2 pagi. Siapa yang tidak akan terkejut nantinya. Tapi ia harus melakukannya. Tidak ada pilihan lain karena laki-laki ini harus segera mendapat penanganan.
Widya menekan tombol panggilan dan ia menempelkan ponsel itu ke telinganya. Nada dering monoton langsung menyambutnya saat itu. Selama menunggu panggilannya itu terjawab, Widya merasa seperti akan di eksekusi mati. Sekujur tubuhnya mulai lemas dan ia mulai menggigiti kukunya. Kebiasaan yang akan dilakukan jika ia merasa tidak nyaman.
"Halo."
Widya tersentak. Saat satu suara berat itu terdengar di telinganya. Bukan suara seorang wanita melainkan suara seorang laki-laki yang sudah Widya bangunkan dari tidurnya.
"Halo," sapa suara itu seklai lagi.
"H-h-halo," Sapa Widya pada akhirnya. Sejenak tak ada suara lagi di sebrang sana. Bahkan untuk beberapa detik yang berlalu, Widya ikut tak bicara. Sebelum kemudian, ia kembali sadar dan harus melakukan tugasnya.
"Maaf sebelumnya saya mengganggu istirahat bapak. Tapi, ini benar orang tua dari pemilik ponsel ini?" bodohnya Widya, ia baru sadar kalau dia belum menanyakan nama laki-laki ini.
"Oh iya betul ada apa ya?" suara di sebrang sana mulai terdengar cemas.
"Sekali lagi maaf kalau saya harus mengabarkan ini selarut ini. Saya Widya. Beberapa jam yang lalu, saya tidak sengaja bertemu dengan pemilik ponsel ini dan dia dalam kondisi …" Widya menggigit bibirnya. "Ter-tusuk."
"Ya Allah. Ya Allah," seru orang di seberang sana seketika terdengar panik. "Terus ... terus bagaimana keadaannya sekarang? Anda di mana saat ini? Anda masih bersama anak saya?"
Widya mulai merasakan nada khawatir tersirat dalam seluruh pertanyaan itu. Bahkan ia mulai mendenga –seseorang yang mungkin sedang tidur di samping seseorang yang sedang menjawab ponselnya saat ini –terbangun dan ikut khawatir.
"Saya ada di rumah sakit. Dia sudah dalam penanganan dokter dan saat ini sudah mulai membaik."
"Ya Allah syukurlah."
"Tapi, kami butuh walinya untuk menyelesaikan administrasi supaya dia bisa ditangani lebih baik lagi," jelas Widya.
"Iya iya. Kami akan ke sana sekarang. Terimakasih sebelumnya. Terimakasih."
Sambungan terputus. Widya kembali mengembuskan napas lega untuk kesekian kalinya. Ia lantas menghampiri laki-laki itu dan meletakkan ponselnya di meja di samping tempat tidurnya.
"Ponsel kamu saya taruh di sini ya," tutur Widya. Laki-laki itu hanya mengangguk.
"Kamu istirahat saja dulu. Saya akan tunggu keluarga kamu di luar sampai mereka datang." Widya meraih tasnya yang di letakkannya di salah satu kursi yang ada di sana. Ia hendak melangkah ketika ia teringat satu hal. Widya kembali memutar tubuhnya menghadap tempat tidur laki-laki itu dan kembali mencondongkan tubuhnya.
"Nama kamu, siapa?" tanyanya.
Widya mungkin sedikit menyesal karena telah mengusik waktu tidur yang akan dilakukan laki-laki itu. Ia kembali membuka matanya. Membasahkan bibirnya sejenak sebelum kemudian tersenyum dan menjawab.
"Akbar," gumamnya, namun Widya tak dapat mendengar. Ia kembali mendekatkan telinganya untuk mendapat jawaban lebih jelas. Jakun laki-laki itu terlihat naik turun. Pertanda ia sedang menelan salivanya.
"Akbar." Kali ini ia berusaha lebih kerasa agar kalimatnya terdengar jelas.
Widya menegakkan tubuhnya kembali. Ia tersenyum menatap laki-laki itu dan menyentuh bauhnya.
"Akbar, jangan khawatir ya. Karena saya yakin kamu akan baik-baik saja," ujar Widya memberi semangat. Ia tak tahu kenapa ia melakukan itu. Hanya saja, ia merasa perlu menenangkan laki-laki ini.
Ia tersenyum dan bergumam lirih.
"Terimakasih."