"Happy birth day."
Anna tersentak. Tak menyangka saat ia merasakan bibir Daniel menyentuh pipinya yang kenyal dengan tiba-tiba. Matanya melotot menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya. Seolah tanpa rasa bersalah, Daniel tersenyum nakal sembari mengedikkan sebelah matanya. Mana bisa Anna marah pada laki-laki ini. Ia selalu berakhir menyerah padanya.
"Ish," gumam Anna kesal. Ia memukul pelan Daniel. Menutupkan rasa malunya. Untung saja, saat itu sedang tidak ada siapa-siapa di dalam rumah. Hanya ada asisten rumah tangga yang saat ini entah sedang berada di mana.
Kalau boleh jujur, mendapat ciuman tiba-tiba seperti itu sebenarnya membuat Anna seakan diajak terbang ke awan. Hanya saja, ia tak mau mengakuinya pada Daniel.
"Aku punya hadiah buat kamu."
Hadiah? Wah, dari dulu Anna memang paling suka dengan hadiah. Anna paling suka dengan kejutan. Terlebih ia paling suka dengan hari ulang tahun. Karena ia akan mendapat banyak kejutan dan beberapa hadiah dari orang-orang terdekatnya. Anna menatap Daniel dengan mata berbinar.
"Apa?" tanyanya, tanpa sadar menggenggam lengan laki-laki itu. Daniel mengalihkan tatapannya dari Anna ke tangannya yang tergenggam di tangan Anna. Ia tersneyum dan kembali menatap Anna. "Hadiahnya ada di kamar kamu," jawab Daniel.
"Oh ya?" kali ini Anna melepaskan genggamannya. Ia masih penuh dengan binar-binar antusias di matanya. Daniel mengangguk yakin.
"Kalau gitu, aku ke kamar dulu," pamit Anna, dan sekali lagi Daniel mengangguk. Anna tersenyum dan setengah berlari meninggalkan Daniel masuk ke dalam kamarnya. Tidak ada apa pun di dalam sini. Kamarnya masih tetap sama. Bahkan tak ada balon atau pun kue ulang tahun. Tidak ada yang berubah dari kamarnya. Anna berfikir sejenak. Apa Daniel sedang mengerjainya? Kalau benar laki-laki itu sedang mengerjainya saat ini, Anna tidak akan memaafkannya kali ini. Anna memutar tubuhnya dan hendak kembali ke tempat Daniel ketika matanya menangkap sesuatu di atas nakas di samping tempat tidur. Anna menatapnya.
Sebuah kotak berbentuk persegi yang dililitkan kertas kado. Anna menghampirinya dan ia tak dapat menahan senyuman saat melihat kotak persegi itu di ikatkan sebuah pita berwarna merah lengkap dengan setangkai mawar di aatsnya dan kartu ucapan.
"sejak kapan dia jadi sok romantis gini?" gumam Anna. Ia lantas meraih kotak persegi itu beserta mawarnya. Diciumnya sejenak mawar itu. mencoba merasakan harum aromanya yang menyeruak ke dalam hidung Anna. Anna tersenyum dan kini perhatiannya terarah pada kotak persegi di tangannya. Tanpa sabar, ia merobek kertas kadonya dan Anna menemukan sebuah notebook bersampul coklat di dalamnya. Ia mengerutkan kening. Dipikirnya, ia akna mendapatkan kalung, atau mungkin jam tangan. Seperti yang pernah ia lihat di drama-drama romantic. Notebook? Anna bahkan tidak mengerti filosofinya.
"Suka?"
Anna tersentak saat Daniel tiba-tiba saja berdiri di belakangnya. Ia memutar tubuhnya cepat dan kembali terkejut saat mendapati jarak mereka yang terlalu dekat.
"Kenapa notebook?" tanya Anna. Daniel menatapnya, sebelah alisnya terangkat. Lalu ia meraih notebook itu dari tangan Anna dan membuka kancing coklatnya.
"karena aku harap, suatu saat nanti aku akan baca tulisan kamu di sini." Daniel menyerahkan notebook itu kembali ke Anna. Menunjukkan sesuatu di dalam lembaran pertama notebook itu.
"Selamat ulang tahun Jeana Paradikta."
Anna tersenyum saat membaca kalimat pertama di dalam buku itu. Ia tak peduli kalau saat ini, mungkin saja wajahnya sudah bersemu merah. Bagaimana tidak, Daniel menyematkan nama belakangnya pada nama Anna. Ia melirik Daniel sekilas. Laki-laki itu tersenyum dan meminta Anna melanjutkan membacanya dengan menggerakkan alisnya.
"Kado ini, satu-satunya kado yang aku kasi secara gak gratis buat kamu. Karena aku mau, suatu hari nanti aku bisa baca satu cerita dari tangan kamu yang kamu tulis disini. Notebook ini, adalah novel pertama kamu."
Anna tersenyum. Untuk beberapa saat ia tak dapat berkata-kata. Hatinya sedang tersentuh. Matanya mulai terasa panas. Jadi ia takut, saat ia mengatakan satu kata saja, ia akan melakukan hal yang bodoh, seperti menangis.
"Suka gak?" tanya Daniel sekali lagi. Laki-laki itu membuyarkan segala bentuk lamunan Anna. Membuat Anna kembali menatapnya dan tersenyum. Lalu detik selanjutnya, Anna berhambur ke dalam pelukkan Daniel. Melingkarkan kedua tangannya di leher laki-laki itu. Menyembunyikan wajahnya di bahu Daniel dan membiarkan air matanya mengalir di wajahnya.
"makasih." Bisik Anna. Membuat laki-laki itu mengangkat ke dua tangannya dan membelit tubuh Anna yang ramping.
Ingatan kembali pada malam ini. Saat ia tak sengaja menemukan notebook cokelat pemberian Daniel. Ia menghela napas.
Anna memang sudah menyelesaikan satu novelnya di dalam notebook itu. Tapi Daniel belum sempat membacanya. Atau mungkin, tak akan pernah membacanya. Kandasnya hubungan mereka dengan cara yang sangat menyakitkan, membuat Anna psimis akan kembali berjumpa dengan Daniel atau bahkan memulai hubungan kembali. Meski jauh di dalam lubuk hatinya, Daniel masih tetap di sana. Tak pernah ke mana-mana sejak hari itu.
Terkadang, tak jarang Anna berharap ia bisa bertemu laki-laki itu kembali. Bicara berdua dengannya. Memperbaiki hubungan di masa lalu. Anna tak berharap akan merajut kembali tali kasih yang sempat putus. Ia hanya ingin menyelesaikan semuanya dengan Daniel. Bukankah bagaiaman pun juga, laki-laki itu tetaplah sepupunya?
Anna menyeka air matanya. Menutup notebook itu kembali dan memutuskan untuk tidur.
***
BRAK !!!
Anna tersentak. Tidak, bukan hanya Anna. Tapi semua orang yang berada di meja meeting. Pagi ini, atasnnya meminta mereka semua untuk meeting 15 menit. Anna dan beberapa rekan kerjanya diminta untuk ke ruangan kerjanya. Tak banyak yang mereka bahas. Ia hanya menanyakan laporan ini itu. Dan menanyakan beberapa pertanyaan mengenai rencana-rencana yang sudah mereka buat. Mulanya, Anna tak mengerti mengapa ia harus ikut terlibat dalam meeting ini, sementara sejak ia duduk di kursinya, dan mendengarkan bosnya bicara, Anna tak pernah di ajak terlibat sekali pun. Namun ternyata, Anna baru di butuhkan saat meeting akan berakhir.
Sebuah majalah teronggok di atas meja di depan Anna. Salah satu majalah bisnis terkemuka yang sering kali menampilkan profil-profil orang-orang sukses. Baik di dalam mau pun di luar negeri. Anna di hadapkan pada salah satu halaman yang menampilkan profil orang sukses versi majalah ini. Ia mengalihkan perhatiannya dari majalah itu ke bosnya.
"lusa, laki-laki itu akan datang. Chef Dikta. Kamu tahu dia kan?" tanya bosnya dengan suara lantang. Tujuh tahun kerja di tempat ini bukan waktu yang singkat untuk mengenal kepribadian bosnya yang suka meledak-ledak ini. Meskipun begitu, Anna tahu itu hanya wataknya saja. bukan karena ia tidak suka atau karena ia sedang marah. Sejak lahir, ia memang sudah di ciptakan dengan suara yang menggelegar.
"Oh, come on Anna. Kamu tidak kenal Chef Dikta?" tanyanya sekali lagi. Anna melirik teman-temannya yang saat ini tengah menatapnya. Apa hanya ia yang tidak tahu? Sekali lagi, Anna menggeleng.
"Dia salah satu Chef paling terkenal di Milan Anna."
Anna menggigit bibirny. "Oke, dan ... saya, di Jakarta." Gumam Anna. "Indonesia." Tambahnya. Semua orang berusaha menahan tawa saat Anna mengatakan hal itu dengan gugup.
"Ya tetap saja, kamu ketinggalan jaman." Putus bosnya.
Anna meringis. "Oke," jawabnya. Ia hanya tak mau berdebat panjang dengan bosnya.
"Dia adalah seorang chef sekaligus pemilik dari restaurant mon chery yang sebentar lagi akan dibuka di Jakarta. Saya sudah atur waktu pertemuan kamu dengan dia. 4 hari lagi, kalian akan bertemu di restaurant itu untuk wawancara. Kamu tenang saja, untuk yang satu ini sepertinya dia bukan tipe orang yang akan merepotkan. Dia terkesan ramah waktu saya coba menghubunginya. Jadi untuk kali ini, kamu tidak akan dapat masalah."
Anna hanya mengangguk mendengarkan penjelasan atasannya.
"Untuk alamatnya, akan saya kirimkan ke kamu. Jadi Anna ...." Ia menatap Anna dengan serius, dengan seulas senyum tersungging di bibirnya. Senyum yang membuat Anna merinding, karena Anna tahu, di balik senyum itu ada ancaman yang membahayakan masa depannya.
"Lakukan yang terbaik."
Anna menghrla napas dan tersenyum sembari mengangguk.
"Oke, meeting selesai. Kalian boleh kembali bekerja," tutup bosnya.
Anna dan beberapa rekan kerjanya beranjak dari tempatnya dan melangkah keluar. Tak lupa ditentengnya majalah yang tadi disodorkan atasannya di atas meja.
"Nna," Anna menoleh menatap Lolly yang menjajari langkahnya. Ia tengah meregangkan otot-otot tangannya sejenak.
"Dengar-dengar, Chef Dikta itu cakep lho." Ujarnya tiba-tiba. Anna menoleh menatap Lolly. Perempuan itu tersenyum penuh makna.
"Semoga berhasil," gumamnya lantas mendahului langkah Anna yang masih tak mengerti dengan yang di maksud Lolly.
"Dih, gak jelas loe." tukas Anna, namun Lolly tak mengindahkan. Ia hanya tertawa dan terus saja berjalan. Anna mengalihkan pandangannya menatap majalan bisnis dipeluknya. Majalah yang masih terbuka dan menampilkan profil chef Dikta yang di sebut-sebut bosnya. Namun, tak ada foto di sana. Bagaimana ia bisa mengenalinya jika tanpa wajah. Ya, mungkin saja Anna pernah melihatnya di acara tv atau membaca artikel tentangnya, namun ia tak ingat namanya. Ia lantas membaca profile dan beberapa informasi yang tertera di sana.
Namun, seketika Anna tertegun saat membaca barisan huruf yang membentuk nama panjang dari Chef Dikta. Didekatkannya majalah di tangannya itu ke depan wajah dengan jantung berdebar hebat. Berharap apa yang di tangkap matanya salah. Tapi ternyataapa yang dibacanya memang benar.
"D-Daniel ... Paradikta?" gumam Anna dengan suara yang nyaris tak terdengar. Seketika ia merasa seluruh persendiannya tak bertulang dan napasnya tercekat ditenggorokkan. Benarkan Daniel yang dimaksud adalah Daniel yang ada dipikirannya?
***