Anna menyibak selimut yang sejak tadi membelitnya. Ia tak bisa tidur. Bagaimana pun ia membuat suasana kamarnya agar nyaman, ia tetap tak bisa tidur. Dan yang lebih menyebalkan, semua hanya karena senyuman Arsjad yang tak mau enyah dari pikirannya. Semudah itukah ia jatuh cinta? Tidak. Anna bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Ia tahu itu.
Bertahun-tahun berlalu sejak retaknya hubungannya dengan Daniel, Anna tak pernah lagi merasakan gelenyar aneh di dadanya ketika berada di dekat laki-laki. Tentu saja, selama rentang waktu itu Anna pernah mencoba peruntungan dengan beberapa laki-laki.
Sigit. Seorang photographer dari sebuah majalah fashion, pernah mencoba mendekati Anna. Ia mengenal laki-laki ini lewat sebuah kerjasama yang dilakukan oleh NinEleven dengan kantor tempat Sigit bekerja. Mereka hanya bertemu beberapa kali. Kemudian di suatu malam, sebuah pesan mendarat di ponselnya dari nomor tak dikenal. Tentu saja, pemilik nomor itu adalah Sigit. Anna yang merasa sudah terlalu lama bergelut dengan masa lalunya, mencoba membuka hati untuk laki-laki itu. Sayang, Anna merasa tak bisa masuk dengan gaya hidup yang dimiliki Sigit. Dunia malam, adalah sesuatu yang tak dapat dilepaskan dari laki-laki itu. Perlahan, Anna mencoba menghindar dari Sigit. Mengakhiri hubungan yang bahkan belum sempat dimulai. Dan belakangan, Anna tahu, kalau Sigit adalah seorang pecandu.
Oka, adalah teman lama Anna ketika kuliah dulu. Mereka tidak satu jurusan, tapi mereka tergabung dalam satu komunitas yang sama. Oka juga mencintai dunia litrasi, sama seperti dirinya. Pertemuan mereka terjadi lagi ketika Anna menghadiri sebuah acara reuni yang diadakan oleh komunitasnya dulu. Laki-laki itu kini menjadi seorang pengusaha, pendiri sebuah perusahaan penerbit mayor bernama "Tanda Baca." Oka adalah laki-laki yang baik. Tapi entah mengapa, setiap kali berada di dekatnya, Anna selalu dihantui perasaan bersalah karena diam-diam, Anna selalu menggemakan di kepalanya bahwa Oka adalah orang yang tepat baginya untuk dapat melupakan Daniel. Bukankah menjadikan seseorang sebagai pelarian itu tidak adil? Maka Anna lagi-lagi mengakhiri hubungan yang bahkan belum sempat dimulai.
Dan yang terakhir adalah Rio seorang kakak dari salah satu rekan kerja Anna. Mereka bertemu ketika Rio sedang menjemput adiknya di kantor tempat Anna bekerja. Laki-laki itu meminta adiknya agar mendekatkannya dengan Anna. Tapi untuk yang satu ini, Anna menolaknya begitu saja. Karena Rio datang terlalu cepat setelah baru beberapa minggu Anna memutuskan pergi dari kehidupan Oka.
Bersama tiga orang laki-laki itu, Anna tak pernah sama sekali melibatkan hatinya. Maka setelah itu, ia tahu bahwa dirinya harus berhenti. Sampai kemudian, hari ini Arsjad datang membuat jantungnya untuk pertama kali berdebar lagi. Tapi bukankah Arsjad terlalu tinggi untuk digapai? Anna memutuskan turun dari tempat tidurnya untuk keluar dari kamarnya. Ia merasa lelah mencoba tidur sejak beberapa jam yang lalu.
Namun, ketika ia membuka pintu kamarnya, Anna dikejutkan oleh keberadaan ibunya di ruang tengah. Perempuan itu tengah menonton sebuah acara TV dalam suasana ruangan yang gelap. Melihat kehadiran Anna yang tiba-tiba, Ibunya mendadak gugup.
"Lho, Ma, kok gelap-gelapan?" tanya Anna sembari menutup pintu kamarnya. Ia meraih saklar yang tak jauh dari pintu kamar dan menyalakan lampu. Tapi, begitu lampu ruang tengah itu menyala, betapa terkejutnya Anna mendapati ibunya tengah menyeka air mata.
"Lho, Mama kenapa, Ma? Kok nangis?" panic, buru-buru Anna mendekati ibunya dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa di samping ibunya.
"Ah, gak. Mama gak apa-apa. Itu … acaranya sedih," jelas wanita itu sambil menyeka air matanya. Anna mengalihkan pandangannya ke televisi. Nampak sebuah acara reality show, di mana seorang laki-laki tengah menyatakan perasaannya terhadap seorang wanita. Lantas mereka saling berpelukan setelah si wanita menerima cintanya. Anna mengerutkan kening. Rasa-rasanya tak ada alasan untuk meneteskan air mata dengan acara yang membahagiakan seperti ini.
"Mama, kangen sama papa kamu."
Mendengar penjelasan itu, Anna seketika menoleh. Ditatapnya sejenak wanita yang tengah tersenyum padanya. Begitu saja Anna berhambur ke dalam pelukan wanita itu. Untuk pertama kalinya, Anna mendengar ibunya ini mengeluh. Baginya, perempuan ini adalah sosok terkuat yang pernah ia lihat. Dalam kondisi apa pun, ibunya tak pernah mengeluh atau meneteskan air mata. Setidaknya, Anna tak pernah melihat itu. Tapi malam ini, Anna akhirnya melihat air mata itu tumpah, dan mendengar keluhan itu. Meski kebersamaannya dengan sang suami terlampau cepat, dan berbagai cobaan berat menghampiri mereka, tapi beliau tetap tangguh berdiri setelah ditinggal pergi.
Anna meletakan secangkir teh di atas meja tempat mereka duduk. Kini, ibunya sudah nampak lebih tenang. Air mata sudah tak lagi menetes.
***
"Minum dulu, Ma," Anna mempersilakan. Wanita itu lantas mengambil cangkir berisi teh hangat yang telah diseduhkan Anna untuknya dan menyecapnya sedikit. Anna kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas bahu ibunya dan merangkul lengannya. Sejak mendengar pengakuan ibunya, pikirannya seketika melayang pada kenangan-kenangan yang pernah ia bentuk bersama sang ayah. Tapi saat ini, mengembalikan suasana hati ibunya adalah hal yang utama.
"Mama sering begini ya?" tanyanya memastikan. Setelah beranjak dewasa, Anna mulai paham kalau peran seorang ibu memang harus menjadi tangguh. Tapi, bukankah ibu juga seorang manusia yang mudah rapuh? Anna jadi tepikir, mungkin kah selama ini ibunya pernah diam-diam menangis seperti ini di belakangnya? Selama ini, Anna memang tak pernah mengungkit ayahnya di depan ibunya. Bukan apa-apa, ia hanya takut ibunya sedih karena teringat sang suami. Tapi rupanya Anna salah. Setiap orang, butuh untuk mengungkapkan perasaannya agar sesak yang mengganjal di dada setidaknya bisa sedikit lega.
Mamanya menepuk pelan tangan Anna yang bergelayut di lengannya. "Papa kamu itu orang yang sangat baik. Gak ada seorang pun perempuan yang akan melupakan orang yang sangat mencintainya dan memperlakukannya dengan baik."
Anna menyeka air matanya yang menetes begitu saja. Ia mendadak rindu pada ayahnya. Kebersamaan mereka tidak terlalu lama. Ayahnya pergi ketika Anna baru menginjak usia 14 tahun.
"Anna juga gak pernah melupakan kebersamaan Anna dengan papa, Ma. Meski pun, Anna cuma punya kenangan singkat aja sama papa." Widya –ibu Anna –mengangguk. Salah satu hal yang menyakitkan baginya setelah kepergians sang suami adalah, Anna yang belum memiliki banyak kebersamaan dengan sang ayah.
Anna mengangkat kepalanya dari bahu ibunya untuk menatap perempuan itu. "Ma, selama ini, Anna gak pernah nanya ini." Anna terdiam sejenak. Sebenarnya ia ragu untuk bertanya, karena pertanyaan yang akan ia lontarkan ini tentu akan menambah rasa rindu Widya pada sang suami. Tapi, Anna merasa perlu tahu, untuk mencari jawaban atas perasaannya. Widya menatap wajah sang anak.
"Apa sih, yang buat mama jatuh cinta sama papa?"
Widya tersenyum mendengar pertanyaan Anna. Bukankah anaknya ini sudah dewasa? Ia sadar, ia tak pernah menceritakan kisah cinta mereka pada Anna. Mungkin ini saatnya. Widya mulai mengenang saat-saat pertemuan pertama mereka. Apa yang sudah membuatnya jatuh cinta pada suaminya? Widya pun tak menyangka ia akan mencintai laki-laki itu sebegini dalam.
Namun, setelah kepergiannya, Widya sadar bahwa mungkin, seumur hidupnya, ia tak akan melupakan suaminya. Setiap hari, selama 12 tahun semenjak kepergian Akbar, kehampaan di dalam hatinya selalu menyiksanya. Ia tidak pernah lupa bagaimana cara Akbar mencintainya. Ia tidak pernah lupa bagaimana cara laki-laki itu meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar serius. Ia bahkan tidak pernah melupakan bagaimana laki-laki itu harus di usir keluar dari rumahnya sendiri demi untuk bersama dengannya. Widya menyeka air mata dengan telapak tanganna saat kenangan-kenangannya bersama Akbar kembali bergelayut di setiap sel otaknya.
***