Chereads / As Time Goes By / Chapter 7 - Bandung 1998

Chapter 7 - Bandung 1998

Widya memunguti pakaiannya yang tergeletak di atas lantai dan memasangnya kembali. Sekilas, ia menatap laki-laki yang tengah berbaring di atas tempat tidur. Ia masih terlelap dalam posisi tengkurap seperti bayi. Wajahnya terlihat polos jika sedang tidur seperti ini. Dan setiap kali melihat pemandangan itu, Widya sangat menyukainya. Entah mengapa ia akan selalu merasa hangat di dalam dadanya.

Kalau tidak salah ingat, ia sudah bersama laki-laki ini lebih dari tiga bulan. Dan Widya selalu suka caranya memperlakukan dirinya. Ia tidak sama dengan laki-laki lain yang begitu egois hanya ingin menyenangkan dirinya sendiri. Sementara laki-laki ini, selalu mempertimpangkan pendapat Widya jika ia ingin melakukan tindakkan apa pun terhadapnya. Ia selalu bertanya apakah dirinya keberatan jika ia melakukan ini atau itu. Tapi tetap saja, hubungan mereka hanya sebatas rekan bisnis. Tidak lebih. Widya bangkit perlahan dari atas tempat tidur, tanpa berniat membangunkannya. Tapi sepertinya, niatannya gagal.

"Kamu sudah mau pulang?"

Widya terlonjak dan batal mengancingkan kemejanya saat tiba-tiba saja suara serak itu memecah keheningan kamar. Widya memutar tubuhnya dan tertegun saat mendapati laki-laki itu tengah mengulet mengubah posisinya menjadi telentang. Ia mengucek matanya sejenak saat merasakan cahaya lampu menyeruak ke dalam matanya. Widya menyadarkan dirinya dan kembali memutar tubuhnya. Memunggungi laki-laki itu untuk melanjutkan mengancingi kemejanya.

"Iya," jawabnya singkat.

Widya berjalan ke sudut ruangan memunguti tas dan sepatunya yang tergeletak di sana. Ia berpegangan pada dinding di sisinya dan memasang sepatu hak tingginya yang berwarna merah menyala. Meraih cardigan berwarna senada yang tadi di selampirkannya di kursi di depan meja rias dan memasangnya. Ia melihat laki-laki itu bangkit dan memunguti baju-bajunya. Kaus dalamnya, kemejanya, memasang dasinya.

"Saya antar pulang ya."

Widya bergeming. Tidak menjawab. Ia hanya menatap bagaimana laki-laki itu memasang dasinya. Pernah beberapa kali Widya merasa jantungnya berdebar setiap kali ia bersama laki-laki ini. Dan ia akan merasa gusar jika dalam satu bulan laki-laki ini menghilang. Ini memang tidak baik. Tapi mau bagaimana lagi, Widya menyukai laki-laki ini.

"Gak perlu. Saya bisa pakai taxi."

Laki-laki itu menghentikan gerakkannya memasang dasi dan mengangkat wajahnya yang tampan, menatap Widya yang berdiri di sebrang ruangan. Widya yang tengah menatapnya dengan datar. Seperti itu lah yang terlihat di mata laki-laki itu. Tapi kalau boleh jujur, di dalam hati Widya ia sedang sangat gugup dan berdebar. Ia harus cepat-cepat meninggalkan ruangan ini jika ia ingin bernafas dengan normal kembali.

"Terima kasih." Ia berderap meninggalkan laki-laki itu dan bergegas keluar dari ruangan itu.

Widya menutup pintu di belakangnya. Menyandarkan punggungnya di dinding samping pintu dan menghirup napas dalam-dalam. Sebentr saja, ia butuh menenangkan diri. Tapi, seketika ia tersentak saat knop pintu yang digenggamnya di balik punggung berputar dan pintu itu terbuka kembali.

Widya membeku saat matanya menatap langsung ke dalam mata laki-laki itu. Saat tubuh laki-laki itu bergerak dan menjulang di depannya. Ia masih belum menyelesaikan berpakaian. Dasinya belum terpasang sempurna. Dan ada beberapa kancing bajunya yang belum terpasang.

"Kenapa?" todongnya.

Sungguh, milhat kondisi laki-laki ini –rambut berantakan, kemeja yang belum sempat dimasukan ke dalam celananya, serta lengan kemeja yang menutupi seluruh lengannya tanpa sempat ia kancing –membuat Widya seperti dirasuki hantu dan ingin menariknya kembali ke dalam kemar. Tapi sebisa mungkin ia menahan hasrat yang bergejolak dan memilih untuk mundur selangkah.

"Kenapa kamu gak pernah mau saya antar pulang?" tambahnya ketika tak mendapat jawaban. "saya sering lihat kamu pulang dengan laki-laki lain setiap kamu menyelesaikan pekerjaan kamu, Widya. Tapi kenapa kamu gak pernah mau pulang sama saya setiap kali saya tawarkan?"

Widya menelan salivanya dengan susah payah. Ia lantas mengalihkan pandangannya dari laki-laki di depannya.

"Gak apa-apa," jawabnya dengan susah payah. Saat itu, Widya merasakan laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya. Ia merasakan kedua ujung kaki mereka bertemu. Widya memalingkan wajahnya dan kembali terkejut saat mendapati wajah laki-laki tu berada pada jarak yang begitu dekat dengannya. Sepatu hak tinggi yang dikenakannya membantu menopang tinggi tubuh Widya, hingga membuat wajahnya nyaris sejajar dengan wajah laki-laki di depannya.

"Apa kamu membenci saya?" tuduhnya dengan tatapan penuh arti. "jawab saya, Widya, Apa kamu membenci saya? Karena kalau memang benar, saya gak akan maksa kamu lagi untuk bersama saya."

Widya merasa sekujur tubuhnya tremor. Tidak. Ia ingin mengatakan itu. Tidak. Ia bukan membenci laki-laki ini. Ia bahkan sangat takut dengan perasaannya sendiri. Arkan, laki-laki ini Widya sangat tahu ia sudah bertunangan. Suatu hari ia melihat cincin melingkar di jari manisnya. Dan sejak malam itu, Widya selalu merasa bersalah setiap kali Arkan memintanya untuk menemaninya setiap malam. Ia sadar, pekerjaannya menuntutnya untuk tidak memilih kilen. Widya sering menemani laki-laki hidung belang lainnya yang bahkan sudah memiliki anak atau cucuk. Tapi dengan Arkan, bahkan hanya sebuah cincin tunangan benar-benar mempengaruhi hati Widya. Sebulir air mata mengalir di wajahnya. Menyentakkan keduanya dari fikiran masing-masing. Widya mundur menjauh dan menghapus air matanya dengan cepat. Saat itu, Widya merasakan cengkraman tangan Arkan di pergelangannya. Widya menatap tangannya yang berada di dalam genggaman Arkan. Kemudian ia menatap laki-laki itu.

"Kenapa Widya? Kenapa kamu berubah akhir-akhir ini? Kenapa kamu seolah ingin menjauh dari saya. Jangan bilang gak, karena semuanya sangat jelas. Sikap kamu. Bicara kamu yang mulai berkurang dan … air mata kamu."

Widya memejamkan matanya saat telapak tangan Arkan yang lebar dan hangat menyentuh wajahnya. Ia mengeluh dalam hati, kenapa hal menyebalkan ini harus menimpanya. Sejak awal menjalani pekerjaan ini, Widya sudah bersumpah kalau ia tak akan pernah menaruh hati pada setiap pelanggannya yang datang. Tapi Arkan, laki-laki ini justru datang membawa perhatian dan cinta. Mereka seolah melakukannya selama ini karena cinta. Bukan karena napsu belaka.

"Karena saya takut, Arkan," Bisik Widya. Ia membuka matanya dan kembali menatap Arkan yang menuntut penjelasan. Meraih tangan Arkan yang membelai wajahnya dan mengangkatnya ke depan wajah laki-laki itu. Menyentuh cincin emas yang melingkar di jari Arkan. "Kamu akan menikah, 'kan?" gumamnya. Arkan menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa hal itu berpengaruh buat kamu? Setahu saya, kamu bahkan punya pelanggan yang sudah punya cucu. Iya, 'kan?" Arkan menundukkan wajahnya, menyetarakannya dengan tinggi wajah Widya agar ia dapat menangkap langsung ke dalam matanya. Widya menghempaskan tangan itu dan kembali menghapus air matanya.

"Karena sama kamu … saya merasakan hal yang berbeda." Widya berusaha mengatur napasnya, tapi karena debaran di dadanya begitu kencang membuatnya kesulitan.

"Saya tahu ... ini salah, tapi … saya juga gak punya kuasa ... untuk mencegahnya. Saya ... saya mencintai kamu ... Arkan," aku Widya, membuat Arkan mematung di tempatnya.

Widya memberanikan diri menatap ke dalam mata Arkan sekali lagi. Ia tak peduli lagi atas apa yang dipikirkan oleh laki-laki ini. Widya tak menyukai perasaan ini, jadi ia hanya ingin segera mengakhirinya malam ini, tanpa pernah ia tahu kalimatnya telah menusuk ke dalam hati Arkan.

Widya menunggu laki-laki itu mengatakan sesuatu, atau melakukan sesuatu. Bahkan mencaci dirinya pun tak masalah. Tapi laki-laki itu tetap diam. Tak berkata. Tak bergerak. Kenyataan itu membuat Widya semakin didera rasa bersalah. Ia telah membuat semuanya salah. Seharusnya sejak awal ia tak pernah menggunakan perasaan. Seharusnya sejak awal ia tak pernah membangkitkan gairah di dalam hatinya terhadap laki-laki ini. Seharusnya ia tahu diri dan tak melakukan hal tolol ini. Widya menyeka air matanya sekali lagi. Ia mundur selangkah dari jarak yang menjerat mereka.

"Maaf." gumam Widya sebelum akhirnya ia memutar tubuhnya dan meninggalkan Arkan yang tetap mematung.

***

Widya melambaikan tangannya pada taxi yang masih berjalan beberapa meter di ujung jalan. Ia beridiri di salah satu sisi jalan di dekat hotel tempatnya meninggalkan Arkan. Sejenak ingatannya kembali melayang pada apa yang telah terjadi padanya dan Arkan beberapa menit lalu. Mengingat apa yang sudah dikatakannya. Dan mungkin, malam ini akan menjadi malam terakhirnya bertemu dengan Arkan.

Widya mengembuskan napasnya dengan keras dan menyeka air matanya yang hendak meluncur kembali. Taxinya sudah dekat. Ia mulai bersiap.

Namun, tepat pada saat taxi itu berhenti di sisi tubuhnya, sesuatu yang keras tiba-tiba saja menubruk tubuh Widya dari belakang hingga terjerembab di atas aspal. Ia berteriak spontan. Antara terkejut dan kesakitan dengan sesuatu yang menindih kakinya. Widya berusaha bangkit. Dan supir taxi yang akan di tumpanginya buru-buru turun untuk membantunya. Saat itu, Widya melihat seorang laki-laki terkapar tak berdaya. Rupanya, ia tak jatuh di timpa papan reklame. Melain seorang laki-laki yang bersimbah darah. Widya tersentak. Ia spontan berteriak. Tapi dengan cepat supir taxi membekap mulutnya.

"Tenang, Neng. Bahaya kalau teriak. Nanti bisa dituduh yang bukan-bukan. Sebentar. Saya periksa dulu," ujar supir taxi itu.

Sementara Widya merasa sekujur tubuhnya panas dingin dengan napas memburu. Supir taxi itu lantas mendekati tubuh laki-laki yang masih setengah sadar itu. Keringat mengucur di sekujur tubuh dan keningnya. Sementara darah merembes dari perutnya. Ada sebilah pisau menancap di sana. Tepat di dekat hatinya. Widya membekap mulutnya. Spontan menggeser tubuhnya yang masih terduduk di atas aspal, menjauh beberapa senti. Ia menatap supir taxi yang tengah mendekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke leher laki-laki itu.

"Denyutnya lemah sekali, Neng," gumam supir taxi itu. Dengan sisa ketakutan dan tubuh yang masih bergetar, Widya memberanikan diri menggeser tubuhnya lebih mendekat.

"Permisi .…" panggilnya dengan suara yang terdengar aneh di telinganya sendiri. Widya mencoba menenangkan pikirannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Disentuhnya bahu laki-laki itu.

"Hei, kamu … bisa dengar saya?" tanya widya dengan gugup. Laki-laki itu meringis. Samar-samar, Widya mendengarnya menggumamkan sesuatu. Ia mencondongkan tubuhnya hati-hati, mendekat ke telinganya.

"T-tolong," bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar meskipun Widya telah menempelkan telinganya begitu dekat ke mulut laki-laki itu. Widya menarik tubuhnya. Ia menatap supir taxi itu.

"Bantu saya, Pak," tukasnya. Supir taxi itu terlihat ragu.

"Tapi, bagaimana kalau ternyata dia penjahat atau jangan-jangan dia narapidana yang …."

"Saya yang akan tanggung jawab. Anda cukup bantu saya bawa di ke dalam dan antar kami ke rumah sakit terdekat."

Widya sedikit termakan emosi dengan rasa kemanusiaan yang di miliki supir taxi ini. Sejenak, ia hanya diam. Terkejut dengan bentakan yang diterimanya. Lalu sedetik kemudian, ia berdiri. Berlutut di depan laki-laki yang sedang susah payah menahan rasa sakit itu. Ia lantas meminta Widya membantunya membawa laki-laki itu ke atas punggungnya. Dengan hati-hati, Widya mencengkram lengan laki-laki itu, berusaha untuk membantunya duduk tanpa menambah rasa sakitnya. Tapi betapa terkejutnya Widya ketika merasakan berat tubuh laki-laki itu. Ia sempat terseok, tapi berusaha mengendalikan dirinya. Dan ketika laki-laki itu berhasil duduk, sang supir dengan sigap menangkap tangannya dan membawanya ke atas punggungnya. Dari belakang, Widya memegangi tubuh laki-laki itu agar tak terjatuh. Bagaimana pun juga, supir taxi ini sudah paruh baya, ia takut laki-laki itu akan berguling dari atas punggungnya yang ringkih.

Sambil sekali-sekali, Widya menoleh ke kiri dan kanan. Memastikan tak ada yang melihat kejadian ini. Ia membantu membukakan pintu taxi dan menurunkan laki-laki itu dengan hati-hati di tempat duduk. Setelah itu, ia duduk di samping laki-laki itu. Membiarkannya Menyandarkan kepalanya yang penuh keringat di bahu Widya. Mengizinkannya menggenggam tangannya saat ia tiba-tiba saja meringis kesakitan dengan pisau yang masih menancap di perutnya.

Widya tak mungkin menarik pisau itu. Ia pernah mendengar, jika seseorang terkena luka tusuk seperti ini, akan lebih baik untuk tak mencabut benda tajam dari tubuhnya dan hanya langsung pergi ke rumah sakit. Maka ia memutuskan dengan sangat berat hati, membiarkan pisau itu menempel di perut laki-laki itu sementara waktu.

"Tolong jangan mati dulu. Tolong. Bertahan," gumam Widya berupa bisikkan yang tertuju lebih kepada dirinya sendiri. Saat ini, ia benar-benar merasa cemas. Merasa takut. Hingga yang ada di kepalanya hanya bagaimana agar mereka bisa cepat sampai ke rumah sakit. Widya bahkan tak peduli siapa laki-laki yang tengah meringkuk di sisi tubuhnya ini.

***