Chereads / As Time Goes By / Chapter 5 - Yang Berkesan

Chapter 5 - Yang Berkesan

Arsjad menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Membiarkan kakinya menggantung di atas lantai. Ia melonggarkan dasi yang menjerat lehernya sejak pagi tadi. Menghirup udara malam yang memenuhi kamarnya, dalam-dalam. Anna. Satu nama itu tiba-tiba terlintas di kepalanya. Membentuk seulas senyum di bibir Arsjad dan mendebarkan jantungnya begitu cepat. Mengeja nama perempuan itu benar-benar membuat dadanya terasa longgar. Membuat dirinya merasa nyaman. senyaman saat ia bicara dengan Anna pagi tadi.

"Saya mau jadi penulis."

Arsjad masih dapat mengenang senyuman Anna dan tatapan mengawangnya saat perempuan itu mengatakan kalimat itu dalam satu kali tarikan napas.

"sudah tercapai? Bukannya dengan profesi kamu sekarang sudah bisa dibilang impian kamu sudah tercapai? Mungkin 75-80%."

Gadis itu kembali menatapnya, ia mengedikkan kedua bahunya tinggi-tinggi. lalu menggeleng. "Dengan profesi ini saya masih belum bisa merasakan kalau saya sudah berhasil menjadi seorang penulis. Saya ingin menulis fiksi. Bukan fakta dari kehidupan seseorang yang mungkin saja tidak mau diceritakan kepada siapa pun. Dan saya masih mengusahakan untuk menuju ke arah sana. Kadang saya menyesali tindakan saya dulu yang terlalu tertutup. Saya gak memberi tahu siapa pun mengenai bakat saya. Saya gak pernah coba untuk mengusahakan apa pun yang saya bisa untuk mendapatkan apa yang saya impikan. Saya baru memulai semua itu saat saya sudah terlanjur masuk di salah satu universitas dan belajar sesuatu yang menyimpang dengan keinginan hati saya."

"Kenapa gak ambil jurusan sesuai minat kamu?"

Anna kembali terlihat berpikir, sebelum kemudian menjawab, "Ragu." Anna mengangguk seolah membenarkan jawabannya itu. "Mungkin itu jawaban yang tepat. Saya ragu kalau saya bisa besar dengan menjadi seorang penulis. Saya ragu kalau saya akan di temukan. Saya ragu kalau kemampuan saya bisa diakui. Tapi akhirnya, saya merasa kalau saya gak bisa dipisahkan dengan dunia itu." Anna mengembuskan napasnya dengan keras. Ia lantas tersenyum.

"Oke, Arsjad. Kamu sadarkan, sekarang posisi kita terbalik?" tanya Anna. Arsjad tersenyum dan mengangguk setuju. Dia sudah terlalu banyak bertanya. Anna butuh menyelesaikan pekerjaannya. Tapi saat ini, justru Arsjad lah yang menemukan banyak hal dari Anna. Perempuan ini benar-benar menarik.

"Emm …." Arsjad terlihat sedang berpikir. Tapi sebenarnya, ia sedang menimang-nimang apakah akan mengatakan yang sejujurnya pada Anna, atau tidak.

"Saya mau jadi orang yang sukses." Akhirnya Arsjad hanya menjawab dengan ambigu. Dilihatnya Anna mengerutkan kening.

"Semua orang ingin sukses dengan caranya. Jawaban kamu tidak spesifik. Kalau memang cuma itu cita-cita kamu, bukannya kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau?" Desak Ann. Arsjad sadar, seharusnya ia tak main-main dengan gadis ini.

"Tapi saya tidak pernah merasa sukses di sini Anna." Akhirnya ia memutuskan untuk mengungkapkan semuanya. "Semua ini, keberhasilan ini bukan saya yang dapatkan. Saya hanya meneruskan kesuksesan kakek saya. Saya sendiri, tidak pernah benar-benar sukses."

"Apa itu artinya kamu gak bahagia dengan kehidupan ini?"

Arjsad mengangguk ragu. "Bisa dibilang seperti itu."

"Terus, apa yang kamu lakukan untuk mencari kebahagiaan?"

Hening sejenak.

"kamu sendiri? apa yang kamu lakukan saat kamu merasa tidak bahagia?"

"Bersyukur, Arsjad." Entah mengapa, Anna merasa suka menyebut nama laki-laki ini. "Setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Dan setiap orang punya cara menangani masalahnya sendiri-sendiri. Dan … kalau saya merasa tertekan, atau gak bahagia, saya bersyukur. saya mengingat lagi apa yang sudah saya lalui di belakang. Apa yang sudah menimpa saya. Dan saya pikir semua yang saya dapat sekarang bentuk kasih sayang dari Tuhan. Klasik sih emang. Tapi cara itu selalu berhasil." Anna tersenyum. Dan Arsjad mendapati dirinya tertegun. Bukan karena senyuman Anna. Melainkan pada pernyataan gadis itu. Bersyukur? Anna benar, jawabannya memang klasik. Tapi, kapan terakhir dirinya bersyukur? Ia sudah tak ingat sama sekali. Rasanya sudah terlalu lama sejak terakhir kali ia melakukan itu.

"Dan saya akan melakukan apa yang saya suka. Seperti menulis," tambah Anna. Membuat Arsjad kembali menatapnya.

"Oh iya Arsjad, apa hal yang paling suka kamu lakukan?" Gadis ini kembali membuatnya berfikir. Tapi untuk menemukan jawaban ini rasanya tidak sulit.

"Piano," jawabnya singkat sementara pandangannya menerawang. "Kamu tahu Anna, ini kali pertamanya saya memberi tahu seseorang tentang cita-cita saya." Arsjad merasa napasnya tertahan di tenggorokkannya saat ia memutuskan akan mengatakan hal ini. Ia memandang perempuan yang masih duduk dengan santai di depannya. menunggu setiap kalimat yang akan keluar dari mulutnya.

"Saya pernah bercita-cita menjadi seorang pianis." Arsjad menyelesaikan kalimatnya. Ia merasa semakin bersemangat setelah melihat reaksi Anna yang begitu terpesona.

"Oh ya? Kamu bisa main piano? Wah saya selalu merasa kagum pada orang-orang yang bisa main alat musik." ungkap gadis itu penuh antusias. Arsjad tersenyum dan mengangguk sekali. Kembali mencondongkan tubuhnya ke depan meja dan menautkan kesepuluh jarinya di atas lutut.

"Bukan hanya bisa, saya bahkan sudah sangat mahir. Saya belajar sendiri. Memainkan lagu-lagu yang sudah ada sebelumnya. Mencoba berbagai nada. Sampai akhirnya, saya menciptakan sendiri." Sekali lagi, Arsjad melihat kilatan kekaguman di dalam bola mata Anna yang hitam. Ia kembali mengempaskan tubuhnya di punggung kursinya yang nyaman.

"Saya sempat melakukannya diam-diam. Sama seperti kamu yang tidak memberi tahu siapa pun tentang bakat menulis kamu. Saya belajar diam-diam. Saya bermain piano diam-diam. Bahkan saya membeli piano diam-diam. Saya pernah menjadi seorang pemain piano di salah satu café. Meskipun itu tidak berlangsung lama, tapi saya merasa hal itu sudah menjadi kenangan paling berharga yang saya punya."

"Kenapa gak di lanjutkan? Sekarang, saya sudah mulai berani memaerkan karya saya ke orang-orang yang saya percaya. Saya mulai berani membawanya ke beberapa penerbit atau mengikutkan lomba."

"Itu lah bedanya saya dengan kamu, Anna. Kamu berhasil menemukan keberanian kamu untuk muncul di permukaan. Sementara saya, masih menjadi seekor katak yang bersembunyi di dalam tempurung."

"Maksudnya?"

"Saya mewarisi bakat bermusik dari ayah saya. Ayah saya dulu seorang pianis terkenal. Dia yang mengajarkan saya bermain piano. Tapi dulu saya masih nakal. Saya tidak pernah serius bermain piano. Sampai suatu ketika ayah saya meninggal dan ibu saya pergi entah kemana. Saya merasa piano menjadi kenangan terakhir yang ditinggalkan ayah. Saya mulai memainkannya. Saya mulai mencintai piano. Tapi lagi-lagi, saya harus dijauhkan dari piano saat seorang laki-laki membawa saya pergi. Dia mengaku sebagai kekek saya. Ayah dari ayah saya. Dia membawa saya tinggal bersamanya di Swis. Belakangan saya tahu, kalau beliau tidak menyukai profesi ayah sebagai seorang pianis. Sejak saat itu saya mulai menutupi semuanya. Saya menyalurkan hobi saya dengan menjadi pemain musik bayaran dari café ke café. Saya merasa bahagia saat mendengar gemuruh tepuk tangan. Saya merasa bahagia saat orang-orang menyukai musik saya. Saya mulai merasa damai saat dentingan piano dari jemari saya mulai terdengar. terlebih saat lampu mulai padam dan hanya ada lampu sorot yang mengarah ke saya. Saya merasa menjadi seseorang yang paling hebat sedunia saat itu."

"Tapi saya menyayangi kakek saya, Anna. Saya tidak mau mengecewakan orang yang sudah menyayangi saya dengan segenap jiwa dan raganya. Bahkan mempercayakan seluruh kekayaannya pada saya."

"Kamu benar, Anna. Saya harus bersyukur atas apa yang sudah saya dapatkan. Mungkin ini yang terbaik untuk saya. Karena bukankah apa yang kita suka belum tentu baik menurut Tuhan?"

Anna tersenyum dan mengangguk. "Kamu tahu, Arsjad, saya gak pernah iri dengan mereka yang berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tapi saya selalu merasa iri dengan orang yang tidak pernah mendapatkan apa yang dia mau, tapi dia masih tetap bisa menikmati apa yang sudah didapat."

Arsjad tersenyum. "Dan kamu tahu, Anna, saya selalu merasa iri dengan orang-orang seperti kamu. Yang pantang menyerah untuk mendapatkan apa yang kamu impikan." Ia kembali tersenyum.

Dan sejak itu, Arsjad memutuskan bahwa ia menyukai senyuman itu. Ia menyukai Anna. Menyukai pemikirannya dan menyukai ketangguhan di balik keanggunannya. Anna. Apa gadis itu pernah menyebutkan nama panjangnya?

***