Selesai membereskan meja dan memasukkan beberapa sayur keperluan dapur ke dalam kulkas, Dini memilih untuk bersih-bersih. Alika sempat bangun sebentar, minum susu hampir satu botol lalu kembali tidur setelah digantikan pakaiannya karena basah.
"Tolong buatkan aku kopi!" pinta Reno yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Ada di meja depan, Mas," ucap Dini.
"Sekali-kali masaklah sesuatu dan antarkan ke rumah sebelah! Akan bagus buat kita kalau bisa mengambil hati mereka."
Dini tidak menyahut, meneruskan pekerjaannya mengepel lantai. Ia sengaja melakukannya malam-malam karena pada saat Alika istrirahat atau tertidurlah ia lebih leluasa untuk menyelesaikan tugas rumah. Paling tidak, perhatiannya tidak bercabang saat membersihkan setiap sudut ruangan.
"Apa kata Dokter?" tanya Reno, saat telah duduk di sofa dan menyesap minuman pekat beraroma khas yang diseduh sang istri.
Kali ini Dini menoleh, memandang sang suami yang tak sekali pun berpaling dari ponselnya. Perempuan itu menghela napas.
"Masih sama," jawabnya.
"Sudah kuduga," gumam pria itu, sembari mencebik.
"Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Aku capek," ujar Dini, lantas berbalik dan meninggalkan suaminya yang terlihat kesal.
"Kau pikir aku seharian ini main-main? Aku juga capek, pusing mikirin kerjaan demi kalian!" sahut Reno, menimpali ucapan istrinya.
Dini tidak menanggapi dan memilih untuk pergi ke belakang untuk mengembalikan peralatan pel di tempat biasa. Ketika berada di rumah, Reno memang lebih sering membuat kepalanya sakit karena rentetan ucapannya yang menyakitkan.
"Kalau ada suami ngomong itu didengarkan! Jangan terus kabur dan bisanya cuma nangis ...."
Suara Reno masih terdengar meski tidak begitu jelas dari arah belakang rumah. Dini terdiam untuk beberapa lama, mendongakkan kepala dan mengamati langit yang tidak dihiasi banyak bintang. Bulan pun enggan menampakkan diri, bersembunyi di balik gumpalan tipis yang berarak perlahan berwarna abu-abu.
Deriiiit ...!
Perempuan itu menoleh ke arah pintu besi yang perlahan dibuka, lalu muncul seorang pria yang muncul dari balik pintu penghubung dua rumah itu. Dini mematung saat melihat wajah pria yang kini berjalan ke arahnya dengan hati-hati.
"Pak Bara? Apa yang--"
"Bagaimana keadaan Alika?" tanya Bara, saat ia hanya berjarak beberapa langkah saja dari tempat Dini berdiri.
"Ooh, iya. Dia ... baik-baik saja dan sedang tidur sekarang. Sekali lagi terima kasih sudah mengantar kami siang tadi, Pak." Dini berusaha untuk memberanikan diri untuk menjawab.
"Syukurlah," ucapnya datar.
"Emm ... mari masuk, Pak. Mas Reno juga masih terjaga dan--"
"Tidak. Aku tidak datang untuk menemui Reno. Aku hanya ingin melihatmu sebentar," jawab pria itu dengan suara yang berat.
Seketika wajah Dini tercengang, seperti ingin memastikan bahwa apa yang baru saja ia dengar adalah benar-benar diucapkan oleh seorang pria yang sepanjang pengetahuannya adalah suami yang sempurna bagi Sonya.
"Ap-apa?"
"Din! Diniiii ...!" teriakan Reno terdengar memanggil dari dalam.
Bara masih menatap wajah kaget perempuan di depannya dengan tenang dan tajam, tidak terganggu dengan suara Reno yang bisa saja datang dari dalam dan memergoki keberadaannya.
"Iy- iya!" sahut Dini, seraya berbalik dan berlari meninggalkan Bara.
Pria itu masih berdiri di tempatnya, sementara Dini sudah pergi dengan tergesa. Ia takut kalau Reno melihat mereka dan berpikir macam-macam. Jadi perempuan itu memutuskan untuk mengunci pintu dapur.
"Urusi anakmu, tuh!" bentaknya, saat Dini twlah sampai di dalam.
Ternyata Alika terbangun dari tidurnya dan menangis. Lagi-lagi ia harus menahan emosi dalam dadanya saat melihat sang suami yang justru beranjak pindah ke depan saat anaknya menangis. Jangankan untuk menggantikan tugasnya barang sebentar, menemani atau sekadar mengambilkan diapers saja ia enggan.
"Mmm ... anak kesayangan ibu pipis, ya. Sebentar, ya." Dini berusaha untuk selalu terlihat tegar di depan sang anak.
Dini dengan sabar dan telaten mengambil diapers yang baru, lalu menggantikan yang telah basah dan sedikit berat karena penuh. Alika pun hanya bisa diam, seakan memendam rasa sedih yang begitu dalam karena telah menyusahkan ibunya sepanjang hidupnya.
"Ayah sedang pusing karena banyak pekerjaan, Sayang. Kamu jangan ambil hati dengan semua kata-kata Ayah, ya. Nanti, ibu akan marahi dia karena sudah teriak-teriak dan membuat anak ibu yang cantik jadi terbangun. Oke?"
Entah mendapat kekuatan dari mana hingg ia mampu berkata-kata lembut seperti itu untuk menenangkan sang anak. Meski Alika tidak bisa mengutarakan perasaannya, tapi sebagai seorang ibu, Dini sangat memahami sorot mata yang terpancar dari sepasang mata bocah itu yang berkaca-kaca.
"Anak pinter, anak baik, princess-nya ibu yang cantik. Tetap semangat ya, Sayang. Kamu pasti akan segera sembuh dan bisa sekolah seperti teman-teman kamu yang lain."
Alika memang tidak bisa bicara, hanya bisa mendengar dan merasakan apa yang sedang meliputi perasaan sang ibu. Rasa sakit di sekujur tubuh, telah lama ia lupakan saking telah terbiasa dengan kesakitan yang luar biasa di setiap harinya.
"Ibu sayang Alika. Ibu sayaaaaang banget sama Alika. Tetaplah di sisi ibu ya, Nak. Ibu janji tidak akan meninggalkan Alika sampai kapan pun. Kita akan terus bersama-sama dalam waktu yang lama. Janji ya, Sayang."
Seandainya ia punya sedikit saja kekuatan sekali saja, anak itu sungguh ingin memeluk sang ibu. Ia tahu betapa lelahnya tubuh ringkih itu, yang mungkin sedikit saja lebih kuat dari batinnya yang tentu saja remuk dan tak berbentuk.
"Ambilkan aku minum!" teriak Reno dari ruang depan.
Dini terdiam sebentar dan mengatur napas, lantas kembali melipat baju kotor Alika setelah menggantinya juga dengan pakaian yang baru dan kering. Hal seperti ini bukan kali pertama, tapi sudah ribuan kali ia jalani.
"Iya."
Lagi-lagi Dini hanya mengiyakan permintaan sang suami, tanpa berusaha membalas perlakuan buruk suaminya itu dengan cara yang sama. Tidak ada gunanya ia melawan atau pun memberikan pembalasan selama masih ada Alikaa di antara mereka.
"Susu hangat!" pinta Reno lagi, masih berteriak dari ruang depan.
Dini tidak selalu berhati malaikat. Sesekali terlintas juga dalam pikiran untuk meracuni lelaki yang beberapa tahun ini menjadi duri dalam hidupnya. Kenapa tidak ia masukkan sesuatu saja di dalam minumannya? Toh, sikapnya selama ini sangat buruk padanya.
"Haruskah kumasukkan beberapa pil tidur ke dalam susu ayahmu? Kira-kira ... kalau ibu buatkan susu untuknya dengan pembersih lantai dari kamar mandi, apa yang akan terjadi?" gumam perempuan itu.
Perlahan ibu satu anak itu pun berbalik dan berjalan ke luar kamar dengan membawa diapers bekas dan baku kotor milik anaknya. Ia bersiap untuk menyeduh minuman yang diminta oleh suaminya. Saat memasukkan pakaian Alika ke dalam mesin cuci, perhatiannya tertuju ke arah botol pembersih lantai yang teronggok di sudut kamar mandi.
--