Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Serpihan Kasih Yang Retak

Lestari_6410
--
chs / week
--
NOT RATINGS
11.8k
Views
Synopsis
Garnis, wanita berwajah teduh berusia 27 tahun, dua kali menikah dan dari kedua pernikahannya tersebut Garnis belum sempat merasakan indahnya malam pertama. Pernikahan yang pertama, suami Garnis meregang nyawa setelah usai melafazkan ijab qobulnya, karena serangan jantung, dan tiga tahun setelahnya impian Garnis menjemput bahagia untuk menjadi seorang istri harus kandas karena suami keduanya meninggal setelah beberapa jam menghalalkan dirinya menjadi seorang istri. Ketenangan hidup Garnis terusik dengan hadirnya seorang lelaki yang diyakini Garnis adalah Hananto, suami keduanya. Di saat Garnis berusaha mencari tahu dan bukti tentang lelaki itu, keluarga Ridwan, suami pertama Garnis datang dan memberikan semua harta peninggalan Ridwan. Halangan dan rintangan datang menghampiri Garnis dalam menjalankan amanat dari almarhum Ridwan. Tanpa disangka, dalam usahanya mencari bukti tentang lelaki yang diduga suaminya itu, Garnis menemukan bukti lain tentang kematian ayahnya. Hambatan, cobaan yang datang silih berganti dihadapi Garnis dengan tegar, dan ketegarannya roboh saat ibu yang sangat dicintainya pergi menghadap sang pencipta. Mungkinkah Garnis berhasil menuntaskan perjuangannya dalam keadaan terpuruk?
VIEW MORE

Chapter 1 - Lelaki Misterius

"Mas Han?"

Garnis menyapa seorang lelaki yang baru saja keluar dari mobil hitamnya. Lelaki itu tak menanggapi sapaan Garnis, dia hanya melirik sekilas lalu beranjak dari hadapan Garnis, dan masuk ke dalam sebuah bengkel mobil.

"Mas Hananto!" Garnis nekad menarik baju lelaki tadi.

"Maaf, Mbak salah orang!" sahut lelaki itu, nadanya datar dan dingin. Tanpa memperdulikan Garnis yang masih diam terpaku dengan mata berkaca-kaca.

"Saya yakin, kamu mas Hananto, suamiku!" ucap Garnis tegas.

"Saya nggak kenal anda, anda salah orang, tolong jangan ganggu saya!" ucap lelaki itu tegas sambil melangkah menghampiri mobilnya.

Garnis diam tak bergeming dari tempatnya, niatnya untuk membeli makanan untuk sarapan dia urungkan.

Tatapan Garnis tak lepas dari lelaki bertubuh tinggi yang semakin jauh darinya dan kemudian pergi dengan mobil hitamnya.

Sudah sepuluh hari ini, tiap pagi Garnis memperhatikan laki-laki yang baru saja pergi dengan mobil hitamnya. Garnis bingung, siapa sebenarnya laki-laki itu.

"Apa mungkin itu mas Han?

Tapi, bukankah dia sudah meninggal hampir dua tahun yang lalu, beberapa jam setelah dia menghalalkan aku seagai istrinya, dan belum sempat menikmati indahnya malam pertama?" berbagai pertanyaan muncul di benak Garnis, sampai tak sadar sudah hampir 30 menit dia berhenti di pinggir jalan itu.

Kepala Garnis mendadak berdenyut- denyut dan dadanya terasa nyeri mengingat kejadian yang menimpa hidupnya.

Ddrrrttt, dddrrtt.

Panggilan dari Astria, salah seorang teman kerja Garnis.

"Assalamualaikum As," Garnis mengucap salam, mengawali percakapan.

"Waalaikumsalam, kamu di mana Nis, pak Wahyu dari tadi mencarimu," tanya Astria, pak Wahyu adalah atasan Garnis dan Atria.

"Maaf As, tolong sampaikan pada pak Wahyu, ini  aku sudah di pertengahan jalan, tapi mendadak kepalaku pusing, jadi aku mau balik ke rumah saja," sahut Garnis menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

"Oh, nanti aku sampaikan ke pak Wahyu, tapi kamu nggak apa-apa kan?" suara Astria terdengar cemas mengkhawatirkan keadaan Garnis, sahabat terdekatnya.

"Aku nggak apa-apa As, terima kasih ya, assallamualaikum," ucap Garnis mengakhiri percakapan tanpa menunggu jawaban dari Astria.

Garnis memutuskan untuk pulang, dia takut nanti kehilangan konsentrasi di tempat kerja gara-gara memikirkan laki-laki tadi.

"Assallamualaikum," tanpa menunggu jawaban Garnis langsung masuk ke dalam rumah, dan terus ke dapur untuk mengambil air minum.

"Waalaikumsalam," bu Hanum menjawab salam sambil menatap putrinya dengan raut wajah heran.

"Lho, katanya mau lembur, ini kok pulang lagi, apa kamu sakit Nduk?" tanya bu Hanum dengan nada khawatir.

"Bu, apa orang yang sudah meninggal itu bisa hidup lagi?" bukan menjawab pertanyaan ibuya, Garnis justru balik bertanya kepada bu Hanum.

"Kamu ini gimana to Nduk, ditanya ndak jawab kok malah nanya yang aneh-aneh, ada apa to sebenarnya?" cetus bu Hanum sambil menatap wajah putrinya dengan tatapan penuh tanda tanya dan raut wajah heran.

"Tadi aku lihat mas Han Bu, dia masih hidup," Garnis menjawab lirih, air mata yang dari tadi di tahannya akhirnya tumpah membasahi kedua pipinya.

"Astaghfiruloh Nduukk, istighfar, Hananto itu sudah meninggal, ikhlaskan dan doakan saja biar almarhum tenang," ujar bu Hanum sambil merengkuh tubuh putri semata wayangnya itu. Hatinya pilu, ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Garnis.

Hananto adalah menantunya, suami Garnis yang belum sempat menjalani hidup berumah tangga, beberapa jam setelah melafazkan ijab qobul dengan Garnis, Hananto meninggal karena kecelakaan tabrak lari, jasadnya tidak bisa dikenali karena hancur.

Dan tiga tahun sebelumnya, Garnis menikah dengan Ridwan, pengusaha kaya raya yang memiliki beberapa buah restoran di beberapa kota.

Pernikahan Garnis dengan Ridwan juga berakhir dengan tragis, karena beberapa saat setelah mereka sah menjadi suami istri, Garnis terpaksa harus merelakan suaminya pergi untuk selamanya karena mendadak meninggal akibat serangan jantung setelah mendengar salah satu restorannya terbakar.

Sejak kejadian itu, keluarga Garnis menjadi bahan gunjingan warga. Mereka menuduh Garnis perempuan pembawa sial.

Ada beberapa warga datang ke rumahnya, menyuruh Garnis keluar dari kampung, mereka takut kampungnya akan datang bencana selama Garnis masih tinggal di kampung itu.

Dan atas persetujuan ibunya, rumah dan semua harta peninggalan almarhum Widodo, dijual dan hasil penjualannya dibelikan rumah di kota lain. Almarhum Widodo adalah ayah Garnis yang meninggal karena kecelakaan.

Dengan bekal ijazah S1, Garnis mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan yang lumayan terkenal di kota yang baru, dan bu Hanum membeli sebuah kios di pasar untuk buka usaha toko kelontong.

Setahun lebih Garnis dan bu Hanum menjalani hidup tenang sejak pindah dari kota asalnya, tapi hari ini bu Hanum pikiran bu Hanum terusik karena kejadian yang baru saja dialami putrinya, yang katanya melihat sosok lelaki yang diduga menantunya.

"Assallamualaikum bu Hanum," sebuah panggilan dan salam membuat lamunan Garnis dan ibunya buyar.

"Eh ada mbak Garnis," ucap mbak Nur tanpa menunggu jawaban salamnya.

"Waalaikumsalam," Garnis dan bu Hanum hampir serentak menjawab salam mbak Nur.

"Ayo bu jadi ke pasar bareng saya ndak?" ajakan dan pertanyaan dari mbak Nur. Mungkin karena melihat Garnis ada di rumah.

Mbak Nur adalah tetangga bu Hanum yang tinggal disebelah rumahnya, seorang janda cerai tanpa anak, dan mantan suaminya menikah lagi sepuluh tahun yang lalu.

Bu Hanum menganggap mbak Nur sebagai keluarganya.

Biasanya bu Hanum berangkat ke pasar bersama-sama dengan mbak Nur yang tiap hari belanja bahan- bahan untuk usaha cateringnya.

"Iya Nur, ibu bareng kamu ke pasarnya, Garnis ndak ikut karena lagi ndak enak badan," jawab bu Hanum sekaligus menjelaskan keadaan Garnis.

"Garnis ikut bu, mbak Nur sekalian ikut mobil saya saja mbak," kata Garnis sambil tersenyum simpul ke arah mbak Nur.

Bu Hanum menatap putrinya, nampak rasa khawatir di wajahnya yang sudah terlihat jelas kerutannya karena usia.

"Bener mau ikut nduk?" tanya bu Hanum kemudian, dan Garnis menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

"Alhamdulilah, hari ini lumayan ramai pelanggan yang datang Nduk, sampai ndak sadar sudah hampir dhuhur," kata bu Hanum sambil meletakkan badannya di kursi yang terletak di pojok kiosnya.

"Kalau tiap hari seperti ini, kita cari orang untuk membantu ibu, biar ibu nggak kecapean dan kewalahan," ujar Garnis, dia kasihan melihat ibunya yang dari tadi sibuk melayani pembeli yang datang silih berganti.

"Ndak apa-apa Nduk, ibu masih bisa mengatasi," sahut bu Hanum pelan.

Garnis menghela nafas pelan, dia kagum sekaligus kasihan terhadap ibunya, wanita yang sabar, kuat dan pekerja keras, dan mandiri.

Terdengar suara adzan dhuhur berkumandang dari masjid di seberang pasar. Bu Hanum segera bersiap untuk menjalankan kewajibannya.

"Kita tutup toko sebentar Nduk, ayo ke masjid," bu Hanum mengajak Garnis sambil mengambil kunci toko yang tergantung di dekat etalase.

"Garnis sedang halangan Bu, nggak usah ditutup tokonya, biar Garnis yang jaga," Garnis menolak ajakan ibunya karena memang sedang berhalangan, tangannya sibuk merapikan tumpukan mie instan.

Selesai sholat, bu Hanum tiba-tiba ingat ada salah satu pelanggannya tadi pagi mengirim pesan yang isinya minta disiapkan barang-barang yang akan diambil siang hari.

"Aduh, kenapa bisa lupa begini, mana lumayan banyak pesanannya," gumamnya menyalahkan diri sendiri.

Setengah berlari dia berusaha secepatnya untuk bisa sampai ke kiosnya.

Gedubbraakk!!

"Aduh!"

Klethekk.

Terdengar suara lelaki dan suara benda jatuh.

Lelaki itu mengaduh bukan karena sakit, tapi karena ponsel yang ada di tangannya terlepas dan pecah.

"Ma..ma..maaf Pak eh Mas, saya ndak sengaja," ucap bu Hanum yang terjatuh karena menabrak lelaki tadi berusaha bangun.

Begitu bangun dan berdiri di depan lelaki itu, bu Hanum terkejut, matanya terbeliak ketika melihat lelaki yang berdiri di hadapannya.

"Han...Han..Hananto?" bu Hanum tergagap-gagap sambil menunjuk-nunjuk lelaki di hadapannya. Dan setelah itu dia merasakan tanah yang dipijak berputar-putar, pandangannya gelap akhirnya jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri.