"Nduk, nduk Garnis!"
"Iyy-iya Bu," Garnis yang sedang terpaku melihat sosok lelaki yang diduga Hananto terkejut dan tergagap saat bu Hanum menepuk pundaknya agak keras.
Tanpa membuang waktu Garnis menghidupkan mesin mobilnya dan mengendarainya dengan pelan.
Garnis menepikan mobilnya di pinggir jalan, setelah beberapa meter mendahului lelaki yang diyakini adalah Hananto, suaminya.
"Hati-hati Nduk," ujar bu Hanum ketika Garnis membuka pintu mobilnya.
Sebelumnya tadi Garnis memberi tahu satu rencana untuk mencari kebenaran tentang lelaki yang sedang berlari santai itu.
Dengan hati bercampur aduk Garnis berjalan ke belakang mobilnya, menunggu lelaki itu sampai.
Sementara lelaki itu tidak sadar kalau ada yang memperhatikan dan menunggunya, dengan santainya dia berlari-lari kecil layaknya seorang atlet marathon.
Tinggal beberapa meter lagi, Garnis menghela nafas dan sesaat memejamkan matanya.
"Bismilahirohmanirohim."
"Maaf mas, mau ta-tanya," Garnis nekad menghentikan langkah lelaki itu, dia sangat gugup dan gemetar ketika matanya menatap lelaki yang berdiri di hadapannya.
"Ya Tuhan, dia memang mas Han," bisik hatinya lirih.
"Tapi, siapa yang meninggal kecelakaan waktu itu?" batinnya sedikit menolak kata hatinya kalau lelaki itu adalah suaminya.
Lelaki itu menghentikan langkahnya, sedikit terperanjat ketika melihat Garnis, tetapi dengan cepat dia menetralkan wajahnya. Tanpa ekspresi dia bertanya kepada Garnis.
"Ya, ada apa mbak?"
Dada Garnis berdesir hebat, suara itu pernah dikenalnya.
"Mbak?"
"Ehh, anu, emm...apa mas kenal saya?" Garnis bertanya asal-asalan karena dia merasa bibirnya tak bisa melafaskan kata, hilang dan buyar semua kata yang sudah disusun tadi, rencananya tadi mau berpura-pura menanyakan satu alamat kepada lelaki itu.
Lelaki itu mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan Garnis.
"Maaf mbak, saya nggak kenal siapa mbak?" lalu lelaki itu menjawab datar, kemudian pergi tanpa memperdulikan Garnis yang masih terpaku di tempatnya dan kecewa mendengar jawabannya.
"Mas Hananto! Kamu mas Hananto kan? Suamiku?" tiba-tiba Garnis menjerit histeris ke arah lelaki yang diyakini adalah Hananto, suaminya.
Mendengar jeritan Garnis lelaki itu berhenti dan menoleh sejenak, dan kemudian melanjutkan langkahnya lagi tanpa memperdulikan teriakan Garnis.
"Mas Haaan, kenapa kamu lakukan semua ini?" tangis Garnis pecah, tanpa sadar dia duduk bersimpuh di atas aspal sambil menangis tergugu.
Bu Hanum yang sedang asyik dalam lamunannya, tersentak mendengar tangisan Garnis.
Bergegas wanita paruh baya itu turun dari mobil dan tergopoh-gopoh mendatangi putrinya yang ternyata sudah berada dalam kerumunan orang-orang yang mungkin ingin tahu apa yang terjadi.
"Ya Allah Nduuuk, kenapa jadi begini? Mungkin kita memang salah orang, sudahlah ayo kita pulang!" ucap bu Hanum sambil memeluk tubuh Garnis, tanpa peduli orang-orang yang semakin banyak mengerumuninya, Garnis menangis meraung-raung dalam pelukan ibunya.
"Dia memang mas Han Bu, kenapa dia melakukan semua ini?" ucap Garnis di sela tangisnya.
"Mungkin orang itu memang mirip dengan almarhum, ayo kita pulang saja Nduk!" bu Hanum membujuk Garnis dan membantunya untuk berdiri, lalu menuntunnya berjalan ke mobilnya.
Tanpa menghiraukan orang-orang yang mengerumuninya, Garnis mengikuti langkah bu Hanum, dan seperti dikomando, orang-orang tersebut pergi dengan kendaraannya masing-masing.
Garnis memutuskan untuk pulang ke rumahnya, dan ketika tangannya hendak membuka pintu mobilnya, sudut matanya menangkap seorang wanita yang usianya sekitar 35 tahun keluar dari rumah besar itu. Garnis mengurungkan niatnya untuk masuk ke mobilnya dan menunggu wanita itu mendekatinya.
"Maaf mbak, mau ke mana?" Garnis bertanya kepada wanita berjilbab biru muda itu.
"Mau pulang mbak," jawab wanita sambil tersenyum dan mengangguk, kemudian wanita itu sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda minta diri ingin melanjutkan langkahnya.
"Sebentar mbak," Garnis menahan langkah wanita itu.
"Ya mbak, ada apa ya?" wanita itu mundur selangkah, menatap Garnis dengan heran.
Garnis mengulurkan tangannya, bibirnya menyunggingkan senyum ramah dan wanita itu membalas senyum Garnis serta menyambut uluran tangannya.
"Perkenalkan, saya Garnis Mbak."
"Saya Ainun Mbak," Wanita bernama Ainun itu sesekali melirik ke arah mobil Garnis. Benaknya penuh tanya siapa gerangan Garnis dan apa maksud tujuannya mengajaknya berkenalan dengan dirinya yang hanya seorang ART.
"Rumah mbak Ainun di mana?" tanya Garnis ramah.
"Di gang depan sana Mbak, sebelum taman permainan," jawab Ainun sambil tangannya menunjuk ke arah depan.
"Mari saya antarkan Mbak," ajak Garnis, dalam hatinya ada satu tujuan tertentu.
"Emm, anu..nggak usah Mbak, terima kasih, dekat saja kok," tolak Ainun halus, dalam hatinya dia mau dan ingin sekali pulang cepat, tapi di sisi lain dia merasa waswas karena dia belum mengenal siapa Garnis.
Garnis terus berusaha membujuk dan meyakinkan kepada Ainun, dan akhirnya senyum mengembang di bibir Garnis ketika Ainun mengangguk malu-malu tanda setuju.
"Mbak, ini ibu saya, namanya bu Hanum," Garnis mengenalkan ibunya kepada Ainun ketika mereka masuk ke dalam mobil.
Bu Hanum mengurungkan niatnya untuk turun dari mobil begitu mendengar suara Garnis, wanita paruh baya terkejut melihat putrinya masuk ke mobil tidak sendiri.
"Ini siapa Nduk?" tanya bu Hanum sambil menelisik wajah Ainun.
"Saya Ainun Bu, teman baru mbak Garnis," Ainun mewakili Garnis menjawab pertanyaan bu Hanum, sambil mengulurkan tangannya dan
Bu Hanum menerima uluran tangan Ainun, matanya menatap Garnis, minta penjelasan.
"Kita antarkan mbak Ainun pulang dulu ya Bu," ujar Garnis lembut.
Bu Hanum mengangguk pelan.
Tiga wanita yang berada dalam mobil itu saling diam. Masing-masing hanyut dalam pikirannya.
Bu Hanum bertanya-tanya dalam hati siapa Ainun?
Dan di benak Ainun, siapakah Garnis ,kenapa dia mau mengantarkannya pulang, padahal baru saja kenal.
Sementara Garnis masih menduga- duga dalam hati,dugaannya Ainun adalah ART di rumah besar itu.
"Mbak Garnis, gang di depan itu masuk ya," Ainun menunjuk sebuah
gang jalan masuk menuju rumahnya.
"Assallamualaikum," Ainun memberi salam.
"Waalaikumsalam," terdengar suara jawaban salam, seorang gadis berjilbab putih membukakan pintu. Dari raut wajahnya kelihatan heran melihat ibunya pulang tidak sendiri seperti hari-hari biasanya.
"Mari masuk Mbak, Bu," Ainun mempersilahkan Garnis dan ibunya masuk ke dalam rumah bercat biru muda itu.
Kedatangan Ainun disambut anaknya yang dari tadi menunggu kepulangannya.
Anggun, putri Ainun satu-satunya, dia baru saja tamat SMK dan sedang giat-giatnya mencari pekerjaan.
"Bu, tadi siang pak Rahmat datang," kata Anggun lirih tepat di telinga kanan ibunya. Pak Rahmat adalah pemilik rumah yang dikontrak oleh Ainun.
"Nanti kita bicarakan, sekarang tolong buatkan teh hangat untuk tamu kita Nak," kata Ainun lembut.
Dengan patuh Anggun mengangguk lalu bergegas ke dapur, sementara Ainun beranjak ke ruang tamu untuk menemani bu Hanum dan Garnis.
"Maaf Mbak, tadi saya lihat mbak Ainun keluar dari rumah besar itu kan?" Garnis mengawali obrolan ketika Anggun datang membawa nampan berisi 3 gelas teh hangat.
Gadis itu menyalami Bu Hanum dan Garnis, lalu pamit masuk ke dalam .
"Oh, itu rumah tuan Muchlis, majikan saya Mbak," jelas Ainun.
Ternyata benar dugaan Garnis bahwa Ainun ART di rumah besar itu.
"Di rumah majikan Mbak ada nggak laki-laki yang bernama Hananto?" tanya Garnis pelan, dengan hati berdebar Garnis menunggu jawaban Ainun.
"Hananto? Mungkin maksud Mbak adalah tuan Muchlis Hananto, majikan saya," ucap Ainun dengan tatapan heran ke arah Garnis.
"Oh, iya mungkin," Garnis menggumam pelan.
"Maaf Mbak, apa majikan mbak itu sudah menikah?"
Rasa heran dan bingung Ainun semakin bertambah ketika mendengar pertanyaan Garnis. Dalam hatinya dipenuhi banyak tanya tentang siapa Garnis dan apa tujuannya menanyakan tentang majikannya.
"Nduk, apa ndak sebaiknya kamu ceritakan hal yang sebenarnya," bu Hanum yang dari tadi diam membuka suara, dan memberi saran.
Garnis menatap ibunya, lalu mengangguk setuju.
Akhirnya Garnis menceritakan semua, dari awal dia menikah sampai akhirnya dia ketemu lelaki diyakini adalah Hananto. Di akhir cerita dia menunjukkan foto-foto pernikahannya yang masih tersimpan di ponselnya.
Mata Ainun terbeliak ketika melihat foto-foto itu, berkali-kali dia mengucek matanya, seakan tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
"Ini..ini..ini den Danif?" Ainun menatap Garnis dan bu Hanum bergantian, suaranya terbata-bata.
"Danif?" tanya Garnis sambil mengerutkan keningnya.
"Be-betul Mbak, saya yakin foto laki-laki yang ada di HP mbak Garnis itu adalah den Danif, putra tuan Muchlis Hananto," tutur Ainun menjelaskan.
Garnis dan bu Hanum bertukar pandangan, masing-masing masih bingung dengan apa yang sedang dihadapinya.
"Itulah Mbak, kenapa saya sampai ke rumah mbak Ainun, karena saya mau minta bantuan Mbak begitu saya tahu mbak bekerja di rumah besar itu," tutur Garnis, dia begitu berharap Ainun bisa membantunya.
"Apa yang bisa saya bantu mbak? Kalau saya bisa, saya pasti bantu mbak Garnis," ucap Ainun dengan serius dan tulus.
Mata Garnis berbinar mendengar kata-kata Ainun.
"Saya akan beri imbalan kalau mbak Ainun bisa membantu saya," janji Garnis.
"Saya ikhlas membantu mbak, masalah imbalan nggak usah dipikirkan, terus apa yang harus saya lakukan Mbak?" ucapan Ainun membuat Garnis terharu.
"Tolong selidiki siapa den Danif," Garnis terpaksa menambah nama Danif dengan 'den' di depannya.
"Baik Mbak, saya akan selidiki mulai besok." Ainun menyanggupi apa yang dipinta Garnis. Dia berjanji akan membantu Garnis.
"Entah apa lagi muslihat keluarga itu, sudah hampir dua tahun aku berada di tengah- tengah keluarga itu, rela menjadi ART demi mencari bukti untuk membongkar kejahatan mereka, sampai sekarang belum menemukan petunjuk, sekarang di tambah lagi masalah mbak Garnis.
Demi papa dan mama, demi mas Solihin, dan demi mbak Garnis, aku akan tetap menjadi ART, aku akan terus berusaha menyelidiki dan mencari bukti," kata-kata dalam hati Ainun tanpa seorangpun tahu.
"Terima kasih sebelumnya Mbak!" ucap Garnis dengan penuh suka cita, sementera bu Hanum tampak menghela nafas lega mendengar ucapan Ainun.
"Aku harus bisa menemukan bukti kejahatan mereka, aku harus membongkar kebusukan mereka!" tanpa sadar Ainun bicara dengan suara lumayan keras.
"Maksud mbak Ainun apa?" tanya Garnis heran, bu Hanum juga terkejut mendengar ucapan Ainun.
"Eh, enggak, nggak ada apa-apa!" sahut Ainun gugup.
"Tadi Mbak bilang akan membongkar kejahatan dan kebusukan mereka, mereka siapa Mbak?" tanya Garnis penasaran.
"Mmmm, mereka...,"