Chereads / Serpihan Kasih Yang Retak / Chapter 8 - Bulik Sari Marah

Chapter 8 - Bulik Sari Marah

"Sari!" pak Yanuar membentak adiknya dengan keras.

Keadaan menjadi tegang dan panas. Pak Yanuar berusaha untuk mengontrol emosinya. Semua yang ada di ruangan itu diam, Garnis merasa bersalah karena masalah yang timbul dia yang jadi penyebabnya.

Bulik Sari yang baru saja di bentak oleh kakak sulungnya sedikitpun tak menunjukkan rasa takut, justru bentakan kakaknya tadi membuatnya semakin membenci Garnis.

"Pokoknya saya ndak ridho, ndak ikhlas, ndak rela kalau semua harta peninggalan anakku diserahkan kepada perempuan pembawa sial itu!" kata bulik Sari sambil berdiri. Jari telunjuknya menuding-nuding Garnis, wajahnya kelihatan sangat marah. Bu Kartika justru tertawa geli melihat tingkah laku adik iparnya.

" Hik...hik..hik...lucu sekali adik iparku yang satu ini, semua orang tahu Ridwan adalah anakku, sedangkan anakmu kan si Zulhash yang sekarang ada di dekatmu, masih sehat dan segar bugar," bu Kartika bicara sambil menutup mulutnya karena menahan tawa. Sedangkan Zulhash,anak lelaki bulik Sari wajahnya merah padam karena menahan malu atas tingkah laku ibunya.

"Mbak mau tanya kamu Sar, atas dasar apa kamu ndak ikhlas, ndak ridho?" bulik Hasnah berusaha menetralkan keadaan dengan bertanya pelan kepada adik bungsunya.

"Jelas ndak ikhlaslah, harta begitu banyak kok diserahkan kepada orang lain, lalu saya ini dianggap apa?" bulik Sari menjawab masih dengan nada ketus dan marah.

"Sssstt, sudah Bu, jangan bikin malu bapak!" pak Anas, suami bulik Sari yang dari tadi hanya melihat dan mendengar, akhirnya bersuara memperingatkan istrinya.

"Siapa yang bikin malu di sini Pak? Aku atau perempuan itu? Perempuan pembawa sial, tak tahu malu, mental pengemis!" peringatan dari pak Anas tak membuat bulik Sari berubah, tapi justru semakin membabi buta meluapkan kemarahannya dan menghina Garnis.

"Cukup Jeng Sari, jangan teruskan menghina putriku. Kami tak pernah mengharap apa lagi meminta harta warisan almarhum Ridwan, kami bahkan tak tahu kalau kalian mencari kami!" bu Hanum tak bisa menahan emosinya ketika putrinya disudutkan dan dihina, wajahnya merah padam menahan marah.

"Halah, ibu dan anak sama saja!" bulik Sari mencebik, menatap bu Hanum sinis.

"Sudah, sudah! Hentikan ocehanmu Sari, saya tak butuh ridhomu dalam masalah ini. Kamu tak ada hak ikut campur, ini masalahku dengan Garnis!" kesabaran pak Yanuar habis menghadapi sikap bulik Sari yang semakin keterlaluan.

Lelaki yang sehari-harinya selalu bertutur kata pelan dan sopan, hari ini terpaksa berbicara tegas dan agak kasar, karena adiknya sudah keterlaluan menghina dan merendahkan Garnis dan ibunya.

"Sampeyan pasti sudah terkena guna-guna perempu...,

"Cukup! Lebih baik kamu pergi dari sini Sar!" pak Yanuar memotong kalimat bulik Sari, emosinya meledak menghadapi adiknya yang tak bisa diperingatkan.

"Anas, bawa istrimu pergi dari sini, ajari dia cara menghargai orang lain dan ajari juga berbicara sopan!" dalam amarahnya pak Yanuar menyuruh adik iparnya untuk membawa istrinya pergi. Pak Anas dan bulik Sari tak bergeming.

"Anas!" merasa diabaikan pak Yanuar tambah marah, dihardiknya adik iparnya hingga pak Anas tersentak, lalu bangkit dari duduknya dan menarik tangan istrinya dengan kasar.

"Ndak usah disuruh juga aku akan pergi, lepaskan tanganku Pak!" pak Anas hampir terjatuh ketika istrinya menyentakkan tangannya dengan kuat.

"Zulhash, tunggu apa lagi? Ayo kita pergi, tak ada gunanya kita di sini bersama dengan orang- orang sombong!" bulik Sari menghardik anak lelakinya yang masih duduk diam di tempatnya. Zulhash menatap ibunya dengan tatapan kesal, lalu mengikuti langkah ibunya dengan terpaksa.

Pak Yanuar, bu Kartika dan yang lainnya tak berkata sepatahpun melihat bulik Sari berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya karena kesal.

"Ziana, mau ke mana kamu?" tanya pak Yanuar ketika melihat putrinya bangun dari tempat duduknya dan berjalan mengikuti keluarga pak Anas.

Bu Kartika, bulik Hasnah saling pandang, tak tahu apa yang akan dilakukan Ziana, adik almarhum Ridwan satu-satunya.

"Mau ikut bulik Sari pulang pak, ndak ada gunanya Ana di sini, diabaikan dan tak dianggap!" semua yang berada di ruangan itu tersentak mendengar jawaban Ziana yang ketus. Gadis berusia 19 tahun itu menatap Garnis dengan sinis, lalu melangkah pergi sebelum menyempatkan tangannya menyambar sebuah apel.

"Maaf Pak, sebaiknya bapak simpan kembali semuanya, saya ndak mau terjadi keributan disebabkan saya menerima semua ini," ujar Garnis sambil menyodorkan map yang berisi surat-surat berharga tersebut.

"Lho, ndak boleh gitu Nduk Cah Ayu, ini memang hakmu, kamu harus menerimanya, kami ndak mau nanggung dosa karena menyimpan hak orang lain," ujar bulik Hasnah pelan.

"Tapi bulik..."

"Ndak pakai tapi-tapi Nduk, harus diterima, tolong dijaga amanat almarhum suamimu," ucapan Garnis terhenti karena bu Kartika memotongnya, nada bicaranya lembut dan memohon, membuat Garnis merasa bingung, tak tahu bagaimana harus membuat keputusan.

"Bu, bagaimana ini?" Garnis bertanya kepada ibunya, minta pendapat.

"Sebenarnya, bukan harta benda yang kami harapkan, dengan datangnya kalian mencari kami, itu sudah cukup dan merupakan satu penghormatan bagi kami, tapi kalau memang yang kalian berikan kepada Garnis adalah amanat, dengan  penuh rasa terima kasih kami terima, Inshaa Allah kami akan pergunakan pemberian ini untuk kebaikan, dan...," bu Hanum tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya, dia menangis terisak-isak, bu Kartika yang dari tadi menahan sesak dadanya akhirnya ikut menangis juga. Bulik Hasnah pun menghapus air matanya secara sembunyi-sembunyi.

Dan akhirnya semua merasa lega setelah Garnis menerima pemberian keluarga almarhum suaminya.

Mereka pulang setelah menikmati hidangan yang telah tersedia.

"Pokoknya ibu ndak rela semua peninggalan Ridwan diserahkan kepada perempuan itu, Pak!" ucap bulik Sari  masih saja membahas masalah harta warisan almarhum Ridwan, mereka dalam perjalanan pulang dengan mobil yang dikemudikan oleh Zulhash.

"Sudahlah Bu, kita ndak ada wewenang untuk menentukan siapa yang berhak menerimanya," ujar pak Anas dengan hati-hati, dia tahu istrinya mudah tersulut emosi kalau ada sesuatu yang diinginkan tak terpenuhi.

"Memang bukan wewenang kita, tapi kan kita bisa cari cara bagaimana bisa mendapat semua itu, jadi orang harus cerdik Pak!" bulik Sari terus saja menekan suaminya.

"Jadi bapak ini harus berbuat apa Bu? Awas ya jangan berbuat yang aneh-aneh!" pak Anas tak menyerah untuk mengingatkan istrinya.

"Zulhash, semua tergantung kamu!" bulik Sari memukul pundak anak lelakinya sedikit kasar.

Zulhash tersentak kaget, dia melirik sekilas ke arah ibunya, lalu pandangannya beralih lagi ke depan, tak ada sedikitpun niat untuk bertanya walau lelaki itu tak paham apa yang dimaksud ibunya.

"Zulhaaash...!" merasa diabaikan, bulik Sari menjewer telinga kanan Zulhash dengan kuat.

"Aduh...duh sakiiit buu!" Zulhash mengaduh kesakitan, dia hampir saja hilang keseimbangan karena ulah ibunya yang tak melihat situasi.

"Makanya jangan mengabaikan orang tua!" Zulhash diam, tak berani membantah perkataan ibunya.

"Ibu ini kenapa? Anak kita sedang mengemudi, jangan diganggu!" sergah pak Anas, dia merasa kesal terhadap istrinya yang selalu bersikap semaunya sendiri.

"Kamu dekati Garnis, buat dia jatuh cinta, lalu menikahlah dengannya supaya bisa menguasai harta warisannya Ridwan!" titah bulik Sari yang bagi Zulhash adalah sebuah ultimatum.

"Ibu tega ya?" Zulhash bertanya, nadanya datar dan dingin.

"Tega bagaimana, semua nanti buat kebaikanmu!" bulik Hanum menahan emosinya.

"Kebaikanku apa keuntungan buat ibu? Ibu sendiri kan yang bilang, Garnis itu perempuan pembawa sial, siapa yang menikah dengannya pasti meninggal, berarti ibu tega mengantarkan kematianku kepada Garnis, perempuan pembawa sial itu!" hati Zulhash merasa lega setelah berhasil meluahkan kekesalan hatinya terhadap ibunya.

"Bu-bukan begitu maksud ibu Nak, ibu cuma ingin..."

"Ingin apa Bu? Ingin anakmu ini cepat mati?" Zulhash memotong kalimat ibunya dengan santai.