"Bagaimana kondisi ibu saya dok," tanya Garnis kepada dokter Lerina, dokter yang setengah jam yang lalu dipanggil Garnis untuk datang ke rumahnya, karena bu Hanum mendadak pingsan setelah melihat beberapa foto yang berada di ponsel milik Garnis dan ditambah lagi rekaman suara yang diperoleh dari Ainun.
Ainun meminta Garnis untuk menemuinya karena ingin memberikan rekaman suara tersebut. Foto dan rekaman suara, semua tentang keluarga pak Muchlis Hananto.
"Tekanan darah ibu Hanum mendadak naik, sepertinya beliau shock karena sesuatu hal, beliau butuh cukup istirahat dan jangan banyak fikiran," ujar dokter Lerina kepada Garnis yang terlihat sangat mengkhawatirkan keadaan ibunya.
"Terima kasih dok," hanya itu yang mampu diucapkan oleh Garnis ketika dokter Lerina memberikan resep obat untuk ibunya, dan dia hanya menganggukkan kepalanya ketika dokter Lerina pamit pulang.
Garnis duduk di tepi ranjang di mana ibunya berbaring lemah. Ditatapnya tubuh kurus itu dengan perasaan tak menentu. Garnis sangat takut kehilangan orang yang sangat dicintai, hanya ibunyalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya saat ini.
Dalam hatinya Garnis berjanji untuk tidak akan melibatkan ibunya dengan masalah yang berhubungan dengan keluarga Hananto. Dia tetap akan meneruskan penyelidikannya tanpa sepengetahuan ibunya, dan tentu saja dengan tetap minta bantuan Ainun.
Di kediaman pak Muchlis, Ainun menjalankan tugas hariannya walau majikannya tak ada di rumah.
"Mbak...mbak Ainun!" suara Danif yang lumayan keras membuat Ainun menghentikan aktifitasnya menjemur pakaian.
"Ya, sebentar Den," setengah berlari Ainun menghampiri Danif yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
"Saya mau berangkat kerja, dan nanti saya nggak pulang, mau nyusul bapak dan ibu, mungkin dua atau tiga hari lagi kami baru pulang," kata Danif setelah Ainun berada di depannya.
"Ma-maaf Den, saya belum sempat bikin sarapan, biasanya kan den Danif berangkat jam delapan, dan ini masih jam enam," kata Ainun, dengan wajah ketakutan karena merasa bersalah.
"Nggak apa-apa mbak, nanti saya bisa sarapan di luar," ucapan majikan mudanya itu membuat Ainun merasa lega.
Setelah kepergian Danif, Ainun melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Hatinya merasa senang dan tenang, karena seluruh keluarga majikannya pergi, Ainun berencana mau mencari sesuatu di dalam rumah majikannya, selama bekerja baru kali ini ada kesempatan tinggal sendiri di rumah majikannya yang besar itu.
Dengan pelan Ainun mencoba untuk membuka pintu sebuah kamar yang tak pernah sekalipun dia masuk selama bekerja. Ainun penasaran, kenapa majikannya selalu melarang dirinya memasuki kamar tersebut, padahal tujuan Ainun untuk membersihkan kamar itu.
Ceklek...!
Tak terkunci!
Ainun berjingkat, dalam gelap dia meraba-raba mencari tombol lampu. Dan ketika lampu menyala, terbeliak mata Ainun melihat apa yang berada di kamar itu.
Berbagai barang ada di dalam kamar itu, semua tersusun rapi dan dalam keadaan bersih.
"Kamar ini bersih dan rapi, berarti ada orang yang rutin membersihkannya," gumam Ainun lirih. Mata Ainun berputar terus mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk, dia tak mau melepaskan kesempatan yang ada, dia bertekad harus menemukan sesuatu kali ini.
Bugh!
Sebuah buku tebal jatuh, karena tanpa sengaja jilbab Ainun tersangkut dan menarik buku tersebut. Tubuh Ainun membungkuk untuk mengambil buku itu, dan tanpa sengaja mata Ainun menangkap sebuah kotak kertas berwarna coklat di bawah rak buku. Dengan hati-hati Ainun menarik kotak tersebut, dan dengan rasa waswas dibukanya tutup kotak itu.
"Jadi, papa dan mama serta mas Solihin masih hidup?" Ainun bertanya pada dirinya sendiri. Setelah melihat apa isi kotak yang ditemuinya di bawah rak buku itu.
Ainun yakin orang tua dan suaminya masih hidup. Sebuah surat perjanjian dan berlembar-lembar kertas struk bukti transfer uang dari sebuah bank atas nama papa dan suaminya memenuhi kotak tersebut.
Dari waktu dan tanggal yang tertera di salah satu struk bukti transfer, meyakinkan Ainun bahwa keluarga majikannya masih berkomunikasi dengan orang tua dan suaminya. Struk terbaru menunjukkan Muchlis mengirimkan sejumlah uang ke rekening papa dan suaminya seminggu yang lalu.
Berulang kali Ainun membaca surat perjanjian yang bertuliskan tangan dan bermaterai, bertanda tangan atas nama Muchlis Hananto, Bahtiar dan Solihin.
Bahtiar adalah papanya, dan Solihin adalah suaminya. Dan tertulis juga dua orang saksi atas nama Johan dan Gunadi.
Dari isi surat perjanjian tersebut Ainun yakin sesuatu telah dilakukan oleh mereka yang namanya tertera dalam surat perjanjian itu.
Isi surat perjanjian itu menyatakan bahwa Muchlis bersedia menanggung biaya hidup orang tua Ainun dan suaminya seumur hidup, dengan syarat mereka harus merahasiakan apa yang telah dilakukan pak Muchlis hingga menyebabkan kematian seseorang yang bernama Widodo.
"Ibu sakit?" tanya Anggun yang baru saja pulang dari pasar, gadis itu tampak khawatir melihat Ainun yang sedang duduk di sofa dengan wajah yang pucat dan murung.
"Ibu kenapa?" pertanyaan kedua dari Anggun membuat Ainun tersentak dari lamunannya.
"Ibu nggak apa-apa Nak," Ainun berusaha menutupi kegundahan hatinya. Dia tak mau putrinya ikut terlibat dengan masalah yang sedang dihadapinya.
Dia akan berusaha mencari tahu tentang apa saja yang berhubungan dengan apa yang ditemukan di kamar terlarang tadi.
Ainun berfikir keras, dia berusaha mengingat dan mencari siapa yang bisa dihubungi.
Bergegas Ainun bangkit dan setengah berlari menuju dapur, dengan sigap dia mengambil ponsel yang berada di atas kulkas.
Jari-jemari Ainun sibuk mencari nomor seseorang yang ada di dalam kontak gawainya. Anggun memperhatikan gelagat ibunya dengan raut wajah yang penuh tanda tanya.
Ainun terus mencoba menghubungi sebuah nomer yang ada di kontak ponselnya, tetapi hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomer tersebut tidak aktif.
Ainun terus berusaha, dia kembali masuk ke kamar terlarang, dia berharap mendapat petunjuk yang lain untuk mengungkap apa sebenarnya yang terjadi.
Sebelum masuk kamar terlarang Ainun memberi tahu Anggun bahwa Andini baru saja mengirimkan pesan yang isinya meminta tolong Ainun untuk membersihkan kamar tersebut.
Ainun terpaksa membohongi putrinya, dia tak mau Anggun mengganggu dan merusak rencananya.
PENGUSAHA KAYA RAYA DITEMUKAN TEWAS DI DALAM MOBILNYA YANG TERBAKAR DALAM KEADAAN MENGENASKAN.
Sebuah judul berita di surat kabar yang tersusun di sebuah rak menarik perhatian Ainun. Di ambilnya surat kabar yang hampir lusuh itu, surat kabar terbitan sebelas tahun yang lalu.
Dengan cermat Ainun membaca kata demi kata berita itu, dan belum habis semua terbaca, Ainun berhenti di sebuah kalimat, darahnya berdesir hebat, seluruh badannya seakan tak bertulang, berulang kali dibacanya kalimat yang memberitakan bahwa pengusaha yang meninggal itu bernama Widodo, dan dalam berita juga tertulis Widodo meninggalkan seorang istri yang bernama Hanum Pratiwi dan juga seorang putri yang bernama Garnis Zulaikha.
Tak sanggup lagi Ainun melanjutkan membaca berita itu, kepalanya mendadak pusing, dilemparkannya surat kabar itu dan dia jatuh terduduk di lantai marmer yang dipijaknya.
Ingatannya kembali kepada surat perjanjian yang ditemuinya tadi, di sana tertulis nama Widodo yang meninggal, dan penyebab kematiannya adalah pak Muchlis, majikannya. Sementara papa dan suaminya tahu semua kejadian itu.
Dan mbak Garnis?
Bu Hanum?
"Aaahhhh...! Ya Tuhan, tolong aku, apa yang harus kulakukan?"