Pak Surya beberapa kali mencoba menghubungi ponsel Bagas tepat di depan calon besannya itu.
"Bagaimana Pak? Bisa dihubungi, Nak Bagasnya?" tanya Pak Sugondo pelan dan lembut.
Tentu di wajah lelaki tua sahabatnya itu tersirat ada rasa kekecewaan yang mendalam.
Pak Surya menggelengkan kepalanya pelan. Raut wajahnya juga sudah malu sekali. Tentu, calon besannya itu akan beranggapan keluarganya hanya ingin mempermainkan keluarga Sugondo.
"Belum ada. Bagaimana ini. Kita tunggu saja?" tanya Surya pelan. Pertanyaannya pun di jawa sendiri dengan mengambil keptusan sepihak aga tetap menunggu Bagas, putra semata wayangnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Seharusnya acara itu di mulai pukul tujuh malam. Sudah ada beberapa tamu undangan yang hadir di sana dan kerabat keluarga besar Pak Sugondo.
Ayu mondar-mandir dengan cemas. Tentu akan malu sekali, acara sebesar ini batal karena ketidak hadiran Bagas, calon tunangan Kinanti.
"Sebenarnya Bagas itu mau datang atau tidak sih, Bu? Kok, sepertinya hanya ingin main-main saja," ucap Ardi, putra sulungnya yang juga ikut gemas.
"Ssstt ... Jangan bicara seperti itu. Mungkin ada masalah dalam perjalanannya. Kita tidak bisa menghakimi begitu saja. karena ponsel Bagas itu tidak bisa di hubungi sejak tadi," ucap Ayu dnegan suara lembut.
Ardi hanya mengangguk kecil, lalu kedua matanya menatap ke arah luar ruangan tengah. Melihat para tamu undangan yang kebanyakan keluarga besar itu sudah nampak gelisah tidak betah untuk terus-terusan duduk sambil menatap ke arah taman samping dengan segala makanan yang tersaji dengan dengan sangat rapi dan begitu banyak menu.
"Bu ... Tidak sebaiknya para tamu di suruh makan saja dulu? Kasihan sepertiya sudah pada kelaparan? Lihat Bu Endang, sudah celingukan melihat ke arah taman terus, sepertinya sudah tidak sabar menyantap kambing guling dekat sana?" ucap Ardi kepada Ayu, Ibunya sambil tertawa kecil
Bu Endang adalah salah satu kerabatnya yang memang berbadan besar dan paling doyan makan.
Ibu membuka tirai sedikit melihat para tamu undangan yang memang sudah merasa jenuh dan bosan.
"Coba Mas Ardi bilang Bapak, untuk melanjutkan acara ini pada makan malam saja," ucap Ayu pelan.
"Baik Bu, Ardi ke tempat Bapa ya?" ucap Ardi pelan.
Langkah kakinya kecil menuju ke arah Bapak. Untuk menyampaikan solusi sementara. Untuk mempersilahkan smeua tamu undangan bisa menyantap makanan sebagai makan malam yang sudah sedikit terlambat.
"Mas Dimas, sebenarnya ada acara apa sih? Kinan ini sudah lapar," ucap Kinanti dnegan manja.
"Mas ambilkan makan ya? Seperti biasa kan? Lagi gak ngidam kan?" goda Dimas sambil tertawa.
"Ngidam?! Di kira lagi hamil!! Kinan belum punya pacar masih jomblo!! Ih ... Mas Dimas nyebelin...." teriak Kinanti dengan suara keras dan kesal.
Suara taa Dimas masih saj terdengar di kamar Kinan.
'Sebenarnya ada apa sih? Memang acaranya belum mulai, sampai Kinan mau makan saja sulit,' batin Kinan yang beranjak keluar menuju pagar tangga yang ada di depan kamarnya. Kinan melongok ke arah bawah, sudah banyak sekali para tamu undangannya. Tapi, kemana Mas Ardi dan calon tunangannya? Kenapa tidak di kenalkan dulu sama Kinan.
Pikiran Kinan selalu positif, karena Ibu dan Bapak selalu mengajarkan untuk tidak berprasangka buruk.
"Heh ... Adik nakal ya. Di bilang jangan keluar kamar. Ini malah keluar kamar," ucap Dimas pelan sambil membawa satu piring makanan dengan satu gelas air minum.
"Aduh ... Mas Dimas, Kinan kaget beneran. Untung gak punya penyakit jantung. Kalau punya mungkin bisa mati mendadak," ucap Kinanti pelan sambil sok ngeles gak jelas.
"Mau makan gak? Apa mau berdiri di sini saja?" tanya Dimas makin gemes dengan adik bungsnya ini.
"Iya makanlah. Laper ...." ucap Kinanti sedikit ketus. Lalu mengambil piring berisi nasi dan ayam bakar yang ada di tangan Dimas dan mulai menikmati makanan itu di meja riasnya.
Dimas melerakkan gelas air minum itu tepat di dekat Kinanti lalu duduk di tepi ranjang. Tugasnya hari ini menjaga agar adik bungsunya tidak kabur dan mau di jodohkan.
"Mas? Kayak apa sih tunangannya Mas Ardi? Cantik mana sama Kinan?" ucap Kinan denagn asal. Kinan hanya tidak mau kedua kakak laki-lakinya melupakan Kinanti dan lebih mementingkan pacar mereka.
"Cantik dong. Kalau gak cabtik, Mas Ardi mana mau?" jawab Dimas pelan sambil menatap Kinan yang masih bergulat dengan ayam bakar.
Sesekali Kinan merasa kepedasan akibat sambal cabe rawit yang membuat nagih itu.
"Kok ... Kinan gak di kenalin sih?" tanya Kinan yang terlihat kesal.
"Mungkin kamu gak penting Kinan," ucap Dimas asal menjawab.
Kinan langsung menatap ke arah Dimas yang sibuk bermain ponsel dan tidak peduli dengan Kinanti.
"Maksud Mas Dimas apa? Bicara seperti itu?" tanya Kinanti yang mulai merasa kesal.
Dimas pun terkejut karena suara gertakan Kinanti dan mendongakkan kepalanya menatap ke arah Kinanti.
"Apa? Mas Dimas tidak bilang apa-apa," ucap Dimas membela diri.
Kinanti melotot dan menatap tajam ke arah Dimas, kakaknya itu.
"Sudahlah Kinan ... Jangan seperti anak kecil. Habiskan makananmu lalu ikut Mas ke bawah," ucap Dimas tegas.
Dimas kembali sibuk dengan ponselnya. Ardi dan Dimas saling berkomunikasi. Ardi bilang, Bapak sudah kecewa dengan Keluarga Surya. Acara sepenting ini seperti dianggap permainan karena Bagas, calon tunangan Kinanti belum juga datang dan menunjukkan batang hidungnya.
"Kinan? Kamu masih mau ke Jakarta?" tanya Dimas tiba-tiba kepada Kinanti yang sedang meneguk air teh dari dalam gelas.
Kinan pun menyemburkan air minum yang da di dalam mulutnya karena kaget. Ucapan Dimas biasanya tidak main-main dan sangat jujur.
"Maulah Mas. Itu kan memang mimpi Kinan bisa bekerja di Jakarta," ucap Kinan pelan dengan nada berharap.
"Kamu sudah siap-siap?" tanya Dimas pelan.
Kinan mengangguk kecil dan menunjukkan barang-barang yang sudah di siapkan dalam koper besar.
"Ada apa sih Mas?" tanya Kinanti dengan rasa penasaran.
"Kamu mau berangkat malam ini? Naik kereta? Nanti jam sepuluh malam. Mas yang akan anter kamu ke stasiun tugu," ucap Dimas dengan mantap.
"Mas Dimas serius? Nanti kalau Bapak tanya bagaimana?" tanya Kinnati yang takut dengan amarah Bapak.
"Itu biar menjadi urusan Mas Dimas dan Mas Ardy. Kami berdua yang akan melindungimu. Tapi ingat, bekerjalah dengan baik. Jakarta itu kota besar dan kamu harus berhati-hati dalam berteman. Jangan sampai salah pergaulan, Kinan. Kamu paham kan?" tanya Dimas pelan sambil memberikan wejangan yang teramat panjang untuk adik bungsu kesayangannya itu.
"Sebenarnya ada apa sih? Kok Kinan malah merasa ada yang tidak beres?" tanya Kinanti dengan rasa penasaran.