"Tidak ada yang tidak beres, Kinan. Kami sebagai Kakak hanya ingin yang terbaik dan kebahagiaan kamu. Bukankah bekerja di Jakarta adalah impianmu?" ucap Mas Dimas pelan sambil menatap ke arah Kinanti.
Kinanti mengangguk pasrah. Itu memang keinginannya sejak kecil.
"That's my dream. Tapi ...." ucapan Kinanti terhenti. Ada keraguan di dalam hatinya kini setelah semuanya sudah setuju dengan keberangkatan Kinanti.
"Tapi apa?" tanya Dimas kepada adik bungsunya itu.
"Bagaimana Bapak? Lalu, Kinan disana bagaimana? Kinan tidak punya kenalan, Mas Dimas," ucap Kinan yang bimbang untuk pergi.
Secara Kinanti itu tidak pernah pergi jauh dari orang tuanya. Kalau pun harus pergi ke luar kota maka akan ada yang mnjemputnya di kota tujuan, bukan bepergian sendiri tanpa tahu harus kemana dan berbuat apa seperti orang yang hilang.
Tarikan napas Dimas membuat Kinanti bergidik ngeri. Kinanti tahu, Sang Kakak tentu kecewa dengan sikapnya yang kelewat manj. Maunya mandiri padahal memang tidak bisa mandiir. Hal ini yang membuat Bapak tidak brani melepas Kinanti sendiri apalagi harus bekerja keJakarta tanpa ada orang yang bisa di titipkan menjaga Kinanti.
"Kamu ini mau test wawancara? Alamat kantornya ada tidak?" tanya Dimas dengan kesal namun tetap tedengar lembut.
"Ini surat panggilannya. Semua lengkap Mas. Nama kantornya dan alamat kantornya dan kepada siapa, Kinanti harus bertemu. Semua jelas tertulis di sana. Tapi Kinanti nanti tinggal dimana?" tanya Kinanti yang mulai terpikir tentang bagaimana ia akan hidup nanti di Jakarta.
Dimas membaca surat panggilan itu. Nama kantor dan alamat kantor itu.
"Ini alamat kantornya deket sama tempat kerja temen Mas Dimas, Kinan," ucap Dimas pelan.
"Teman? Teman yang mana? Memang teman Mas Dimas ada yang berada di Jakarta?" tanya Kinanti pelan.
Dimas mengangguk pelan.
"Ya, Shella namanya. Dia bekerja d rumah sakit, sebagai perawat," jawab Dimas dengan singkat.
Dahi Kinanti berkerut seolah sedang berpikir keras.
"Kan Mas Dimas jurusannya arsitektur, kenapa punya teman perawat?" tanya Kinanti penasaran.
"Memang anak arsitektur harus punya temna dan relasi yang sama bidangnya. Tidak boleh punya teman dan kenalan dari bidang lain?" ucap Dimas tegas.
"Yaelah ... Gitu aja marah Mas. Kan aneh aja. Jarang-jarang Mas Dimas cerita tentang teman Mas dimas," ucap Kinanti jujur.
Dimas hanya mendengus kesal. percuma bercerita panjang lebar dengan Kinanti, adiknya yang terlalu polos ini. tapi rasa so tahunya tidak ketulungan.
"Jadi, Mau di bantu gak? Biar di bantu sama Shella? Biar dia jemput di stasiun kereta dan tinggal sementara di kost Shella. Nnati bru di bantu di carikan kost untuk kamu, Kinan?" ucap Dimas pelan tanpa basa-basi.
"Boleh. Tapi tunggu sebentar, sebenarnya Shella ini siapa? Pacar Mas Dimas?" tanya Kinanti sambil tesenyum menggoda.
"Mau apa enggak.? Mas Dimas mau telponin nih?" ucap Dimas tegas tanpa peduli dnegan pertanyaan tidak mutu dari Kinanti.
Kinanti mengangguk dengan pasrah.
"Iya ... Iya ... Kinan mau. Bilang sama Shella, jangan galak-galak," rengek Kinan pelan.
Kinanti memang gadis yang manja. paling tidak suka di bentak.
"Mbak Shella! Sopan dikit kalau manggil," ucap Dimas memperbaiki.
Malam itu, Dimas dan Shella sudah saling berkomunikasi. Dimas menitipkan Kinati, adik bungsunya yang terlalu polos dan manja.
"Shella, Kinan jadi ke Jakarta. Tolong bantu dan jagain ya," ucap Dimas pelan kepada Shella, kekasihnya itu.
"Iya Mas, pasti Shella jagain. Kapan sampai Jakarta, biar Shella juga ada persiapan," tanya Shella pelan dari sambungan telepon itu.
"Nanti malam, mungkin kereta akan tiba pagi di Jakarta. Tolong antarkan sampai ke gedung kantor yang di tuju. Biarkan dia tahu bagaimana rasany hidup di Kota Besar tanpa orang tua. Biar belajar mandiri," ucap Dimas pelan sedikit terkekeh.
Bukan mau jahat kepada Kinan, adiknya sendiri. Tapi sesekali, anak manja itu memang harus merasakan bagaimana rasanya hidup sendiri dengan uang sendiri tanpa ada bantuan dari orang tua atau saudaranya sendiri.
"Memangnya acara lamarannya sudah selesai? Maaf, Shella tidak bisa datang," ucap Shella pelan.
"Acaranya batal Shella. Makanya biar Kinanti ke Jakarta saja. Acara malam ini benar-benar mempermalukan kelurga besar Mas," ucap Dimas dengan nada kesal.
Shella terdiam. Tidak berani bertanya lebih lanjut dan lebih baik menyimpan dalam pertanyaan yang masih membuatnya penasaran.
"Baiklah. Mas Dimas. Kabar-kabari Shella saja," ucap Shella pelan.
Acara malam itu benar-benar gagal total. Seluruh keluarga besar Kinanti sudah kembali pulang dnegan rasa kecewa mendalam. Terutama Bapak dan Ibu Kinanti yang merasa sanagt malu bagai tertampar dnegan gagalnya acara lamaran malam ini.
Berulang kali, Keluarga Surya Atmaja meminta maaf pada Keluarga Sugondo.
"Mas Sugondo, Saya benar-benar minta maaf atas tertundanya acara malam ini," ucap Surya dengan rasa kecewa.
Sugondo berusaha legowo dan ikhlas menerima. Namun, rasa kecewa yang mendalam tetap terukir jelas pada raut wajahnya yang mulai berkeriput itu.
"Sudahlah. Acara ini bukan tertunda lagi. Saya pastikan batal dan tidak akan ada lagi acara lamaran menyusul antara Nak Bagas dan Ajeng," tegas Sugondo dengan rasa kecewanya memutuskan tali persahabatannya dengan membatalkan perjodohan anak-anaknya.
"Jangan di batalkan Mas Gondo. Saya pastikan kita akan akna kembali lagi. Saya juga bingung kenapa Bagas tidak bisa di hubungi sampai sekarang," ucap Surya pelan.
"Bagas itu anakmu, Mas Surya. Tidak mungkin kamu tidak tahu kemana perginya anakmu itu?!" tegas Sugondo yang mulai emosi.
"Memang begitu kenyataannya Mas Gondo. Sejak sore, Saya berusaha menghubungi Bagas naun tidak tersambung. Saya berusaha menghubungi Festi pun tidak bisa," ucap Surya yang tak mau kalah memebela dirinya. Surya juga tidak mau di salahkan karena masalah ini bukan hal yang di sengaja, namun memang terjadi di luar kendalinya.
"Lihatlah, sudah pukul sebelas malam. Tidak baik bertamu sampai tengah malam. Kita ini orang timur harus bisa memiliki adab yang baik. Silahkan kembali ke hotel Mas Surya," titah Sugondo pelan.
Kekecewaan yang tidak mungkin bisa di obati lagi. Rasa malu pada kerabat dan tetangga yang telah menyempatkan waktu untuk datang menjadi saksi acara lamaran perjodohan anaknya dengan anak sahabatnya.
"Masih ada kesempatan bukan?" tanya Surya yang ragu dan bimbang melontarkan pertanyaan itu.
"Pulanglah. Aku sedang tidak ingin membahas hal ini lagi Mas Surya. Lupakan semuanya, Kita tetap bersahabat walaupun acara malam ini tidak akan pernah terjadi lagi di kemudian hari," tegas Sugondo kepada Surya.
Surya paham dengan perasaan sahabatnya itu.
"Maafkan Aku, Mas Gondo. Maafkan Bagas yang teledor," pinta Surya dengan nada memohon.
"Teledor?! Untuk acara sepenting ini?! Direktur macam apa itu?!! Tidak profesional!!" emosi Sugondo.