Keluarga Pak Surya dan Bu Anita sudah berada di perjalanan menuju kediaman rumah Bapak Sugondo. Acara malam ini memang sangat mendadak sekali, dan ada hubungannya dengan urusan bisnis antara Pak Surya dan Pak Sugondo, di Surya Go Group Coorporation.
"Masih jauh rumahnya Mas?" tanya Anita, sang istri kepada Surya, suaminya.
"Tidak jauh, sebentar lagi," ucap Surya pelan sambil melihat ke arah depan jalan raya.
Sore ini, sesampai di Bandara, Keluarga Pak Surya langsung di jemput oleh supir keluarga yang berada di rumah pribadinya di daerah Yogyakarta. Perjalanan langsung di lanjutkan ke rumah Sugondo, sahabat karibnya sejak kecil.
"Bagas sudah berangkat belum Pah?" tanya Anita lirih. Takut acara malam ini gagal karena kesibukan Bagas di kantor sejak dua hari ini.
Surya menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu melihat ke arah depan kembali seperti sedang mengingat jam keberangkatan pesawat Bagas.
"Ini pukul lima sore, pesawat Bagas sepertinya berangkat pukul pukul enam lewat lima belas," ucap Surya pelan lalu mengutak-atik ponselnya berusaha menghubungi Bagas.
"Gimana Pah? Bagas bisa di hubungi?" tanya Anita pelan. Tiba-tiba saja perasaan wanita paruh baya itu menjadi tidak enak. Pikirannya melayang kepada anak semata wayangnya yang baru saja kembali ke tanah air satu minggu yang lalu.
Surya menggeleng pelan dan raut wajahnya mulai berubah memerah. Surya bingung dan cemas. Sekali lagi Surya berusaha menghubungi ponsel Bagas dan nomor telepon kantornya untuk mengetahui kondisi dan keadaan Bagas saat ini. Sudah dua hari ini, Bagas memang mulai sibuk menggantikan posisi Pak Surya sebagai Direktur Utama.
"Tidak ada jawaban, Mah. Pak Badrun, setelah ini kembali ke bandara dan tunggu Bagas. Mungkin saja dia sudah di Bandara menunggu keberangkatanya," titah Pak Surya kepada pak Badrun.
Bagas baru saja menyelesaikan urusan kantor dan duduk bersandar di kursi terhormatnya. Kursi yang baru dipakainya selama dua hari ini. Satu tangannya memandangi foto lama yang masih berwarna hitam putih. Fotonya bersama Ajeng, anak dari sahabat Papanya.
Senyum Bagas terbit bahagia, sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan Ajeng. Entah masih mengenalnya atau tidak, yang jelas kini perempuan itu akan menjadi tunangannya.
TOK!!
TOK!!
TOK!!
Suara pintu terbuka, Festi, karyawan kepercayaan Papa Surya sudah melangkah masuk ke dalam ruangan Bagas.
"Permisi Pak Bagas, malam ini ada klien yang mengajukan pertemuannya malam ini, karena beliau besok siang harus terbang ke luar negeri? Bagaimana Pak?" tanya Festi pelan dengan sopan
Bagas yang terkejut langsung menegakkan duduknya dengan benar.
"Siapa Fes? Klien yang mana?" tanya Bagas pelan.
"Klien dari Perusahaan Matahari, ini penanam modal yang besar Pak Bagas. Kita akan bertemu langsung dengan pemilik perusahaan yaitu Bapak Hari," ucap Festi dengan pelan menjelaskan.
"Tapi, dua jam lagi, Saya harus berangkat ke Yogyakarta untuk acara penting juga," ucap Bagas pelan sambil memijit keningnya yang tidak sama sekali pusing.
Dilema antara pekerjaan dengan acara yang sudah jauh-jauh di buat oleh kedua orang tuanya.
"Ya, Sekarang tergantung Pak Bagas. Kalau mau malam ini, akan saya jadwalkan sekalian makan malam agar lebih santai. Atau bisa konsultasi dahulu dengan Pak Surya?" ucap Festi menyarankan.
Ponsel Bagas baru saja di aktifkan, setelah tadi dimatikan karena sedang rapat dengan beberapa orang penting. Banyak notifikasi yang masuk termasuk notifikasi panggilan dan pesan singkat dari Papa Surya dan Mama Anita.
Bagas segera menelepon Papa Surya, namun tidak diangkat. Sudah beberapa kali Bagas mengulang sambungan telepon itu, tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda sambungan telepon itu tersambung.
"Argh ... Kenapa tidak diangkat," ucap Bagas sedikit mengumpat dengan kesal. Tubuhnya lelah, tapi ini semua demi kelangsungan majunya perusahaan yang sedang di kelolanya.
"Gimana Pak Bagas? Jangan sampai klien kita kecewa. Kalau Pak Bagas tidak bisa, mungkin ada orang lain yang bisa menggantikan Pak Bagas," ucap Festi pelan.
Bagas menyimak ucapan Festi lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak diangkat oleh Papa. Tidak ada orang yang bisa menggantikan posisi ini. kebetulan Papa sudah memberikan pesan kemarin untuk Saya handle sendiri," ucap Bagas pelan.
"Jadi, Bagaimana Pak?" tanya Festi pelan yang masih menunggu keputusan Bagas sambil berdiri di depan meja kerja Bagas.
"Baiklah. Kita terima tawarannya setelah maghrib kita rapat di tempat biasa. Siapkan makan malam. Tolong belikan tiket ke Yogyakarta nanti malam. Setelah rapat Saya harus kesna. Saya mau bicara dengan Papa," titah Bagas dengan tegs.
Berulang kali Bagas mencoba menelepon Sang Papa, hingga waktu berjalan dan tiba saatnya rapat bersama penanam modal.
Tiga jam berlalu, hasil rapat yang memuaskan. Pak Hari ingin menambah kembali modal untuk Surya Go Corporation dengan kontrak kerja yang baru yang leih menguntungkan bagi Surya Go Corportion.
"Festi, Tiket perjalanan? Sudah di pesan?" tanya Bagas pelan.
Festi mengangguk pelan saat Bagas tengah bersiap untuk pergi ke Bandara.
"Sudah Pak. Sudah di atur semua, keberangkatan pukul sebelas malam," ucap Festi pelan sambil melihat jadwal keberangkatan pesawat yang di pesannya melalui ponselnya.
"Baiklah, terima kasih. Saya langsung ke Bandara. Besok Saya kembali, mungkin agak siang," ucap Bagas pelan.
Bagas berjalan menuju mobilnya dan melajukan mobil itu dengan pelan menuju Bandara. Ponselnya kembali diaktifkan.
Sudah pukul delapan malam. Ponsel Bagas kembali tidak aktif. Pak Surya dan Mama Anita beberapa kali mencoba menghubungi Bagas namun tetap saja tidak tersambung.
"Bagaimana ini? Papa tidak enak dengan Pak Sugondo. Seharusnya tadi kita berangkat bersama, tidak seperti ini. Apa mungkin, Bagas menolak pertunangan ini?" tanya Pak Surya kepada Anita, istrinya.
Pak Surya tahu, bahwa Bagas itu sangat dekat dengan Anita, Ibu Bagas. Jadi, semua rahasia tentu Anita akan lebih dulu tahu dbandingkan Surya, papanya.
"Bagas menerimanya, bahkan Bagas senang bisa dipertemukan kembali dengan Ajeng," ucap Anita pelan sambil mengingat kembali pembicaraannya dengan Bagas dua malam sebelum acara ini dilaksanakan.
"Tadi Bagas sempat menghubungi Papa, tapi tidak ke angkat. Sepertinya Papa sedang berbincang dengan Sugondo," ucap Papa Surya dengan lirih menyesali.
"Ada apa ya Pa? Mama kok jadi cemas begini," ucap Anita pelan sambil mencoba menghubungi Bagas untuk kesekian kalinya.
"Surya ... Ayo kita makan malam dulu, sambil menunggu kedatangan Bagas. Sudah sampai dimana calon menantuku itu?" tanya Sugondo dari ambang pintu teras menuju joglo, tempat dimana Surya dan istrinya sedang menikmati malam di Kota Gudeg itu.
Mendengar panggilan Sugondo, jantung Surya pun sedikit mencelos panik. Kedua matanya melirik ke arah Anita, istrinya.
"Iya ... Sugondo. Maaf, Bagas tidak bisa di hubungi sejak sore. Saya khawatir sekali,' ucap Surya pelan.
"Lho, Coba hubungi lagi, takut ada apa-apa," ucap Sugondo pelan terlihat ikut mencemaskan keadaan Bagas.