Vicky mendekatkan wajahnya dan mata Firda perlahan memejam. Menunggu detik demi detik hingga akhirnya Vicky mendaratkan sebuah kecupan manis. Firda dapat merasakan bibirnya disapu oleh Vicky. Menyentuhnya dengan lembut, tanpa melakukan apa pun sampai pada akhirnya Vicky memberi sebuah kecupan lembut.
Lalu tak tahu malu Firda membalasnya. Firda membalas kecupannya sekali, dua kali, tiga kali, hingga akhirnya kecupan lugu itu perlahan berubah menggebu menjadi lumatan.
Vicky merasa bahwa Firda menerima semua pagutannya, semakin bersemangat mengulum dan menyesap bibir Firda. Tangan kanannya bergerak ke tengkuk Firda lalu menekannya untuk lebih dekat supaya jarak diantara mereka terkikis. Pun Vicky dapat melakukan itu dengan mudah.
Vicky terus memberi sentuhan manja tanpa henti seperti sudah sangat mendambakannya sejak lama. Dia mulai memainkan lidahnya menggoda sudut bibir bawah Firda sampai Firda refleks membuka mulutnya.
Firda mempersilakannya masuk, membuat Vicky semakin bersemangat menjelajah, pun merasakan setiap sudut rongga mulut wanita itu.
Entah anehnya Firda justru menikmati ciumannya. Firda mulai memeluk Vicky erat. Dia begitu membiarkan tubuhnya berada sangat dekat dengannya seperti apa yang sudah Firda dambakan.
Kini, firda seperti sedang mengonsumsi obat terlarang. Obat terlarang tersebut adalah bibir Vicky. Firda terus melumat bibir Vicky penuh kelembutan, bahkan tak segan melakukan hal lebih agresif.
Mendapat respon positif, Vicky balik menyapu bibir, hidung, ke pipi Firda secara perlahan mengarahkannya ke telinga sebelum akhirnya berbisik, "Aku sayang kamu, Fir."
Bisikan itu membuat darah Firda berdesir. Terlalu mabuk sampai tak sadarkan diri Firda dibuatnya. Firda terus memejamkan matanya untuk menikmati setiap sentuhan Vicky di kulit mulus miliknya. Sedang tangan Firda menyusup masuk ke rambut Vicky, kemudian meremasnya pelan seraya menyapukan kecupan di ceruk leher lelaki itu.
"Aku sayang sama kamu."
Mata Firda sontak terbuka lebar saat mendengar suara Willi menggema di telinganya. Layaknya memberi alarm atas tindakan yang kini ia lakukan bersama Vicky.
"Aku mau kamu."
Firda mematung, membeku, tak bisa berucap apa pun detik ini. Vicky masih dengan semangat bergairah, tenggelam dalam hasrat yang terus menuntut. Sedangkan Firda seketika saja merasa disengat listrik di kursi penyiksaan saat kilasan panas malam itu melintas di benakknya.
"Would you be mine, Fir?"
Sekali lagi suara Willi menyadarkannya. Refleks Firda langsung mendorong Vicky menjauh darinya. Firda menaruh telapak tangannya di dada Vicky, sekali lagi mendorong tubuh lelaki kekar itu melepas pelukannya.
Vicky schock. Matanya melebar kaget bersama raut wajah tak mengerti akan tindakan Firda secara mendadak. Napasnya dan napas Vicky sama-sama terengah.
Masih sambil menatap Firda bingung, perlahan Vicky mendekat dan kembali merengkuh kedua lengan Firda. Vicky mencoba kembali memeluk wanita itu.
"Kenapa, Fir?" bisiknya pelan.
Firda hanya tertunduk menatap kedua tangannya di dada Vicky.
"Ini salah, Vic," ucapnya bergetar. "Aku udah punya pacar."
Vicky mendesah penuh frustrasi. "Can't you just leave him, Fir? For me?" tanya Vicky seperti memohon.
Gejolak rasa aneh itu spontan, konstan, menghakimi Firda. Perasaan bersalah terus muncul di benaknya. Tak terhitung berapa kali Firda menyakinkan dirinya bahwa tindakannya cukup menghukum Willi.
Tetapi di sisi lain Firda bagaikan penjahat dalam hubungan. Layaknya seorang predator. Mungkinkan ini sepenuhnya salah Firda? Tak ada yang bilang itu pasti.
"Fir, kita udah saling cocok. Terus kamu mau apa lagi sekarang? Ayolah, Fir! Kita nikmati ini berdua. Bukannya kamu juga menginginkan hal ini terjadi? Jadi tolong jangan merasa kamu paling tersiksa." Suara serak itu menambah kesedihan Firda.
Firda menjauh sedikit agar Vicky tak meraih tubuhnya lagi. Sudah cukup! Firda sadar ini tak bisa dilanjutkan.
"Aku tau itu, Fik. Tapi kamu nggak pernah ngerti gimana rasanya jadi aku," protes Firda. Baginya dia keterlaluan sampai berbuat sejauh ini bersama Vicky.
Tak peduli apa pun lagi, Vicky berjalan penuh gagah ke arah Firda. Jika sudah begini Vicky pun sulit memenuhi hasrat yang terlanjur menggelora akibat permainan Firda.
"Jangan mancing aku berbuat kasar, Fir. Nggak ada salahnya kita saling memenuhi satu sama lain. Kita butuh healing, Fir. Aku butuh kamu, sebaliknya kamu butuh pelukan hangat dariku." Vicky berujar mantap. Dalam hal ini Vicky memang terbiasa menghadapi wanita modelan Firda.
"Ini salah, Vic! Aku punya pacar. Aneh rasanya kalau aku berbuat dusta padanya." Kebenaran apa sampai Firda mengatakan hal demikian, apa ini bentuk penyesalan? Atau apa?
Alis Vicky tertataut. Kedengaran lucu ucapan Firda. "Hahaha. Kamu ini mau melawak atau gimana sih, Fir? Pacar kamu itu sama sekali nggak pantas memiliki kamu. Lagipula dia aja mana peduli dengan kamu." Vicky enggan Firda berbalik pergi meninggalkannya.
Bagaimanapun caranya, Vicky akan tetap mempertahankan Firda. Sedang Firda mulai sadar ini permainan gila mereka harus dihentikan sebelum terlambat.
'Kupikir aku tau apa yang aku mau. Tapi nyatanya aku tak tau bagaimana mengatasi asap hitam ini. Aku takut bila ada api besar lalu menghanguskan aku dan Willi. Apa lagi Vicky,' lirihnya dalam hati.
Setelah menguasai keadaaan Firda bergegas mengambil pakaian bercecer di lantai. Niatnya bulat. Tak akan mempersulit kondisinya ataupun menyakiti orang di sekelilingnya.
Namun saat Firda berniat membuka pintu, Vicky sigap menghalangi Firda. "Please, Fir. Kamu jangan egois gini. Kalau emang kamu nggak mau mengorbankan siapa-siapa, kamu harus memilih!"
Sikap Vicky tidak bisa ditoleransi. Bagaimana mungkin Firda memilih antara Willi dan Vicky? Dua pria yang berhasil mengambil hatinya. Meski Firda tahu Vicky jelas lebih unggul dari Willi. Tetapi Firda pun ingin memperbaiki hubungan dengan Willi.
"Minggir, Vic! Aku mau pulang. Jangan nambah beban aku lagi. Kita akhiri sampai di sini, Vic. Kita udah terlalu jauh." Akhirnya kalimat ini terucap dari mulut Firda setelah sekian lama.
Cepat Vicky menggelengkan kepala. Rasanya aneh penuturan Firda untuknya. Selama ini dia melihat Firda sangat nyaman berada di sisinya. Lantas kenapa mendadak Firda berubah, sedang Vicky mengetahui jelas betapa mata Firda berkata lain?
"Stop, Fir! Jangan buat diri kamu makin ngenes sama Willi. Kamu sama sekali nggak pantas diperlakukan seperti itu. Dan aku ... apa pun kamu mau selalu aku kabulin. Terus kurang aku di mana, Fir? Masa kamu pergi gitu aja ninggalin aku? Ini gak logis buat aku!" tegas Vicky. Hatinya berkeyakinan penuh bila Firda berbohong perihal hatinya.
Firda terdiam di posisinya. Tak kuasa untuk tidak bergetar akibat air mata yang mulai membendung lalu tanpa izin jatuh ke pipinya.
"Hiks. Jadi menurut kamu aku harus memilih antara kamu dan Willi?" tanya Firda, memastikan maksud ucapan Vicky.
"Iya. Pilih aku atau Willi!" titah Vicky.
Bimbang. Firda tidak tahu harus memilih siapa. Willi si manusia es balok atau Vicky lelaki genit?
To Be Continued.