Tampaknya tidak. Firda ini sebenarnya nggak jelas apa perannya. Jagain jodoh orang aja, mungkin.
Sesak itu menuntut air matanya jatuh. Meluapkan rasa sedih bercampur kecewa setelah sesaat mendengat pernyataan aneh dari Willi.
Ketika Firda melewati Diva dan Okta, meraka hanya bisa terganga bingung. Tiba-tiba saja wajahnya begitu mendung.
Firda bergegas masuk ke dalam mobil diikuti oleh kedua sahabatnya. Ini adalah pilihan terbaik daripada harus terus bersikap bodoh seolah ia berjuang sendiri. Meski benar begitu adanya. Setidaknya Firda tahu dia bukanlah manusia tanpa pikiran. Masih ada jalan untuk mengakhiri rasa sakit ini.
"Fir, kenapa? Kayaknya tadi baik-baik aja." Okta yang duduk di kursi belakang penasaran. Ia mencondongkan tubuhnya untuk menyibak rambut Firda yang kini menutupi sebagian wajahnya karena ia menangis tertunduk di balik kemudi.
"Bukan gara-gara prank gue, kan?" Diva gusar. Takut jika ulahnya tadi adalah penyebab sedihnya Firda.
Firda menurunkan kedua tangan yang sedari tadi menutupi wajah bersimbah air mata. Lalu saat Firda menatap ke depan, di sana lah Willi berada. Berdiri tidak terlalu jauh dari mobilnya, memandang Firda dengan tatapan selalu sulit diartikan.
Luar biasa. Ternyata lelaki es balok itu mengejar.
"Tunggu sini, gue hajar tuh orang! Jelas-jelas dia udah janji nggak akan bikin lo nangis!" cetus Okta berapi-api.
Meski Firda tak mengerti ucapannya, ia langsung cepat-cepat mengunci pintu central lock.
"Nggak usah. Kita cabut aja, ya." Firda langsung menyalakan mesin. Enggan bila terlalu lama di sana.
Mata Firda bersitatap cukup lama pada kedua manik mata Willi hingga akhirnya mobil Firda melaju meninggalkan dia berdiri gagu di tempatnya, memandang mobilnya menjauh.
Selama perjalanan mereka bertiga diam membisu. Bersama pikiran kacau, heran, bingung, entah bagaimana sampai semua ini terjadi.
"Ta, menurut lo ini salah gue?" tanya Diva. Sebelah tangannya mencolek bahu Okta. Kebetulan duduk di samping kemudi.
Okta pun menoleh sebentar, lalu berucap, "Jangan mulai deh, Div. Mulut ember lo bisa jadi masalah buat kita. Udah diam aja."
Diva melongos kesal. Sepertinya Okta ada benarnya juga. Sekarang diam jadi pilihan terbaik agar suasana tidak memburuk.
"Kalo mau ngomong bilang aja," sindir Firda.
"Bukan gitu maksudnya Diva. Dia cuma khawatir sama lo. Lagian kan lo ingat tadi si Diva prank Willi. Jadi Diva merasa bersalah." Okta menoleh sekilas ke belakang, mendapati Diva merengut sebal namun cemas.
"Gue sedih karena sikap Willi. Dan lo Div, nggak perlu merasa salah kayak gini. Gue baik-baik aja. Mungkin gue terlalu cengang sampai kondisi ini gak bisa gue kendalikan," tutur Firda memperjelas.
"Syukurlah." Diva lega.
***
Firda menoleh sebentar ke arah jam dinding.
Jam tujuh malam.
Diva dan Okta sudah pulang sejak setengah 6 sore setelah menenangkan Firda yang terus menangis sekaligus ikut mencak-mencak akan ketidakacuhan Willi.
Setelah mereka pulang, Firda hanya menghabiskan waktu tidur-tiduran sembari menatap kosong langit kamarnya.
Ya, Tuhan. Satu kampus, kuliah tiap hari, hidup di zona waktu yang sama aja, Firda makan hati. Lebih banyak ngapa-ngapain sendiri, nggak ada diperhatiin sama sekali. Gimana Willi dua bulan di negara dengan jarak 7.275 mil? Perbedaan waktu hingga 6 jam. Rasanya akan sangat sulit hubungan ini dipertahankan.
Drtd ... Drtd ...
Dering ponsel terdengar jelas. Menandakan telepon masuk. Firda beranjak berdiri dari tidurnya, perlahan menuju meja belajar tempat di mana ponselnya berada.
Firda meraih ponsel penuh kemalasan. Tapi tunggu! Ia kaget bukan main melihat nama yang berkedip di layar ponsel.
William Suadha is calling ....
Kemajuan. Bisa nelpon duluan. Kirain ponselnya itu tidak bisa dipakai untuk panggilan keluar.
Langsung ia meletakkan benda pipih itu di telinga setelah menekan tombol hijau.
"Hm?" jawab Firda. Suaranya terdengar malas, lebih seperti enggan menerima telpon Willi.
"Aku di depan," beritahu Willi, singkat.
"Depan?" Kening Firda berkerut.
"Iya. Depan rumah kamu," kata Willi lagi.
Jantung Firda seperti merosot ke perut. Jarang sekali Willi ada inisiatif duluan menghampirinya. Apa lagi kalau Firda tidak memintanya.
Sejurus kemudian Firda berjalan ke jendela kamar, membuka gorden untuk memastikan ucapan Willi.
"Keluar, ya?" Serak suara itu layaknya sedang memelas pada Firda.
Dari jendela masih dipandanginya Willi. Ada keraguan namun takjub bersamaan.
Terlihat jelas Willi berdiri bersandar di mobilnya yang terparkir depan rumahnya, mengenakan bomber jacket berwana coklat yang sengaja dibiarkan terbuka serta kaos putih masih tetap menjadi andalan lelaki itu.
Tangan kiri ia masukkan ke dalam saku jaketnya, sedangkan tangan kanannya masih memegang ponsel. Seperti biasa, kepala Willi tertunduk menatap kaki kanan yang sibuk mengais-ngais aspal, menandakan sebuah kegugupan.
"Tunggu," pungkas Firda.
Firda mematikan telepon. Lantas ia bergegas mengambil sweater kesayangan miliknya. Dengan malas-malasan Firda melangkah keluar kamar lalu kemudian menghampiri Willi di depan rumah.
Lelaki tampan itu tak bergerak dari posisinya. Kedua tangan masuk ke dalam saku bomber jacket coklatnya.
Willi mengangkat kepala saat menyadari kehadiran Firda. Ekspresinya tetap datar. Malah bertambah dingin bagai es balok. Namun Firda tahu mata lelaki itu memancarkan kecemasan.
Perlahan Firda membuka pagar. Tentu saja menutupnya kembali. Dan berdiri di hadapan Willi, yang ternyata menatap dirinya hingga membuat degup jantung berpacu hebat.
"Kenapa?" ketus Firda, bertanya.
Hening. Willi memilih diam untuk sesaat sebelum akhirnya mengalihkan pandangan darinya. Mata Willi terlihat jelas oleh Firda memancarkan ketakutan.
"Jangan buang-buang waktu aju, Wil," ujar Firda sedikit kesal.
Willi akhirnya kembali menatap Firda. "Tadi nangis, ya?" tanya Willi terdengar meringis.
"Nggak, cuma lagi sembelit," balas Firda asal sambil menyadarkan punggung di mobilnya seraya bersedekap dada. "Kurang serat."
"Jangan nangis dong."
"Ternyata kamu tuh selain gagu juga budeg, ya, Wil?" cetus Firda setengah menyindir.
"Aku bilang kan aku nggak nangis. Udah bosen aku nangisin kamu," sambingnya beberapa detik kemudian.
"Jadi sering?"
"Ini ngapain sih ke sini kalau cuma buat ngabsenin aku nangis apa nggak?" Firda bertanya penuh emosi. Mata pun ikut melirik sinis ke arah Willi yang tak berubah berdiri di sampingnya.
Willi menatap Firda dengan puppy eyes-nya. Cih!
"Iya, sering! Hampir tiap hari aku nangis gara-gara dianggap hantu sama pacar sendiri. Aku tiap hari selingkuh sama Siri ya asal kamu tau. Aku udah nyaman sama dia. Jadi kayaknya aku udah nggak butuh kamu lagi." Semua kekesalan Firda luapkan malam ini. Sejujurnya ia muak terus menjalankan hubungan gila layaknya ia seorang pemuja.
Willi meringis. Tangannya bermain menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Fir, jangan gini dong."
Apa? Hanya ini kata-kata yang Willi ucapkan setelah Firda menahan sakit bertahun-tahun?
"Please, Fir. Air mata kamu jangan dibuang di depan aku."
To Be Continued.