"Kamu mau udahan?" Willi tiba-tiba mengeratkan genggamannya. Sangat erat seperti anak kecil yang ketakutan.
Firda mati kutu. Sebenarnya Firda tidak tahu mau jawab apa. Karena jelas ia sayang banget sama manusia dingin itu. Kalau ditanya mau udahan atau tidak, ya jelas Firda tidak mau!
Di sisi lain Firda trauma. Selama kurang lebih 2 tahun belakangan ini ia bagaikan layang-layang meghadapi hubungan tak jelas ini. Mau bertahan rasanya sulit. Berhenti pun, rasanya enggan.
"Aku nggak," kata Willi tegas. Jemarinya menggengam erat tangan Firda, dan tidak memperlihatkan ingin melepasnya.
Pandangan Firda kosong. Ia lantas menoleh pada Willi bersama sejuta kebingungan. "Kenapa?"
"Ya, karena aku sayang kamu lah." Cepat Willi menjawab pertanyaan Firda. Seolah ia lelaki paling pemberani saat seorang reporter memburu jawaban darinya.
Firda schock. Di luar prediksi Willi berkata demikian. Dari sekian lama hari yang dilewati bersama, baru hari ini seorang William Suadha mengatakan bahwa dirinya menyayangi Firda.
"Ah elah. Kamu cuma sugar coating." Firda tertawa sinis. "Dari dulu mana pernah kamu sayang sama aku, Wil. Aku aja nggak ngerti kamu ngajak aku pacaran untuk apa," sambungnya penuh penekanan.
"Fir," panggilnya pelan. Tangan Firda sakit akibat genggaman Willi terlalu erat. "Kamu tuh berisik banget, Fir. Kayak petasan. Kalau bukan karena aku sayang, ngapain aku ngorbanin kuping aku."
Is this supposed to be something sweet?!
Willi mengusap wajahnya seraya mendesah kasar. "Perbendaharaan kata aku untuk yang manis-mansi hampir nihil, Fir. Tapi kamu ngerti kan maksud aku?"
Hening.
Angin malam mengantikan suara terakhir Willi. Mengisi ketenangan setelah beberapa lama Firda dan Willi berseteru membahas hubungan mereka.
Sekitar satu menit lamanya mereka terdiam dan hanya saling bersitatap mencari sebuah kebenaran. Dan refleks Firda melongo saat Willi mendakat padanya, membuat jantung Firda berdetak bagai di pacuan kuda. Secara bersamaan juga Willi melepas genggamannya lalu melingkari kedua lengannya di bahu Firda. Sontak menarik tubuh Firda ke dalam pelukan hangatnya.
Willi membenamkan wajah Firda di dada bidang penuh bulu itu. Mengelus lembut helai demi helai rambutnya hingga Firda tak bergeming dengan apa yang sedang terjadi.
"Maaf, Fir," lirihnya pelan. "Aku mau berbagi sama kamu tapi aku nggak tau caranya."
Firda terdiam. Memahami setiap kata yang Willi ucapkan. Sembari tak bergerak dari posisinya karena ini kali pertamanya Firda merasakan pelukan Willi. Firda dapat merasakan tubuhnya yang atletis memberikan ia tempat bersandar paling nyaman. Nyaman sekali, demi apa pun ia ingin waktu berhenti agar pelukan ini tak kunjung lepas.
Meski begitu, kenyataan bahwa Firda sudah sangat mengingnkan ini dari duli sedangkan Willi tidak peka, membuat ia layaknya wanita menyedihkan di dunia ini. Hingga akhirnya, tanpa ia sadari, ia malah menangis menumpahkan keluh kesahnya. Isak tangis pecah dari mulutnya dan meskiberusaha membungkam, semua sia-sia.
Tanpa henti Willi mengeratkan pelukannya seiring isak tangisnya. "Kok makin kenceng, sih, nangisnya? Jangan nangis dong. Aku makin bingung nih, Fir." Willi berkata pelan yang membuat Firda bertambah pecah tangisnya.
Lelaki es balok itu perlahan melepas pelukannya. Memandang wajah Firda yang telah sembab oleh air mata. Dengan penuh inisiatif Willi mengusap lembut bulir bening itu menggunakan jempolnya. Tak sampai di situ, Willi menangkup kedua pipi Firda sampai bibir wanita itu sedikit manyun.
"Bentar kok perginya. Aku bakal coba lebih sering hubungin kamu," ucap Willi berusaha menghiburnya. "Jangan putus, ya?"
"Lebih sering versi kamu tuh kayak gimana?" Firda bertanya sinis disela hisak tangis. "Aku nggak ngerti mesti gimana sama kamu. Kamu bikin aku frustrasi!" Firda berdecak kesal. Ucapan konyol Willi mengundang sejuta kekesalan untuknya. Apa lagi yang harus dilanjutkan? Bagaimanapun Firda adalah wanita. Ia butuh kepastian bukan pengetian.
"Maafin aku, please. Aku janji nggak bakal cuek lagi," pungkas Willi. Ia berusaha menyakinkan Firda. Meski pun menggunakan kata-kata singkat yang sebenarnya sudah lumayan panjang apabila ingin melihat ke belakang.
Diperhatikannya wajah Willi. Wajah yang selama dua tahun ini bisa Firda pandang dari dekat tapi terasa jauh.
Lalu dengan begitu serius, Firda masih tetap jatuh. Hingga akhirnya Firda melingkarkan kedua tangan di pinggang Willi dan membenamkan wajah di dada lelaki sedingin es balok.
Entah kenapa Firda merasa candu akan kenyamanan dekapan Willi. Seolah memberi isyarat untuk Firda menyerah dengan pertahanannya.
Sebaliknya Willi membalas pelukan Firda. Terus mencurahkan kasih sayang versi seorang Willi.
Malam ini pembicaraan mereka paling serius selama mereka berpacaran. Banyak moment pertama yang dilakukan.
Willi mengatakan sayang pada Firda, Willi menggengam tangan Firda, dan tentu saja, Willi memeluk erat Firda dalam dekapannya.
Walau malam ini mereka sangat gusar. Tidak tahu apakah semua akan berjalan mulus. Setidaknya mereka berdua mencoba tetap percaya satu sama lain. Memberi kesempatan meskipun ketidakpastiaan terpampang nyata.
Sungguh, malam ini Firda merasakan sebuah kehangatan dalam hati yang sebelumnya hilang, terisi kembali.
Hanya Willi yang pernah Firda sayangi sekeras ini walaupun dia tidak memberikan Firda apa pun sama sekali. Mungkin ini yang dibilang semua orang bahwa kalau kita cinta, kita dibutakan oleh alasan.
Firda tidak tahu kenapa ia masih saja mau di samping Willi. Meskipun laki-laki itu selama ini terlihat lebih menikmati dunianya sendiri.
"Di dunia ini dari sekian banyak laki-laki, aku adalah satu diantaranya yang sulit mengungkapkan perasaan sayang aku ke kamu." Tiba-tiba terdengar parau namun lembut menyapu indra pendengarannya. Willi berbicara tulus dari hati. Dan tunggu, laki-laki itu ternyata bisa berkata cukup panjang.
Dalam diam Firda membalas, 'Kuharap kamu berubah, Wil. Jangan pernah membuat aku berpikir bahwa kamu nggak sayang sama aku. Jangan pernah.'
Penuh kelembutan Willi mengusap rambut Firda. Hal ini jarang terjadi. Bagai momen langkah teruntuk Firda.
Perlahan Willi melepas pelukannya. Ia lantas menatap lekat-lekat kedua manik mata indah yang juga menatapnya penuh harap.
"Pokoknya kamu nggak boleh sedih. Apa lagi nangis kayak gini. Nggak suka aku lihatnya. Jikapun kamu mau nangis, please jangan nangis di depan aku," tutur Willi seraya menyeka air mata Firda dengan ibu jarinya.
Jantung Firda berdegup kencang. Desiran hangat menyeruak begitu saja mendatangkan rona merah di pipinya. Seketika pula sedih berganti senang.
Firda mengarahkan jari kelingkingnya. Ingin membuat suatu kesepakatan. "Tapi kamu harus janji. Kalau kamu masih dingin kayak es balok, jangan salahkan aku jika suatu hari nanti aku membawa api agar kamu mencair." Dalam ucapannya Firda tak beralih menghunus mata hazel Willi.
Dan Willi langsung mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Firda. Tentu saja seulas senyuman langkah itu mengiringi.
"Aku janji, Sayang," lirih Willi, nyaris tak terdengar.
To Be Continued.