"Udah buruan. Mau ngapain ke sini? Ini udah jadwalnya aku kencan sama Yayan Budiman. Jelas dia lebih menyenangkan daripada kamu." Firda berkata kesal, mengibas rambutnya ke belakang.
Dan lagi Willi terdiam lama. Sampai pada akahirnya deru napas kasar keluar dari mulutnya begitu saja. Tampak sekali jika Willi kebingungan. Seringkali menggaruk pelipisnya dengan telunjuknya.
Sayang sekali Firda tidak mengetahui sebenarnya Willi ini maunya apa. Jikapun Firda tahu, mungkin, atau bisa jadi ia akan memilih diam dan mengubur dalam-dalam perasaan sakitnya terhadap Willi. Saking ia begitu mencintai manusia es balok itu.
"Aku ...," gumam Willi pelan.
Kedua alis Firda bertaut. Penasaran kalimat apa yang akan Willi ucapkan.
"Aku masih belum yakin mau sekolah di Inggris," lanjut Willi tanpa menatap Firda. Telinga Firda menangkap jelas setiap kata tersirat. Apa lagi suara lesu Willi seolah menimbulkan rasa iba Firda terhadap lelaki itu.
Sekuat tenaga Firda menenangkan diri. Menahan agar ia tidak menampakkan kekecewaan meski Willi pun tahu dirinya kecewa.
Hah! Persetan! Ingin sekali Firda mencekik Willi karena tidak melibatkan Firda sama sekali di masa depannya. Tapi Firda mencoba menguasai keadaan supaya ia bisa tetap tenang dan tidak emosi karena lelaki tampan itu masih merajai hatinya setiap hari.
"Kok kamu nggak bilang sama sekali sih ke aku, Wil? Nggak mungkin kan tiba-tiba ide sekolah di Inggris baru muncul kemarin sore," tanya Firda, serius.
"Aku tau kamu nggak se-absurd itu," sambungnya tak lama kemudian.
"Itu Mama yang mau. Aku belum bilang iya, Fir. Aku nggak mau ribetin kamu sama hal yang belum pasti." Willi menghadap ke arah Firda. "Besok cuma lihat-lihat sekolahnya aja."
Firda menghela napas panjang. Kedua tangannya mengusap wajah. Jelas ia telah kehilangan kata-kata. Firda tidak tahu lagi harus bicara apa, menanggapi seperti apa.
"Wil, sebenarnya kita ngapain sih? Aku nggak ngerti. Kalau kamu cuma mau pacar-pacaran kayak anak SMP aku males, Wil. Nggak usah ajak aku masuk ke hidup kamu kalau kamu aja nggak pengen aku untuk terus ada di dalam sana."
Kelopak mata Firda menghangat. Menandakan air bah sebentar lagi akan meluap dari matanya. Jangan tanya mengapa Firda secengeng ini sekarang. Ia lelah dicuekin setiap hari oleh orang yang ia sayang cukup membuat sakit hati berkali-akali.
"Ngomong apaan sih." Giliran Willi berdecak kesal mendengar pernyataan darinya. Seperti biasa, kalau sudah mulai panik sendiri. Willi menatap Firda tajam.
"Siapa juga yang pacar-pacaran kayak anak SMP?" tantang Willi.
"Ya, terus kenapa nggak pernah cerita sih soal hidup kamu? Aku nggak masalah kamu gak pernah nanya how's my day, how am i feelings, udah makan apa belum, dan segela tetek bengek nggak penting lainnya." Suara Firda mulai terdengar parau. Bibirnya bergetar oleh perkataannya.
"Tapi kalau kamu nggak involve atau anywhere on your future tuh maksudnya gimana sih? Aku gunanya apa sih di hidup kamu, Wil, kalau kamu peduli sama hidup aku aja nggak dan kamu nggak berniat membagi kehidupan kamu sedikit aja ke aku?"
Alih-alih menjawab Willi justru terdiam.
Melihat tingkahnya yang biasa-biasa saja padahal sudah berhari-hari tanpa kabar sungguh memancing emosi. Sedangkan Firda kangen sendirian layak orang bertepuk sebelah tangan.
Tak kuasa Firda mengalihkan pandangannya. Ia sengaja menyembunyikan wajah ke samping kanan. Tentu saja agar air mata yang sialan meluncur tak terlihat oleh Willi.
"Kamu pengen ninggalin aku gitu aja, kan? Shit, aku benar-benar nggak dianggap dari dulu," keluhnya. Air mata sudah berkali-kali diseka, namun masih kembali berderai dan membuat Firda kesal harus bolak-balik mengusapnya dengan punggung tangannya.
"Sumpah, nggak ngerti aku. Sebenarnya aku salah apa sampai harus diginiin. Perasaan aku gak pernah banyak nuntut atau menyusahkan kamu. Kalau kamu nggak butuh aku ya udah, Wil. Bilang aja. Jangan pake cara gini segala."
Willi mengusap air wajah penuh frustrasi. "Kamu nggak salah apa-apa," sahut Willi terdengar pilu. "Dan aku nggak ada niat buat ninggalin kamu, Fir, ya ampun."
Entah mengapa Firda seolah luluh hanya mendengar ucapan Willi. Terasa jika dirinya memang penting di hidup Willi.
"Masa depan aku tuh di sini sama kamu, bukan di Inggris."
Tiba-tiba Firda merasa tangan kirinya direngkuh dan digenggam lembut oleh Willi. Jari-jemari Willi terasa mengisi ruang jemarinya.
Tentu, Firda sedikit terkejut merasakan gestur tersebut. Jarang sekali Willi melakukan hal manis atau romantis. Boro-boro ciuman, tangan Firda aja udah sampai berdebu saking tidak pernah Willi gandeng.
"Maaf, Fir," ucapnya pelan.
Firda menoleh ke samping, pada lelaki bermata hazel yang rupanya sudah tak memandangi sepatu hitam yang dari tadi menjadi fokusnya.
Dirasakannya oleh Firda tatapan serius Willi namun menunjukkan kehangatan dari lelaki itu. Raut wajah bersalah tampak jelas terukir di wajah Willi.
"Jangan nangis dong."
Ucapan Willi cukup membuat Firda kesal, sebal, jengkel bukan main. Masih sempatnya Willi berkata seperti itu setelah banyak hal buruk ia tancapkan di hatinya.
Ya, Firda tahu betul bahwa Willi selalu mengabaikannya. Tak pernah memperhatikan Firda. Membirkan Firda seorang diri berjuang menjaga hubungan ini seorang diri. Tapi dengan bodohnya Firda masih saja ingin bersama manusia setengah arca itu. ingin Willi jadi miliknya selamanya. Berharap tanpa henti bahwa suatu hari nanti. Willi menyatakan cintanya yang ternyata sebesar cinta Firda padanya.
Willi tidak pernah mengatakan kata romantis. Katakanlah sekadar berkata sayang. Firda tak pernah tahu apa yang Willi rasakan. Namun sikap tidak pedulinya mampu membuat Firda mencintai Willi tanpa mengetahui satu pun alasan mengapa ia memiliki rasa itu.
Dan untuk kesekian kalinya Firda menitikkan air mata. Ia kalah. Sebara pun besar marahnya , ia selalu kembali luluh.
Dukun Willi pasti sabuk hitam.
"Kamu berangkat kapan?" tanya Firda setelah hatinya sedikit tenang.
Suara angin mengambil alih sejenak keadaan selama Willi membungkam.
"Lusa," balas Willi tak lama kemudian.
Jantung Firda rasanya mau copot.
'Lusa?' gumam Firda tak ia suarakan.
Kepala menggeleng sambil tertawa miris. Sulit memang percaya pada kondisi sekarang. Bisa-bisanya Willi berangkat lusa dan baru mengatakan ke Firda hari ini?
Embun sebesar kristal sulit diajak kompromi. Terus menetes deras tanpa jeda. Serasa sebentar lagi akan terbentuk bendungan dalam yang mungkin akan menenggelamkan Willi supaya lelaki itu tersadar.
"Diudahin aja, ah, Wil." Akhirnya Firda berani juga menyuarakan keinginannya tersebut. Walaupun lidah terasa kelu. Tetap ia tak tahan bergelut dengan sikap tak acuh Willi.
Willi terdiam mendengar ucapan Firda. Terdengar seperti sebuah permintaan. Entah apa yang akan Willi katakan, Firda sangat menunggu. Mungkinkah Willi mengabulkan permintaan Firda? Atau justru laki-laki es balok itu akan mencair?
To Be Continued.