Menghela napas panjang, Firda mengalihkan pandangan cepat-cepat dari lelaki yang sudah Firda kencani selama hampir dua tahun belakangan ini.
Firda tak ingin kepergok memandanginya seperti orang mupeng. Sudah cukup harga diri Firda jatuh setiap hari karena sering menghubunginya terlebih dahulu. Mulai dua hari yang lalu, Firda sudah menetapkan hatinya. Firda tak akan menghubunginya hingga dia yang mencari Firda.
Huh!
"Santuy banget jadi laki-laki. Kayak gak ada salah, nggak ada beban, nggak ada pacar. The best emang laki-laki idaman nan kebanggaan angkatan kita satu itu." Okta yang biasanya adem ayem tak bisa tahan untuk tidak ikut nyinyir.
Walaupun Okta menatap tajam, nyaris melotot sempurna ke arah di mana laki-laki itu sedang berdiri bersandar dengan kerennya, berkumpul dan tertawa bersama teman-temannya. Firda menolak untuk tergoda kembali ke arahnya.
Meskipun sebenarnya Firda rindu dan berhubung mulai besok Firda sudah memasuki libur semester genap, kemungkinan Firda akan semakin jarang bertemu dan akan semakin rindu.
Shit.
"Lo kayak pacaran sama Siri, Fir! Mesti dipanggil duluan!" Spontan Firda dan Diva tertawa karena ucapan berapi-api Okta.
"Sumpah deh, Fir. Selama setahun ini sebenarnya kalian komunikasinya kayak gimana?" tanya Diva penasaran.
"Ya, gitu deh. Lebih mirip wartawan kayak lagi wawancarain narasumber gitu gue," jawab Firda seraya menggeleng miris. "Gue sampe pada tahap ngenes karena bilang sama dia sekali-kali gue pengen jadi narasumbernya."
Sontak Okta dan Diva terngakak di tempatnya. "Kenapa sih lo dulu terima dia jadi pacar? Kan udah tau semua kalo Willi setengah arca."
"Kurang dzikir kali gue. Jadi kena guna-guna deh." Firda mendesah pasrah sambil mengangkat bahu.
"Terus udah hari ketiga nih nggak berhubungan sama sekali?" Diva mencoba mengonfirmasi sekali lagi.
"Hm. Bodo amat lah. Kita tunggu aja dia cariin gue apa nggak." Firda berdecak sebal membayangkan kemungkinan Willi tidak mencarinya sama sekali. "Kalau nggak juga, gue cari pacar baru!" ucap Firda, menggebrak meja kantin dengan kesal.
Diva dan Okta semakin tertawa.
"Gue jamin dia nangis darah sih."
"Siapa? Willi?"
"Yuhuu." Diva mengulas cengiran lalu menghabiskan teh botol di hadapannya.
Firda mendengus. "Ngarep."
Okta dan Diva saling bertatapan dengan tatapan yang tak Firda mengerti. Keduanya terlihat sedikit menahan tawa namun tak kunjung berucap apa-apa.
Firda melirik sebentar ke arah laki-laki berkaki panjang, dada bidang, berambut cepak tipis dengan rahang yang tegas, juga menggunakan kaos putih dipadukan kemeja flanel tidak dikancing. Dia berdiri tak jauh dari meja Firda. Memperhatikan tawanya sangat membuat Firda bertambah miris karena nyatanya Firda jatuh cinta setengah mati pada manusia dingin. Manusia yang telah mengajak Firda berpacaran dengan cara paling aneh selama hidup Firda.
"Ada juga gue kali yang nangis darah." Bibir Firda mulai manyun dan konstan mewek. "Perlu di rukiyah nggak sih gue?" Suara mewek Firda semakin jadi walaupun mata sama sekali tak berkaca-kaca.
"Aduh bucin banget sih! Nggak cocok, Fir! Cari yang lain aja, banyak yang mau kok," kata Okta sambil memaksa Firda untuk diam.
"Terus ngapain dong gue dua tahun sama dia? Jagain jodoh orang?" Firda semakin manyun. Kesal sendiri dibuatnya.
"Ya, nggak semua yang datang dalam hidup kita tuh ditakdirkan untuk menetap. Kadang emang garis hidupnya Cuma ditakdirkan untuk sekedar mampir," sahut Diva sok bijak yang langsung disambut melongo oleh Firda dan Okta. "Udeh deh, nggak usah alay. Kalau gak betah, putusin aja! Se-simple itu loh."
Firda memasamkan wajah. "Tapi kan gue sayang."
"Ya udah. Kalo sayang, terima apa adanya. Gampang, kan?" Diva dan Okta bersamaan memutar bola mata mereka.
"Gue tes ya." Diva tersenyum jahat seraya mengeluarkan ponselnya. "Kita coba."
"Coba apaan?!" Mata Firda membelalak menatap Diva yang sedang mengetik dengan cepat di ponselnya.
"Bilang ke Willi kalo lo mau cari pacar baru." Diva terkekeh, sedang tangan masih terus mengetik dan kemudian kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Done! Gue bilang ke dia kalo lo lagi sering ditelpon sama cowok dari kampus lain."
Firda memutar bola matanya jengah. "Jangan bikin gue tambah merona dong dengan ngeliat dia slow aja pas habis baca whatsapp lo."
Diva dan Okta tiba-tiba melotot menatap ke arah laki-laki yang membelakangi mereka. Melihat ekspresi mereka berubah tiba-tiba, membuat Firda refleks ingin menoleh ke arah yang sama.
Namun secepat kilat Diva dan Okta menghalangi Firda untuk menoleh. Mereka malah mengambil ponsel Okta dia atas meja dan memaksa Firda memegangnya. Meletakkan benda pipih itu di telinga seakan dirinya sedang menelpon.
"Pura-pura ketawa cepetan!" perintah Diva dengan galak.
Lalu dengan bodohnya Firda menuruti ucapan temannya itu. Firda tertawa seperti orang gila. Seakan sedang ditelpon oleh seseorang yang sampai membuat dia bahagia luar biasa.
"Hahaha ... ini ada apa sih? Hahaha ... sampai kapan gue mesti kayak orang gila gini?" tanya Firda pada kedua sahabatnya itu sambil tertawa lepas.
"Sampe dia kelar melototin lo," jawab Okta, ikut tertawa.
Firda mengernyit bingung. "Hihihihi ... melototin gimana?" Firda terus bertanya disela tawa palsunya.
"Udah, Fir, stop ketawa. Lo kayak kunti bengek!" ejek Diva kemudian tergelak lagi. "Udah kelar sandiwara kita."
Bibir Firda mengerucut kecil. "Apaan sih?"
"Dia panik. Habis baca whatsapp gue. Langsung noleh ke sini. Matanya kayak jack-jack pas lihat lo lagi nelpon."
Dahi Firda berkerut-kerut tak percaya. 'Masa sih?' batinya.
Mata Firda melihat beberapa teman jurusannya yang sedang duduk di kantin berdiri dan berjalan masuk ke gedun. Diva dan Okta juga menoleh bingung menyaksikan mereka semua serentak beranjak duduk lalu pergi.
"Ki, kenapa?" Diva berteriak memanggil salah satu teman angkatan mereka. Kebetulan hendak masuk ke gedung.
"Nilai udah ditempel," balas Kiki. Tak lama itu dia pergi begitu saja meninggalkan ketiganya.
"Ih, mampus! Deg-degan gue. Ya Allah, semoga gue nggak remed." Diva berucap penuh harap. Kedua tangan mengepal di depan wajah lalu berdiri dari duduknya.
"Telat lu, nyet, doanya," goda Okta, yang ikut berdiri.
Firda hanya tertawa melihat tingkah mereka. Dia pun juga ikut berdiri dan mengalungkan sling bag.
Saat Firda sedang beranjak, tidak sengaja pandangannya bertemu pada dua manik mata tak asing untuknya. Willi. Lelaki itu baru saja menoleh ke arah Firda berdiri.
Jantung Firda spontan berdetak kencang. Tapi Firda berusaha mengabaikannya, terus berjalan bersama Diva dan Okta ke dalam gedung.
Firda yakin tatapannya tidak sengaja bertemu hanya karena dia juga menyadari semua orang pada beranjak masuk ke gedung. Dari sudut mata Firda pun dapat melihat Willi juga tak acuh. Lelaki itu asyik bersama teman-temannya beranjak bergerak menuju gedung.
To Be Continued.