Aku terbangun oleh suara Yubi yang mencakar kursi sofa.
Aku berbalik, memperhatikan Yubi sedang mengigit selimutku yang menjuntai ke lantai.
Tubuhku terasa lesu. Sofa memang bukan pilihan baik untuk tidur berkualitas.
Tadi malam aku sengaja menghabiskan waktu bermain laptop sambil menunggu Kenta tertidur. Gadis itu belajar hampir tengah malam, terpaksa, aku menunggunya hingga selesai.
Jika saja hari ini bukan senin, aku berharap bisa kembali tidur.
Bukan tanpa alasan aku menunggu Kenta selesai belajar. Pasalnya, kejadian di kamar mandi kemarin masih menghantuiku. Membayangkan tidur satu ranjang dengan Kenta, membuat kau gelisah. Walau Kenta menganggap dirinya adalah lelaki, namun sejatinya dia tetaplah seorang gadis di benakku.
Sehingga, memutuskan untuk tidur di sofa, meski harus menyiksa seluruh tubuhku.
Aku menjuntaikan kaki, seraya menahan dahi dan menunduk. "Otakku telah terkontaminasi. Walau bagaimana pun juga, otak ini memiliki kapasitas memori lebih tinggi dari kebanyakan orang, sehingga cepat menyimpan apa saja. Apalagi aku seorang laki-laki."
Suara napas berembus, itu terdengar mirip mengorok. Aku mengangkat wajah, menghadap posisi Kenta yang masih tertidur pulas di ranjangku.
Selimut kusut oleh kakinya yang memeluk selimut. Air liurnya mengotori bantal gulingku.
[ Menjijikkan! ]
[ Pemandangan pagi yang membuat sakit mata! ]
Menilik sekujur tubuhnya. Mungkin ini yang disebut keterlambatan pertumbuhan.
"Seharusnya, gadis seusia dia, sudah memiliki tonjolan payudara yang lumaian. Tetapi, dadanya hanya terlihat seperti seorang pria yang punya otot. Secara keseluruhan, ciri umum seorang wanita benar-benar tidak muncul. Siapa saja bisa tertipu oleh penampilannya."
Aku pada Yubi yang tadi bikin ribut. Kucing itu menoleh padaku dengan mata besarnya. Aku beranjak mendekat dan mengelus sebentar perut Yubi. Kubuka pintu kamar mandi dan membiarkan kucing itu masuk untuk buang air kecil.
Sudah berseragam rapi, cahaya matahari yang terpancar membuat wajahku terasa terang dan segar. Aku berjongkok di depan tanaman bunga lili putih di dekat pagar rumah. Seekor kupu-kupu sedang menyedot madu dari putik bunganya.
Kalau sudah di lingkungan sekolah, bukan kupu-kupu yang menggerumbuniku, melainkan gadis-gadis genit. Situasi itu tak serta merta hanya dirasakan olehku. Masih ada sekitar 30 lelaki tampan yang selalu dikagumi gadis-gadis.
Ada Matsushita yang selalu diantar dengan mobil mewah, ada Ryuzaki salah satu pemain basket. Nobuyama, Sasuke, dan Jay dari kelas tiga.
Di lingkungan sekolahku, berlaku sebuah herarki ketampanan, yang tersusun berdasarkan peringkat rangking terpopuler.
Tahun ini, aku berada di ranking sepuluh besar dari anak-anak tampan seantero sekolah. Aku tak pernah bertanya dari mana awalnya herarki itu terbentuk, yang kutahu itu sudah berjalan dari tiga priode alumni.
Anak-anak dari sekolah lain dapat melihat daftar anak-anak tampan melalui website resmi sekolah kami. Kadang kala ada tawaran dari perusahaan yang sedang merekrut bintang-bintang muda, menjadi model majalah sampai iklan produk. Di sekolahk, ada lima siswa yang menjadi traine dalam agensi musik.
Aku dan tiga siswa lain, pernah mendapatkan tawaran casting, tetapi atas dasar perjanjian dengan ayah, hal itu tak bisa dilakukan.
Aku hanya menjadi model pada majalah mingguan dan subjek seni rupa di akademi seni Sapporo.
Aku berdiri di depan pagar rumah sudah lebih dari 10 menit. Gadis Sakit Mental itu belum juga keluar.
Awalnya, aku tak bermaksud menunggu Kenta untuk berangkat sekolah bersama, akan tetapi aku tak dapat meninggalkan gadis itu begitu saja.
Apalagi ada beberapa orang yang tertangkap kamera sedang memantau rumah ini, aku takut, kalau-kalau mereka itu adalah penculik atau wartawan.
"Kau tidak bisa keluar! Jaga rumah sampai kami kembali, Yubi! Sana pergi! Bermainlah di halaman belakang!" Suara Kenta terdengar dari ambang pintu.
Buru-buru aku berjalan ke seberang, lalu berlagak berangkat sekolah.
"Tunggu, Masio! Ayo berangkat bersama!"
Kenta menghampiriku. Kami berjalan berdampingan.
Kumasukkan tangan ke saku, lalu melirik pada Kenta. "Rumah sudah dikunci? Pintu belakang bagaimana?"
"Sudah semua. Terima kasih atas bantuan tadi malam, kupikir kau sebodoh yang diceritakan Fujia. Ternyata, kau paham pelajaran matematika lebih dari yang kubayangkan." Ketika berbicara, Gadis pengidap Amnesia ini, mendongak padaku.
Aku meluruskan mata ke depan, lalu berkata, "Tentu saja aku tahu semua jawabannya, itu sudah dipelajari tiga bulan yang lalu. Aku hanya tidak mau ayah ... ah, maksudku, paman Rai mengomel karena tidak mengajarimu."
"Kenapa tidak ikut Bimbel? Di kelas kita, hampir seluruh anak-anak sibuk dengan kelas tambahan. Sejauh yang kutahu, kau juga tak terlibat kegiatan ekstrakulikuler. Apa paman Rai tidak memberi izin?"
"Hanya tidak tertarik. Sepanjang hari sekolah sudah cukup melelahkan."
Kami sampai pada jalan menanjak seperti gunung. Roda sepeda dari arah belakang terdengar gesit. Aku menoleh.
Rupanya, seorang tukang koran meluncur dengan sepeda ke tengah-tengah kami.
Kutarik lengan Kenta untuk mengikutiku ke pinggir jalan dan mendekap kepalanya.
Kami sempat terdiam, melihat si tukang Koran berlalu begitu saja. Aku menatap penuh kejengkelan.
[ Bahaya sekali. Begitu luasnya jalan ini. Kenapa orang itu mengambil arah yang salah? ]
Aku tersentak, saat Kenta mendorongku. Aku berdeham dan menjaga jarak dari gadis itu.
"Sialan si tukang koran itu! Kurasa di agak rabun. Kalau sepedanya menabrak, kita bisa terguling," ucapku, kesal.
"Ah, lupakan kejadian itu! Dia mungkin tidak melihat karena berada di puncak."
"So naif! Dasar Bocah! Diam-diam kau juga mengumpat, kan?'' Aku menebak tanpa melihat mukanya.
"Lagi-lagi kau memanggilku bocah? Kita bukan anak-anak lagi. Usia 18, dewasa secara nasional. Nampa bahkan diperbolehkan, bayarannya hanya beberapa ribu Yen per jam."
Kakiku mendadak seperti batu. Kenta mendahuluiku dengan wajah congkak. "Aku dan kau punya umur yang setara. Bahkan pria umur segini sudah memiliki alat reproduksi yang bisa hasilin anak, lho! Bocah apanya!" Kenta berhenti, dan berbalik padaku.
[ Na-nampa, dia ... menyebut Nampa! ]
[ Kenapa dia terpikir tentang bimbingan seks? Nampa yang kutahu, selain bimbingan juga ada prakteknya. ]
Aku mendekatinya untuk menggali siapa dalang di balik ucapannya. "Kenapa mendadak, pembahasan ini mengarah ke sana? Kau ini ... pria macan ... apa? Sudah belajar jadi brandal?"
"Dengarkan aku dulu!" Dia memaksaku untuk berhenti menyela. "Usia 18 tahun sudah tumbuh bulu di alat reproduksi, bukan?"
Aku memalingkan wajah, saat tatapannya menuntut dukungan penuh. [ Kenapa dibahas se detail ini? ]
"Jika kau ingin, kita bisa saling menunjukkan. Kalau kau sebut aku bocah, mereka akan mengira aku masih anak-anak!"
[ Me-menunjukkan! Bisa-bisanya aku mendengar kata-kata mesum dari mulut seorang gadis. ]
Aku mendengus seraya melebarkan langkah, mendahuluinya. "Lama-lama telingaku bengkak berbicara dengannya. Bodohnya, lebih bodoh dari Fujia! Dasar Sakit Mental!" aku bergumam, kesal.
..............
Kenta setengah berlari lalu kembali berjalan di sampingku. ''Fujia akan setuju apa yang kukatakan dan dia pasti dengan semangat melakukannya ... mmmmkshsjsj!''
Aku berbalik, dan menutup mulut Kenta. ''Melakukan apa? Mengingat kegilaan kalian sama ratanya, kurasa itu rencana yang buruk. Otakku saja benar-benar tak ingin membayangkannya.''
''Seharusnya aku melihatmu telanjang waktu itu, sehingga siapa yang pantas disebut bocah akan ketahuan dari pertumbuhan rambut itu'' Kenta melanjutkan.
''Parah sekali. Bagaimana otaknya memikirkan hal menjijikkan begini? Dia pasti sudah terpengaruh dengan Fujia. Apa saja yang sudah mereka bicarakan selama ini? Akan lebih baik jika dia tidak bertemu Fujia hari ini!'' Aku berhenti dan menoleh pada Kenta, "Ah, tadi aku lupa mematikan keran air di dapur.''
''Hah?'' Kenta melongo.
''Kembali sana dan matikan untukku!" Aku mendesaknya.
Ia mendengus lalu berkata, ''Matikan saja sendiri, kau yang lupa!''
Aku kembali berjalan, meninggalkannya. ''Kalau tidak mau, sebagai gantinya malam ini, kandang Yubi yang belum dibersihkan, kau yang akan—''
''Dasar Masio berhati Iblis!'' Demi untuk menghindari hal itu, Kenta berlari menuju rumah sambil mengumpat padaku.
Aku berbalik dan melanjutkan perjalanan ke sekolah. ''Semoga saja dia lupa mengajak Fujia untuk melakukan itu.''