Selesai mengikuti kelas renang, waktu istirahat pun berlangsung. Mereka duduk di tempat biasa, pada kursi besi nan dingin di bawah pohon besar nan rindang. Dari pada di tempat lain, di sana lebih sejuk, sehingga nyaman sekali untuk bersantai.
Matahari begitu terik hari ini, karena memasuki pertengahan musim panas. Angin berderu kencang, mengakibatkan kelopak-kelopak kering bunga westeria berjatuhan di sekitar mereka. Di kursi besi, nan dinginnya menusuk kulit, Masio duduk di tengah, di kiri dan kanannya ada Fujia yang duduk sambil menaikkan satu kaki dan Kenta yang bersandar. Setiap kali angin berembus, rambut mereka tersapu, berantakan.
Mereka bertiga asyik makan dari bekal makanan yang diberikan gadis-gadis di kelas lain.
"Di jendela itu,'' Fujia menunjuk pada jendela di lantai dua. "Dari beberapa gadis yang sedang menyapamu, siapa yang paling cantik?''
Setiap kali sedang serius, Masio selalu menekuk wajahnya. Dipandangnya satu demi satu gadis-gadis yang berada di sana. Tetapi ia tak bisa memutuskan. "Kau saja, aku akan memilih setelahmu.''
"Barisan ke empat sebelah kiri, dia punya senyum yang manis. Kudengar, dia pernah ikut pemotretan majalah,'' ujar Fujia.
"Ada apa ini? Kalian terlihat serius.'' Erika yang baru saja bergabung di kursi besi itu, mengikuti arah mata Fujia.
"Sedang memilih kriteria gadis idaman," jawab Fujia, pipinya gembul karena berbicara selagi makan.
Erika melirik pada Masio. Setelah diperhatikannya, ia merasa tak senang Masio menunjukkan perhatian terhadap para gadis genit itu.
"Kalau aku ...,'' Kenta mengelus dagu seraya menatap pada gadis-gadis itu. "Yang penting dia baik.''
"Ouhh, aku satu pemikiran denganmu, Kenta," Fujia menimpali.
"Kebanyakan laki-laki tidak memilih berdasarkan sikapnya," sergah Masio. ''Laki-laki cenderung mempertimbangkan penampilan. Memang tidak semua orang begitu, tetapi jika bertemu seorang wanita, hal yang selalu terpikirkan adalah wajahnya.''
"Tak usah menunjuk mereka satu persatu. Pikirkan saja apa kriteriamu?'' tanya Erika, ia penasaran sekali.
"Aku?" Masio melawan tatapan Erika. "Masih belum menemukan sesuai kriteria. Itu tidak mudah.''
Gadis itu langsung duduk dengan lemas. "Ah, kali ini kau harus jawab!''
Masio menarik napas panjang lalu berucap dengan cepat, ''Otak masih waras, tidak perlu terlalu pintar, prestasi tidak penting tapi pandai mencari solusi, rajin menabung, pandai menghemat uang. Untuk fisik, rambut cokelat bergelombang, tidak kurus, kaki berbulu, pinggul besar, dan yang pasti harus, Bra-nya high cup!'' Diakhir ucapannya, ia menyentuh dadanya.
Brusss!!
''Ukhuk! Ukhuk!''
Fujia dan Kenta tersedak. Kenta menyemburkan nasi pada wajah Masio sedangkan Fujia menyemburkan air.
Erika menutup mulutnya, kaget, memperhatikan senyum Masio yang menghilang.
''Aack! Menjijikkan sekali!'' teriak Erika spontan lalu bangkit dari kursi.
Butiran-butiran nasi menempel di wajah Masio. Sebagian kecil terselip di ujung bibir, serta lekuk mata. Sedangkan, air menetes hingga membasahi dadanya.
Tangan Masio gemetaran menyentuh wajahnya yang penuh air dan nasi. Siapa yang mengira kalau dia menjawab dengan jujur akan mendapatkan kejutan dari dua bocah nakal itu.
"Kalau tahu begini, aku tak akan duduk di tengah-tengah kalian. Ah!"
Melihat gelagat Masio yang akan meledak, Kenta dan Fujia meletakkan kotak makanan, bersiap pergi. Namun, mereka kalah cepat. Kedua leher mereka lagi-lagi dikunci Masio dengan kedua lengan.
''Jelaskan ... padaku, apa salahku?'' tanya Masio, nada bicaranya mengandung kegeraman yang terus mengental.
Dua bocah nakal itu lekas menarik lengan Masio dan melarikan diri.
Melihat kelakukan mereka, amarahnya meledak. Masio mengejar dengan gigih.
Ketiganya berlari di taman, ditertawakan oleh beberapa siswa yang berada di sana.
Masio mengejar Kenta dan tanpa sadar Fujia mengejar Masio, begitulah situasinya. Erika tertawa terbahak-bahak, suaranya paling nyaring di antara penonton lain.
''Apa salahku? Kalian menuntut aku jujur dan ini yang kudapatkan, hah. Kalian harus mendapatkan balasannya!'' geram Masio.
''Bukan begitu! Aku menghormati jawabanmu. Tetapi itu hanya ketidaksengajaan. Jawabanmu terlalu terang-terangan!'' sela Fujia, mencoba membuat situasi dapat dimaklumi.
Percuma saja, Masio sudah berapi-api hendak memberi mereka balasan. Masio hampir mendapatkan Kenta, tetapi gerakannya tersendat begitu Fujia membekapnya duluan dari belakang.
Sembari mengunci gerakan Masio, Fujia menyuruh Kenta mengambil air minum untuk membersihkan wajah Masio.
Kenta buru-buru merampas sebotol air dari tangan Erika dan berlari membawanya.
Masio berontak, wajahnya tampak sangar dan memerah. Karena takut dengan tempramen Masio yang sekarang sedang berapi-api, maka air itu disemburkan Kenta seluruhnya pada rambut dan wajah Masio, sampai-sampai masuk ke hidung.
"Celana! Kenapa kau lakukan itu, Masio jadi ...'' perkataan Fujia terhenti saat melihat kondisi Masio.
Masio tersedak, perlawanannya melemah. Memanfaatkan situasi itu, Fujia lekas melepas punggung dan lengan Masio, lalu berbalik melarikan diri dengan terbirit-birit.
Di bawah pohon nan rindang, Masio duduk menenangkan diri. Di sampingnya, ada Erika membantu mengeringkan wajah Masio dengan tisu.
"Mereka hanya tak sengaja. Jangan biarkan kemarahan mu jadi tontonan orang-orang.'' Erika mencoba menenangkan Masio.
Karena terpengaruhamarah, Masio menatap tajam pada Erika. Mendadak mimik gadis itu cemberut.
''Apa aku salah bicara?'' tanya Erika.
Masio berkedip-kedip, menyadari sikapnya. Diambilnya tisu dari tangan Erika lalu berkata, "Ah, tidak aku tidak bermaksud marah padamu. Beritahu mereka untuk berhenti membuat orang jengkel!"
Sebelum memasuki kelas, Masio mengganti seragam dengan kaus olahraga yang diambilnya di loker. Ketika itu, sehelai kertas, tertulis permintaan maaf yang hanya ditempel dengan selotip bekas. Tampak ditulis dengan terburu-buru. Masio mengenal tulisan itu. Dia meremas kertas dan membuangkan.
"Gadis Sakit Mental itu harus mengatakan langsung padaku. Dengan wajah yang bisa dibaca. Bukan cara pengecut seperti ini.''
Saat pulang sekolah, ada sebuah mobil hitam besar di seberang rumah Masio. Ketika diperhatikannya, kaca mobil itu langsung ditutup. Samar-samar, dua orang di depan kemudi menatap padanya.
Masio masuk ke rumah dan mengunci pintu, di depan jendela, ia menonton rekaman cctv melaluin Smartphone. Dari rekaman cctv beberapa menit sebelumnya, mobil hitam itu terparkir cukup lama dan salah seorang mendekati pagar rumahnya.
Dari celah gorden jendela, Masio mengamati bahwa kaca mobil itu diturunkan lagi. Tampak, orang di dalam mobil mengenakan kaca mata hitam beserta topi. Kecemasan yang tumbuh akibat situasi itu mendorong Masio menghubungi sang ayah, Rai.
[ "Ada apa, Masio? Rindu ayah?" ]
''Ada tindakan mencurigakan di depan rumah kita. Mereka menggunakan mobil hitam. Siapa mereka, ayah?'' Masio bertanya tanpa basa-basi.
[ "Kenapa kau tanyakan padaku?'" ] Ayahnya terdengar bingung.
"Mereka tak mungkin mencariku! Pasti mereka mencarimu."
[ "Apa orangnya besar? Berkacamata? Mungkin rentenir yang menagih hutang Tuan Lee," ] duga sang ayah. ''Siapa saja yang terlihat aneh mendekati rumah kita, abaikan saja. Kau harus fokus pada Yunna.''
Masio berdecak. "Kapan kau selesaikan formulanya? Gadis itu mulai menimbulkan banyak masalah!''
[ "Jangan terlalu banyak berharap dengan Formula, kau harus menunjukkan padanya kehidupan perempuan, dengan begitu, baru formulaku akan berhasil!'' ]
Masio mengerutkan keningnya. ''Kenapa aku merasa aku formula ayah! Dari kemarin kau selalu bilang bahwa formulanya tidak berarti apa-apa.''
[ "Ai, bicara apa kau ini. Aku sedang sibuk melakukan penelitian untuk Yunna. Pokoknya, kau bantu mengubah arah berpikirnya dulu." ]
Telepon mendadak diputus ketika Kenta datang. Gadis itu terlihat masih takut menatapnya.