Chereads / YOU, ME, DEATH / Chapter 20 - Berbelanja

Chapter 20 - Berbelanja

Setelah mendapatkan panggilan telepon dari Erika, aku berlari keluar rumah. Memakai kemeja putih. Rambut yang belum sempat kutata, kututup dengan topi demin. Ini akibatnya, kalau terlalu fokus pada Kenta, sampai-sampai melupakan janji yang kusepakati sendiri.

Begitu sudah dekat dengan pertigaan, aku berbelok menuju halte Bus. Mengatur napas pelan-pelan agar tidak terkesan sedang berlari. Bersama beberapa orang, Erika duduk di kursi. Ia mengutak-atik smartphone-nya.

Tiba-tiba smartphone-ku bergetar di kantong celana. Aku mengangkat panggilannya dan berjalan makin pelan. ''Ada apa, Erika?''

''Kau dimana? Aku sudah menunggu 15 menit. Bus pertama sudah berangkat lima menit yang lalu. Kau jadi atau tidak menemani aku berbelanja?'' Erika mengeluh, dan wajahnya terlihat suntuk.

"Hari ini Erika berdandan. Dia cukup cantik." Aku terkesiap kemudian lekas menjauhkan Smartphone-ku. [ Astaga! Apa dia mendengar yang kugumamkan barukan? ]

Kudekatkan kembali Smartphone. Beberapa saat, tak ada tanggapan dari Erika. Aku menunggu responnya, tetapi ia tersenyum dan hanya menatap layar smartphone.

''Erika?''

Tut!

Ia memutus panggilan itu sepihak. Kukantongi smartphone dan fokus melihat senyum di bibirnya. [ Ah, sungguh mulut sembarangan!Kenapa aku berkata begitu? ]

Hari ini Erika menata rambut. Biasanya rambutnya lurus dan menutup setengah wajah, seperti hantu. Sekarang rambut si atlik Judo itu dibuat bergelombang, dengan sedikit poni. Ditambah anting kecil berkilau. Juga mengenakan dress biru selutut dengan tambahan renda bagian bawahnya.

''Erika?'' aku memanggilnya yang duduk menunggu Bus.

Wajahnya langsung mengarah padaku. Mendadak perasaanku agak cemas soal ucapanku yang tidak disengaja. Tepat saat aku datang, Bus menuju ke arah kami.

Aku menunduk sambil mengelus punggung leher. ''Maaf membuatmu menunggu. Bus sudah datang.''

Suasananya jadi terasa canggung. Aku hanya takut dia terbawa hati oleh ucapanku tadi. Padahal aku dan Fujia telah sepakat bahwa tak ada yang memacari seorang teman, seperti Erika.

Bus berhenti di depan kami, pintunya terbuka. Kudahulukan Erika masuk kemudian aku mengekorinya.

Sore ini pengguna Bus banyak sekali, seluruh kursi telah terisi penuh. Hanya ada beberapa pegangan yang kosong. Kuarahkan Erika ke sudut, di sana terdapat plang besi yang cukup besar dan aman untuknya.

Lengan kirinya sedikit bersandar pada dinding Bus, dan tangannya memegangi plang besi. Karena Bus hampir sesak, aku berdiri dan menghadapnya. Punggungku berkali-kali terkena sikut orang-orang yang berada di belakang.

[ Dengan pakaiannya yang terbuka, tidak aman naik Bus sendirian. ]

Pada sebuah keadaan, Bus itu berbelok kelewat tajam, sehingga aku bersama penumpang yang berdiri sepertiku kehilangan keseimbangan. Orang-orang di belakang mendorong punggungku. Aku hampir menabrak tubuh Erika, namun spontan lenganku menumpu di dinding Bus dan mencegah hal itu terjadi.

Sekejap tatapannya tertuju pada kalung hitam yang kukenakan. Erika membuang muka dariku dan dia tak sadar telah kuperhatikan. Makin kuat dugaanku, kalau yang selama ini menulis surat pita merah itu adalah Erika setelah melihat ia tersenyum diam-diam.

Usai keluar dari Bus, kami menyeberangi zibra cross sambil mengobrol.

"Ada pesta di rumahmu hari ini?" aku bertanya.

"Ya, kami ingin mengadakan kejutan sepulang ibuku kerja. Kalau ada waktu, datanglah. Ibu sudah lama ingin kau berkunjung ke rumah."

Kuperbaiki topi, lalu berkata, "Okey, kalau begitu aku akan membeli kado untuk ibumu."

Erika melirik padaku. "Sungguh? Mau membeli apa?"

Aku mengelus-elus dagu sambil berpikir. "Mungkin parfum yang sesuai dengan karakternya."

Kami memasuki sebuah toko baju. Erika langsung menyerbu beberapa dress dan jaket. Ia meminta pendapatku pada setiap baju yang diinginkanya.

Menemani seorang wanita berbelanja adalah hal yang cukup membosankan. Walau dipinta memilih baju untuknya, semua pendapatku sia-sia, karena dia ternyata sangat cerewet dan mengomentari berbagai hal mulai dari kecocokan warna, model dan harganya.

"Kau bilang akan membeli kado. Kau malah mengajakku menemanimu berbelanja." Aku mendengus lalu duduk di kursi. Si pelayan tersenyum-senyum pada kami berdua.

Ekspresi Erika tak kalah masam dariku.

katanya, "Pemarah sekali, aku hanya memanfaatkan waktu. Setelah ini aku akan sibuk les lagi dan tak ada waktu untuk beli baju. Pria mana mengerti kebutuhan perempuan!"

Aku memilih bungkam. Semakin dikomentari, pembahasannya akan makin panjang. Selesai membeli baju, akhirnya Erika mengajaknya membeli kado. Kado yang akan dibelinya ternyata rangkaian kosmetik.

Sebuah toko cukup besar, wallpaper dindingnya pink muda dan beberapa bermotif totol-totol. Terdapat enam wanita yang sedang memilih berbagai hal. Sambil mengekori Erika, aku melirik sana sini pada benda-benda asing yang memenuhi toko.

"Kau tahu benda-benda ini?" tanya Erika. Ia menyentuh deretan lipstik berbagai merek, yang sering kulihat dari iklan di TV.

"Emm ... secara umum, iya. Tapi aku tidak punya ibu, barang-barang ini tak pernah kutemukan di rumah. Jika pun ada, berarti ayah sedang berkencan. Aku sih, tidak melarang malah aku sering mendesaknya untuk menikah lagi agar ia ada yang mengurus." [ Agar dengan begitu, aku bisa lepas dari uji ekperimennya. ]

Erik tertawa mendengar ucapanku. "Kau anak yang baik sekali. Sayangnya, ayahmu mungkin tidak ingin membuatmu diurus oleh ibu tiri."

"Ibuku, ibumu juga. Bahkan ibuku ... karena tak punya anak laki-laki seumuran aku, ibu ingin kau tinggal di rumah dan mengadobsimu." Erika mendesah, "Aku tak mau membayangkan bersaudara denganmu." Dia menggeleng-geleng setelahnya.

Aku terkikik, geli mendengar ceritanya. "Kenapa? Tidak senang punya saudara ganteng seperti aku?"

"Kau harus turunkan sedikit kepercayaan dirimu itu, terkadang aku kesal mendengarnya," Erika mengambil satu lipstik dan memoleskannya di bibirnya. "Bagaimana? Bagus?"

"Untukmu, iya!" aku memperhatikan warna kemerahan yang bertambah pada bibir itu.

"Benarkah!" Mata Erika langsung berbinar menatapku.

"Kau akan membelinya setelah aku mengatakan itu?" kuambil satu lipstik lalu mengikuti cara Erika memolis bibir. "Bagaimana dengan ini?"

Erika menatap bibirku cukup lama sampai-sampai aku tertawa. "Kau terpana, berarti ini bagus. Aku akan beli ini untuk ibumu."

''Ih! Seperti biasa, kau memuji diri sendiri lagi."

Rasa canggung telah menghilang antara kami. Aku melepas topi, menyibak rambutku dan mengikutinya ke lemari kosmetik lain.

"Kau bahkan tersipu. Aku akan beli ini untukku sendiri." [ Barang kali, mungkin berguna untuk Kenta. Akan lebih tepat jika yang diajak kemari adalah Kenta, sehingga Gadis Sakit Mental itu tertarik dengan benda-benda ini. ]

"Itu ide buruk! Kuharap Fujia melihatmu dan sadar bahwa kalian tak ada bedanya."

"Jangan samakan aku dengannya, dong!"

Tempat berikutnya, aku mengajak Erika ke toko parfum. Toko itu tak kalah luas dari toko kosmetik. Pria wanita asyik mengobrol soal parfum. Interior ruangan dipenuhi kristal botol parfum yang berkilauan dan terkesan mewah. Erika membantuku mencium berbagai parfum dan tentu saja kuminta pendapatnya.

"Kau serius akan menjadi ahli parfum? Sudah menemukan universitas tujuan?" ia bertanya selagi kami duduk di meja penuh produk parfum.

"Aku hanya mengembangkan ketertarikanku dan belum memutuskan akan mendaftar di universitas apapun."

"Bisa pilihkan parfum dengan karakterku?" Erika memintaku.

Aku mengambil beberapa parfum dan menimbang sesuai karakternya. Kuserahkan sebuah botol parfum dengan wangi lembut tetapi cukup kuat. "Ini akan bagus untukku. Aku akan cepat mengenali wanginya."

Erika mengambil botol itu dan memutuskan untuk membelinya.