Sepulang sekolah, sikap Masio menjadi lebih dingin dari biasanya. Tak sedetikpun pemuda itu menaruh perhatian pada Kenta.
Suasana yang berbeda itu membuat Kenta serba salah. Ia menyadari, bahwa akibat sikapnya yang berlebihan, menciptakan sebuah tembok tebal antara dirinya dengan Masio.
[ Apa dia tidak membaca surat kecil yang kutinggalkan di lokernya? Kecanggungan ini tidak bisa berlangsung lebih lama lagi. Aku harus membuat Masio memaafkan aku. Aku tidak tahan! ]
Kenta meletakkan tas di meja makan.
Lengan baju dilentingnya hingga sebatas siku. Ia bermaksud membuat jus, agar Masio dapat sedikit membuka hati, memaafkannya.
Tak berapa lama, secangkir jus apel dibawanya ke kamar.
Di atas ranjang, Yubi sedang asyik menggigit-gigit selimut, sesekali berguling-guling sambil mencakar-cakar selimut. Kesibukan kucing gendut itu membuat Kenta tak senang.
''Hi, kucing nakal! Keluar dari ranjang! Kau hanya akan menyisakan banyak bulu—bulu rontak. Pergi sana!'' Ia menarik ujung selimut.
Selimut yang bergerak-gerak makin membuat Yubi agresif. Kucing itu malah semakin menjadi-jadi.
Dalam kondisi hyperaktif, Yuki tidak bisa dipegang sembarangan, karena senang mengigit.
Akan tetapi, kekesalan Kenta, membuatnya lupa akan fakta itu. Sehingga ditariknya ujung ekor Yubi sampai-sampai kucing itu berteriak. Akibatnya, Yubi geram dan malah menyerang balik. Kucing itu mengeluarkan cakarnya, menyambar lengan Kenta.
Rupanya, Kenta cukup gesit. Ia menghindar dengan cepat, namun, sayangnya tubuh kecil itu kurang seimbang lalu jatuhlah di sisi ranjang.
Nampan dan seluruh jus dalam cangkir itu tumpah ruah membasahi selimut. Kebetulan, Masio baru saja keluar dari kamar mandi. dan sedang menggosok-gosok kepala dengan handuk.
Kenta yang gelagapan lantas mengambil cangkir yang tergeletak, dengan sisa jus yang masih ada. Permukaan gelas yang licin menyebabkan ia salah pegang. Sehingga terlihat ia sengaja menumpahkan jus itu dengan sengaja.
Masio yang masih kesal akibat kejadian tadi mulai emosi kembali. Pancaran kebencian muncul dari sorot matanya yang tajam. ''Tadi, apa yang baru saja kau lakukan?'' tanya pemuda itu dengan nada gusar.
Mata Kenta membola, wajahnya pucat. Ia menggeleng-geleng menepis dugaan Masio. ''Tidak, ini salah paham, ini tidak seperti yang kau lihat. Aku, aku hanya tidak sengaja ...''
Kemarahan yang tergambar jelas di wajah Masio, membuat Kenta terbata-bata, sampai pada kesulitan mengendalikan diri.
''Tidak sengaja lagi?!'' Masio mendatangi Kenta sambil berkacak pinggang. ''Dari pertama kali kau datang, sungguh membuat aku muak! Sekarang ... bahkan setiap hari kau selalu membuat hidupku tidak tenang. Kau hanya menjadi pengganggu! Keluar dari kamarku!'' Masio membentak dengan kasar.
Bagaikan petir yang menyambar. Ucapan itu menciptakan luka di hati Kenta. Mata gadis itu berkaca-kaca dan wajahnya merengut. Dua orang itu berpisah dengan perasaan sama-sama marah.
...
Pagi itu, Masio duduk bersandar dalam posisi ternyamannya. Meski memegang sebuah buku, tetapi konsentrasinya terarah pada Kenta yang duduk diam tanpa melirik padanya.
[ Kenapa lagi dengan Gadis Sakit Mental itu? Dia tidak menyapaku pagi ini dan berangkat pun tidak mengajakku. Ini tidak seperti dia. Apakah karena aku membentaknya kemarin sore? ] Masio memicingkan mata pada Kenta.
[ Perkara itu, dia sendiri yang menumpahkan jus di tempat tidurku. Jelas-jelas bukan aku yang patut disalahkan. ]
Masio beralih melirik pada Fujia, si pemuda berwajah joker itu tampak seperti biasa, cerita dan senang mengobrol bersama gadis-gadis.
''Masio, kau membaca buku itu ... terbalik!'' kata Erika.
Masio tersadar lalu cepat-cepat membalik buku itu, tetapi perhatiannya masih tertuju pada Fujia yang kini mengajak Kenta berbicara.
''Aku izin tidak ikut les petang ini. Kau ada waktu habis pulang sekolah, Kenta?'' tanya Fujia. Aku baru saja mengajak beberapa gadis dari sekolah Aori di luar kota Sapporo.''
''Itu kan sekolah khusus wanita!''
''Psss, pelankan suaramu!'' Fujia mendesis. ''Kau bisa tidak, temani aku kencan buta sehabis pulang sekolah nanti?''
''Apa mereka cantik-cantik?'' tanya Kenta, wajahnya tampak bersemangat. Dan hal itu membuat Masio mual melihatnya.
Usai mengajak Kenta, Fujia berpaling pada Masio dengan wajah tersenyum.
Sontak hal itu membuat Masio cukup terkejut. Demi mencegah timpulnya dugaan Fujia kalau dia menguping, Masio memang wajah seram dengan mengerutkan kening, seperti orang yang terganggu.
''Gigi-gigi besarmu akan kering jika terus tersenyum seperti itu,'' kata Masio pada Fujia.
[ Selalu ada maksud di balik senyum besar itu. Ini akan menjadi kencannya yang kesekian kali. ]
Kehadiran Masio akan membuat gadis-gadis itu mengabaikan Fujia. Rasanya tak nyaman melihat teman sendiri diacuhkan dihari kencannya. Maka atas dasar pengalaman yang pernah terjadi berkali-kali, dengan senang hati Masio lekas menolak ajakan Fujia.
Fujia mendengus, lalu kembali menyambung obrolan dengan Kenta. ''Telah kukirim fotomu pada Miyu. Dia membalasnya ... gadis itu tertarik denganmu.''
''Sungguh, beri aku nomor teleponnya,'' Kenta tampak sumringah.
Masio tersenyum mendengar tanggapan Gadis Sakit Mental itu. [ Seorang gadis berkencan dengan gadis lainnya. Terdengar menjijikkan. ] celanya dalam hati.
Masio tersentak ketika, Erika melambaikan tangan di depan wajahnya. Pemuda itu lekas menyadari kalau dia lupa keberadaan satu temannya itu.
''Masio, kau dengar aku tidak? Ah, kau mengabaikan aku.'' Erika duduk dengan wajah ditekuk. "Apa yang kau pikirkan sampai membuat aku tidak terlihat? Menyebalkan!"
''Tidak, tidak! Aku mendengarkanmu sejak tadi. Jangan merajuk!'' bujuk Masio.
Sesaat kemudian, wajah gadis itu berubah ceria lantas bertanya, "Kau ada waktu sore ini?'' Mata gadis itu berbinar menatap Masio. "Aku ingin membeli kado untuk ibuku. Bisa temani aku memilihnya?"
"Sepulang sekolah? Baiklah, aku juga ingin membeli beberapa parfum. Kita akan bertemu di halte bus dekat Golden Street.''
Suasana hati Erika tampak bagus dari mimik wajahnya nan cerah. Setelah diberikan kepastian, ia pun berbalik ke depan dan duduk dengan tenang.
Seperti benang kusut, pikiran Masio mendadak teralihkan pada Kenta.
[ Apakah kencan ini akan membuat dia lebih mudah mengenal sosok wanita? Atau sebaliknya, mengingat perkataannya beberapa hari lalu soal Nampa (pendidikan sex beserta prakteknya). Ah, aku punya firasat buruk tentang acara mereka. Apakah kugagalkan saja? ] pikir Masio.
....
Sepulang sekolah, orang-orang mulai keluar dari gerbang depan. Sementara itu, Masio berjalan sambil memasukkan tangan ke saku celana. Matanya menyipit ketika Kenta sedang berbicara di samping gerbang.
[ Dia memang aslinya seorang gadis, tapi kalau dilihat seperti ini Kenta berhasil menciptakan dirinya sebagai laki-laki yang disukai gadis-gadis. ]
Gadis-gadis menatap Kenta dengan intens seperti sedang menikmati tiap lekuk wajah Kenta. Dan Fujia diabaikan seperti biasanya. Beberapa hadiah yang diberikan para gadis kepada Kenta, menjadi tanda mungkin sebentar lagi, Gadis Sakit Mental itu akan masuk dalam sistem rangking ketampanan.
"Gadis Sakit Mental itu harus ingat bahwa namanya adalah Minami Yunna, bukan Yamagichi Kenta. Dan dia akan sadar siapa yang seharusnya dia hindari. Bukannya meminta maaf padaku, dia malah menghindar. Akan kubuat hidupmu sial seperti hidupku sekarang."
....
Selesai membereskan rumah, Masio membersihkan kandang Yubi. Dia sempat melirik, jam sudah pukul 4. 30 sore, tetapi tak ada tanda-tanda Kenta akan berangkat untuk kencan buta.
Masio melepas pekerjaannnya dan beranjak ke kamar.
Kamar ternyata kosong, hanya terdengar desiran air dari kamar mandi. Ia pikir, Kenta mungkin sedang mandi.
Biar tidak terlihat sedang memantau, Masio pura-pura membereskan rak buku.
Ketika itu, dia menemukan kado pita merah yang telah dilupakannya gara-gara terus memperhatikan Kenta.
Keinginan Masio untuk mencari tahu pemilik kado pita merah, masihlah kokoh.
Dibukanya bungkus kado. Isi kado itu rupanya adalah sebuah syal dan kalung hitam. Ada sepucuk surat yang bertuliskan dua pilihan. Jika Masio memilih syal, sebagai tanda bahwa dia menerima hadiah ini dengan hati yang hangat. Sedangkan jika memilih kalung hitam, itu berarti kado itu lebih spesial dari kado gadis-gadis lainnya.
Begitulah yang tertulis. Hal itu berhasil menarik senyum Masio kemudian memutuskan mengenakan kalung hitam.
[ Dengan begini, mungkin akan lebih mudah menemuka pemilik surat ini. Aku ingin tahu, di antara orang-orang sekitarku, siapa yang terlihat merespon kalung ini. ]
Trak!
Suara singkat, pintu kamar mandi, menarik Masio untuk menoleh. Saat itu, Kenta keluar dari kamar mandi dengan singlet longgar. Gadis Sakit Mental itu hanya melirik sebentar lalu mengenakan kemeja kotak-kotak hijau yang sengaja tidak dikancing bagian depannya.
"Kau benar akan melakukan kencan buta bersama Fujia?" Masio bertanya dengan perasaan kikuk.
"Ya, kenapa memangnya?" Kenta menjawab tanpa melawan tatapan Masio.
"Aku harap, kau tidak menghancurkan acaranya."
"Aku tidak memintamu berharap, mulai sekarang aku akan hati-hati dan tidak akan mengganggumu lagi. Kau senang?"
[ Eh, kenapa dengan nada bicaranya? Apa dia sedang memberontak padaku? ] pikir Masio.
Kenta pergi dari kamar dengan wajah datar. Belum sempat Kenta keluar dari rumah, mendadak smartphone Masio berbunyi.
[ ''Masio, aku baru sampai di halte bus, kau masih ingat akan menemaniku ke mall, 'kan?'' ]
[ Oh, iya. Aku punya janji dengannya. ] Masio berdeham. "Ah, tentu saja, aku sedang dalam perjalanan ke sana," sahut Masio.
Panggilan diputus Erika. Masio berganti baju secepat kilat lalu meloncat ke luar kamar. Di tengah ruang ditemukannya tas Kenta.
Sambil tersenyum miring, ditentang-tentangnya tas itu, melampiaskan kekesalan yang membumbung.
[ Andai bukan seorang gadis, kau akan bernasib sama dengan tas kotor ini. ]