Selagi menjerat leher Fujia, aku berhenti di depan loker. Banyak sekali memo-memo ditempel hampir memenuhi pintu lokerku sebagian besar adalah ucapan selamat atas kesembuhanku.
Fujia mengambil kesempatan saat aku lengah. Ia berhasil meloloskan diri dariku dan bersembunyi di belakang.
"Kapan mereka akan bosan meletakkan makanan-makanan ini? Setiap kali melihat kotak-kotak makanan, membuat aku takut. Apakah mereka memasaknya dengan higienis?" aku bergumam pelan.
Fujia tiba-tiba menyeremperku dan berdiri di depan loker sembari membaca tulisan di memo itu.
Katanya dengan suara yang heboh, "Yahaa! Banyak sekali yang mengucapkan selamat atas kesehatanmu. Bagaimana rasanya menjadi seorang pria tampan, hah? Kuharap bisa tukar hidup denganmu. Jika ada kehidupan kedua, aku pengen tuker apa saja demi menjadi Masio!''
''Konyol sekali! Aku tidak ingin terlihat sepertimu! Cari orang lain saja untuk menukar hidup!'' Aku meniup pipi Fujia yang enak-enakan merangkulku sambil bersandar.
Aku mengambil satu lembar memo dan membacanya dalam hati.
''Mina dari kelas 2-B; Kak Masio, kudengar kau sedang sakit. Kubuatkan brownis cokelat. Cokelat baik untuk mengembalikan mood.''
Aku menatap Fujia yang membaca salah satu memo dengan suara yang dibuat-buat seperti perempuan.
Fujia mengambil memo lainnya. ''Aku meletakkan manisan lemon satu gelas. Kubuat dengan komposisi c-i-n-t-a!''
Aku mengerutkan kening. Fujia berbicara genit sekali. [ Tak heran para gadis menjaga jarak darinya. Melihatnya saja bikin risih. ]
Fujia mengambil satu memo lagi dan membacanya dengan lantang. ''Kak Masio! Aku buat bekal daging yang kupelajari dari guru memasak. Kuharap kau tak keberatan untuk mencicipinya.''
''Bekal daging? Waaaaa!!!" Fujia dan Kenta berseru.
Brak!
Aku menggebrak permukaan loker hingga keduanya menarik kepala dari depan pintu loker.
[ Kalau semuanya dibaca, dua bocah nakal ini hanya bikin aku malu. ]
Kusingkirkan semua memo itu tanpa tersisa.
''Memintaku untuk mencicipi ekperimen pertamanya, bukankah tindakan yang kurang sopan. Apalagi diberikan dalam bentuk hadiah. Ini salah satu tindakan yang bodoh!"
"Apa barusan aku mendengar suara geledek?" tanya Fujia, menyinggung ucapanku.
Aku menatapnya sinis.
''Kau kasar sekali! Kalau gadis itu mendengarmu, kau tak berpikir bagaimana perasaannya?'' tanya Kenta, terdengar kesal.
Berbelit! Aku tak ingin memperpanjang masalah ini. Saat loker kubuka, kado-kado jatuh menimpa sepatuku.
"Waahhh!!!" Mereka berseru.
Hal yang paling takjub dari semua hadiah ini adalah, dari mana gadis-gadis itu mendapatkan kunci lokerku? Padahal setiap pulang sekolah selalu kukunci.
Secara mengejutkan, Fuji menyambar kado-kado dan kotak makanan. Karena tangannya tidak muat meraup semua hadiah itu, dilemparnya sebagian pada Kenta.
Dengan wajah sangat gembira ia berkata sambil terkikik, ''Ambil ini, ambil semuanya! Dari pada membuat gadis-gadis itu sedih, lebih baik kita yang memakannya! Ini namanya menghargai usaha.''
Aku menggelengkan kepala. [ Dia yang senang sekali, padahal aku yang dapat hadiah-hadiah itu. ]
Kutemukan satu kado yang dihiasi peta merah. Lekas kuamankan kado itu dan membawanya sambil berjalan menuju kelas.
[ Dia mengaku sebagai pengagum rahasia. Tentu saja tak ingin kalah dari gadis-gadis lainnya. ]
Fujia dan Kenta ribut sekali memperdebatkan kado-kado yang tidak muat di ransel mereka. Kudengar, mereka mengekoriku.
"Beberapa bingkisan dari tadi malam saja tidak muat di letakkan di lemari es. Bagaimana dia bisa mendapat perhatian para gadis sebanyak ini? Ini bahkan bukan hari ulang tahunnya. Apa dia selalu mendapatkan hadiah tiap hari?'' tanya Kenta.
''Masio hanya satu dari daftar siswa tampan yang mendapatkan hadiah. Senior dari kelas tiga bahkan lebih banyak darinya. Kita bagi dua! Masukkan segera di tasmu, sebelum teman-teman di kelas merebutnya.''
"Apa boleh?'' Kenta terdengar ragu-ragu.
Aku tidak tahu, apakah ia menatap Fujia saat berbicara.
"Aku melakukan itu selama satu tahun. Tenang saja! Masio tak pernah mempermasalahkannya,'' jawab Fujia, meyakinkan.
Beberapa siswa menyapaku saat kami menyusuri lorong menuju kelas. Tetapi, kupingku tetap terpasang untuk mendengarkan pembicaraan di belakang.
"Masio populer sekali. Dia rugi kalau tidak mengencani mereka. Tidak selamanya gadis-gadis itu akan berpihak padanya. Ei, sayang sekali!'' Kenta berucap.
"Kau tidak mengerti! Ada kerugian menjadi orang tampan. Mereka terkadang tidak bisa punya pacar,'' Fujia menjelaskan, seolah-olah merasakannya. Dia mengerti dengan baik, perihal yang satu itu.
''Eh, bukankah seharusnya mengandalkan wajah tampan dapat memiliki banyak pacar? Bahkan mudah didekati gadis-gadis,'' ucapan Kenta terdengar tak setuju.
Fujia mendesah, lalu berucap, ''Ah, kau polos sekali sih. Tak semua wanita memilih pria tampan. Lelaki yang terlalu tampan untuk dipacari hanya akan merendahkan pandangan orang pada si gadis. Mereka tidak siap di bully karena tak sederajat dengan paras kekasihnya. Belum lagi, punya pacar tampan berpotensi didekati banyak gadis. Dan itu dapat menimbulkan kecemasan serta kecemburuan yang membebani hati. Dilihat dari sisi ini, bukankah kekurangan yang dimiliki pria tampan sangat besar?''
Senyumku tak bisa ditahan mendengar penjelasan Fujia yang logis sekali. Dalam hal beginian, Fujia memang pandai sekali.
''Ouuuhhh, kau benar. Lalu Bagaimana denganku? Apa pendapatmu tentangku?'' Kenta melontarkan pertanyaan yang membuat aku menoleh.
Kami berhenti! Aku dan Fujia melirik penampilannya.
''Kau ... tidak lebih tampan dariku! Sebagai seorang pria, wajahmu terlalu putih, dan tubuhmu agak pendek. Lagi pula terlalu lemas untuk dipeluk, saking kurusnya.''
[ Dia gadis, bertubuh ramping adalah hal biasa. ]
Jawaban Fujia sudah cukup sebagai perwakilan atas tanggapan dari pertanyaan Gadis Sakit Mental itu. Aku tersenyum.
Mendadak seorang gadis dari kelas satu menghadang perjalanan kami. Gadis manis berpipi seperti bakpau ini memberikan sebuah jus botol di depanku.
''Em, terima kasih. Aku akan meminumnya nanti,'' kataku saat menerima jus botol itu.
"Kalau dilihat, aura Masio sangat berbeda. Tapi sepertinya Masio sedikit terganggu dengan ini, dia pandai menutupi masalah dengan bersikap ramah.'' Suara Kenta terdengar agak jauh dari sebelumnya.
"Eh, bagaimana dengan wajahku?''
Aku menoleh pada Fujia yang bertanya.
Bocah nakal itu memperlihatkan senyum lebar mirip joker. Hidungnya nan mancung dan tulang pipi yang mengkilat mempertegas bentuk wajahnya.
"Kau? No komen!'' Kenta terkekeh.
Sikunya disenggol oleh Fujia. Pemuda ceria itu berubah merengut.
Aku berdiri memasang wajah kesal pada mereka. "Bisa kalian diam! Berhenti membicarakan aku! Sejak tadi mengoceh terus!'' Selepas itu, aku masuk ke kelas menyapa teman-teman. Tak lupa kupasang topeng manis dan tersenyum lebar.
Meski kelas cukup ribut, pendengaranku yang cukup tajam efek ekperimen ayah, dapat mendengar pembicaraan Fujia dan Kenta meski hanya sedikit.
"Itulah sifat dia sebenarnya. Dia punya banyak wajah!'' kata Fujia.
"Benar, di rumah dia juga begitu," Kenta menambahkan, terdengar menyimpan kekesalan padaku.
Pada pukul 10 pagi, pelajaran pertama telah usai. Kini jam pelajaran berikutnya adalah pelajaran olahraga. Di sekolah ini terdapat tiga guru olahraga yang memiliki jam pelajaran yang sama. Dan pelajaran olahraga ini terbagi pada tiga konsetrasi, yang mana setiap siswa bebas memilih, karena sifatnya seperti ektrakulikuler.
Tiga konsentrasi itu, pertama; renang, kedua; Basket, Poli dan Sepak bola, yang ketiga; Memanah.
Tiap kali pergantian jam pelajaran, sang ketua kelas selalu diminta mengabsensi siswa lainnya, untuk memastikan siapa yang akan mengikuti pelajaran olahraga.
Dari 38 siswa di kelasku, sebagian besar mengikuti pelajaran renang. Termasuk Kenta yang mengacungkan tangannya.
Pipi yang menggembul ketika sedang tertawa menjadi tanda bahwa Gadis Sakit Mental itu serius mengikuti pelajaran renang.
Aku yang berada di belakang, mau tidak mau ikut mengacungkan tangan. ''Dia mengindahkan peringatanku! Betapa bodohnya Kenta. Dia berada di tepi jurang tapi masih tertawa.''
Akibat aku mengacunkan tangan, beberapa gadis mengubah pilihan. Fujia yang awalnya hendak mengikuti basket mendadak menarik diri dari latihan basket. Ia ikut memilih pelatihan renang.
''Kau bisa berenang?" tanya Fujia pada Kenta. ''Kupikir kau hanya bercanda.''
''Aku bisa belajar pada tahap pemula. Kau bisa mengajariku?'' Kenta balik bertanya.
''Tentu saja! Ayo ganti baju sama-sama.''
Aku terkesiap. Dua orang itu saling merangkul hendak keluar kelas.
Aku mendesah, lalu bergegas mengejar. Jos botol di mejaku kubiarkan jatuh. Hampir di ambang pintu dan menyentuh pundak Kenta, tiba-tiba ketua kelas menarik kerah seragamku dari belakang.
"Apa maumu? Ada hal mendesak. Lepaskan aku!"
''Masio, kau dipanggil Tuan Shiho ke ruangan guru sekarang juga! Wali kelas baru itu ingin bertemu denganmu.''