Chereads / YOU, ME, DEATH / Chapter 13 - Bagian Kedua

Chapter 13 - Bagian Kedua

Pada ini, aku meninggalkan rumah menuju Golden Street.

Beberapa saat lalu, kuhubungi salah satu pegawai pusat kebugaran hewan untuk menjemput Yubi. Kalau akhir pekan begini, gedung kebugaran hewan biasanya buka sekitar pukul 11 siang. Beruntung, salah satu pegawai datang lebih pagi untuk menyambut obat-obatan yang baru datang.

Setelah menyelesaikan urusanku. Aku dan Yubi berjalan-jalan santai di taman dekat Golden Street.

Kucing berkelamin jantan itu menjadi lebih atraktiif setelah berhari-hari berpisah denganku. Sepanjang jalan, dia mengeong-ngeong seakan-akan mengomeliku karena jarang menjenguknya.

Akibat jatuh sakit beberapa hari ini, menyebabkan kelenjer keringatku tidak berfungsi baik. Setelah bergerak terus-menerus, hipotalamus mulai mendorong produksi keringat, sehingga seluruh tubuhku basah semuanya.

Aku berkeringat berlebih.

Aku sengaja banyak beraktivitas di luar rumah pagi ini karena ingin mengatur ulang pikiranku yang agak terganggu dengan penelitian kemarin, termasuk menetralkan pikiran dari kejadian tadi malam, di kamar mandi.

Padahal biasanya, kalau minggu, aku hanya malas-malasan di tempat tidur, atau bersantai di halaman belakang rumah.

Di taman, aku duduk di rerumputan sambil melempar bola tangan. Yubi mengejar bola tangan itu dan mengembalikannya padaku. Terkadang, asyik bermain sendiri, berguling-guling dengan bola itu, menghiburku dengan tingkah imutnya.

Tak terasa matahari mulai meninggi. Kuperkirakan telah berada pada pukul 11 siang. Maka sudah saatnya untuk kembali ke rumah.

Sepanjang berjalan menuju rumah, perut terasa lapar sekali. Yubi mengekori dengan patuh. Setiap kakinya berjalan, lemak tebal di sekujur tubuhnya tampak menggemaskan.

Kadang kala, ada saja beberapa orang yang berhenti hanya sekadar menyapa dan mengelus Yubi. Karena badan kucing itu besar dan penuh lemah, sehingga menarik banyak orang untuk membelainya.

Sesampainya di rumah, Kucing itu langsung berbaring di lantai tampaknya lelah.

Aku pergi ke dapur, kucing itu ikut beranjak tetapi berlalu mendahuluiku.

Dia pasti lapar sekali dan segera menuju rumah istirahat yang nyaman di taman belakang.

Di sana selain ada kupu-kupu yang selalu menarik untuk dikejarnya, juga ada makanan yang berlimpah.

Aku cukup malas bolak-balik harus menuangkan sereal untuk Yubi, sehingga kubuat sebuah alternatif lain. Sebuah alat yang cukup hanya ditekan saja, maka sereal pun berguguran. Satu kelemahan dari benda instan itu, jumlah sereal yang jatuh berubah-ubah, sehingga pola makan kucing itu tidak teratur.

Jika tidak ditemukan berkeliaran di taman belakang, boleh jadi kucing itu sedang tidur di tumpukan sereal.

Ketika aku hendak mengambil gelas kosong, derit pintu kamar terdengar. Yubi bahkan berhenti berjalan, kami menatap pada Kenta yang melenggang melewatiku lalu memutar keran air.

Melihat Gadis Sakit Mental itu dari belakang, punggungnya tampak kecil. Mendadak pose telanjang tadi malam hadir dengan jelas di pikiranku. Punggung yang basah, air menjalar di lekuk tubuhnya tanpa penghalang.

Aku menggeleng lalu berpaling, membatalkan niat untuk meraih teko air.

Suara keran air tiba-tiba berhenti.

"Masio, apa yang harus kulakukan dengan semua hadiah dari teman-teman?"

Aku beranjak berjalan menuju kamar.

"Hai, jawablah sebelum masuk. Sejak tadi malam, kau tidak berbicara satu kata pun padaku. Setidaknya, lihat aku!"

Tanpa menanggapi ucapannya, pintu kamar kututup. Kenta terus memanggilku. Dia mempertanyakan sikapku dan mengakui bahwa dia tak mengerti apa yang kuinginkan.

Selesai membersihkan tubuh, aku yang telah bercelana keluar dari kamar mandi. Aku mengambil selembar singlet dingin dan mengibaskannya di udara.

Tiba-tiba pintu terbuka. Kenta menatapku dari celah pintu.

[ Hal yang paling kubenci dari Gadis Sakit Mental ini, dia masuk ke sembarang tempat dengan tampang bodohnya itu. ]

"Biasakan ketuk pintu dahulu sebelum masuk! Jangan pelihara kebiasaan buruk seperti itu!" Aku berseru memperingatkannya.

Kenta menyipitkan mata, tampak tak suka dengan ucapanku.

Pintu kamar ditutupnya pelan-pelan. Dari luar terdengar Kenta berkata, "Semuanya selalu di atur. Lagi pula itu juga kamarku. Sensitif sekali. Seperti perempuan saja!"

"Hah, perempuan! Dia itu yang perempuan." Aku mendengus.

Aku berbaring lalu meraih salah satu komik seri dan membacanya sambil berbaring. Puas berbaring, aku berbalik menyamping, kadang telengkup mencari posisi terenak.

Tak terasa waktu berlalu cepat. Tumpukan komik seri hampil kuselesaikan. Ketika itu, Kenta masuk ke kamar.

Dari balik buku, kulihat dia melewatiku dan masuk ke kamar mandi.

Gerimis air terdengar dari kamar mandi. Bayangan kejadian, samar-samar mulai tampak di pikiranku.

Konsentrasiku pecah, tiap kali mendengar keran Shower. Aku beranjak dari tempat tidur.

"Tidak sehat terus berada di dalam kamar. Seperti anak rumahan saja." aku melempar buku komik dan meninggalkan kamar.

Pintu kamar kututup, aku bersandar selagi menarik napas panjang. "Lebih tidak sehat mendengar keran di kamar mandi, membuat aku ingat lagi kejadian hampir nahas, kemarin malam."

Pernapasan sudah kuatur, tetapi, perkara jantung berdebar tak kunjung berhenti.

Aku memilih pergi ke kamar ayah. Seingatku, meja penelitian belum kubereskan. Lebih baik singkirkan sekarang sebelum ayah datang. Dia akan terkejut dan mengira aku punya minat pada bidang yang sama dengannya.

Saat menginjakkan kaki di ruangan cukup besar itu, aroma pengap dan desenfektan tercium cukup kuat.

Dinyalakan lampu, seluruh benda di ruangan tampak jelas dalam sekali pandang.

Di meja panjang, tergeletak beberapa buku tebal yang masih terbuka, di tengah-tengahnya terdapat beberapa tabung dan mikroskop.

"Di sini aku benar-benar seperti ayah. Bagaimana bisa hanya mempelajari sedikit, aku mulai ketagihan dengan penelitian? Jika dugaanku selama ini benar, kalau begitu aku memang berpotensi dapat mengikuti jejak ayah yang maniak itu."

Kubersihkan meja penelitian, menyingkirkan tabung-tabung dan piplet bekas pakai, termasuk sarung tangan latek dan kaca objek. Sampah penelitian dimasukkan ke plastik sampah. Buku-buku jurnal penelitian ditata ulang seperti sedia kala.

[ Situasi ini tidak bisa dibiarkan berlama-lama. Aku harus buat semuanya jadi normal lagi. Yunna harus secepatnya sembuh dan meninggalkan rumah ini. ]

Selesai membersihkan meja, aku pergi keluar untuk membuang sampah.

Di luar, suasananya cukup sepi. Lampu putih di seberang jalan diserbu beberapa serangga. Rumah-rumah tampak hangat oleh cahaya dari jendela.

Aku terdiam sejenak, melihat sekeliling. Hanya ada beberapa orang mabuk dengan dasi kendur saling merangkul. Mereka meracau tak jelas.

Aku masuk kembali, tak lupa pintu dikunci dari dalam. Di lemari dapur, kuambil sebungkus keripik kentang yang diberikan teman-teman kemarin malam.

Setelah memasuki kamar, hal pertama yang menarik sekali adalah, punggung kecil Kenta sedang bersandar di kursi. Dia tampak serius.

Rupanya sedang berkutat dengan beberapa buku pelajaran. Gadis itu masuk sekolah terlambat beberapa bulan saat semester baru dimulai, sehingga ia harus mengejar beberapa pelajaran yang tertinggal.

Aku tergelitik untuk mengintip bagaimana Kenta belajar. Dari belakang aku berdiri mengamatinya.

[ Gadis Sakit Mental ini memang agak bodoh! Tapi setidaknya dia mau berusaha. ]

Kutunjuk pada beberapa angka di buku Kenta sambil berkata, "Kau memiliki kesalahan dari tengah. Luruskan dulu variabelnya. Ganti dengan nilai Y. Kau tak akan menemukan jawabannya jika mendahulukan tabel distribusinya. Pahami contoh pengerjaannya sebelum masuk pada tugas."

Kenta segera membetulkan jawabannya lalu menunjukkan padaku. "Ah, begini?"

"Hampir benar! Kau harus menemukan sendiri pemecahannya." Aku meninggalkannya, dan duduk di kursi belajar, menghidupkan laptop dan mulai bermain game.

Aku tergelitik untuk melirik. Pancaran lampu belajar, menampilkan wajahnya nan polos. [ Siapa sangka, kalau dia anak perempuan. Bagaimana jika dia berdandan? ]