Chereads / YOU, ME, DEATH / Chapter 12 - Pikiran seorang lelaki

Chapter 12 - Pikiran seorang lelaki

"Lupakan apa yang terjadi kemarin. Aku sudah cukup lelah harus membawa wajan. Itu Berat!"

Kenta akhirnya tidak tahan dengan rencananya sendiri.

Aku terkesiap, begitu ia menarik ujung baju singlet hingga sebatas pusar, tampak perutnya yang putih mulus.

"Oi, apa yang kulakukan? Jangan melewati batas. Biar kuberi tahu. Terkadang, seorang pria juga harus berhati-hati saat melepas pakaian!" Kutarik gorden pembatas hingga tubuh gadis itu tenggelam.

"Kenapa harus malu? Kau bersikap aneh lagi."

"Jangan banyak bicara! Cepat selesaikan mandimu dan biarkan aku sendiri."

Gadis Sakit Mental itu tampak terpancing oleh ucapanku. "Hah! Kau masih memikirkan tentang pertemuan pertama kita? Apa itu membuatmu tetap mendendam padaku? Kau memiliki keahlian untuk membuat orang merasa sakit hati. Aku bisa bayangkan betapa kuatnya Erika dan Fujia menghadapimu selama ini. Kalau gadis-gadis yang sering mengejarmu pada tahu kau begini, mereka pasti akan meninggalkanmu. Untung ... kau bermuka dua dan pandai mengubah ekpresi."

Percikan air dari shower terdengar mengiringi ucapannya.

[ Mengubah Ekspresi? ] Aku mengerutkan kening. [ Dia mulai memperhatikan gerak-gerikku. Meski Sakit Mental, secara tak sadar sikap bawaannya sebagai perempuan masih tersisa. ]

Aku tersenyum singkat lalu menyahut. "Kenapa kau bicara begitu? Memangnya kau dapat merasakan perasaan mereka? Jangan so tahu!"

Aku mendongak, melihat handukku tergantung pada plang besi, dekat shower yang digunakan Kenta.

[ Lagi-lagi aku meletakkan handuk terlalu jauh. Kalau begini hanya bisa keluar dari bag mandi, jika Kenta pergi. ]

Percikan air terdengar rusuh di balik tirai, aroma sabun sangat mencolok. Suara-suara itu mendorongku untuk melihat.

Aku mengepalkan tangan, menahan diri.

[ Cepatlah pergi, Gadis Sakit Mental! Walau bagaimana pun juga, aku tetap seorang laki-laki. ]

Mataku seperti punya pikiran sendiri, melirik pada gorden penghalang di antara kami.

Cahaya lampu di atas Shower, membentuk siluet Kenta.

[ Lekuk tubuhnya memang tidak begitu terbentuk. Dia terlalu kurus sebagai seorang perempuan. ]

[ Ah! Berhenti memperhatikannya! ] Aku berpaling, membelakangi gorden dan bersandar di bak mandi.

"Kenta, kau di mana?" Fujia berteriak dari dalam kamar. Langkah bocah nakal itu terdengar menuju kamar mandi.

"Pintu sudah kau kunci?"tanyaku pada Kenta.

"Tidak, kenapa?"

[ Ah! Yang benar saja! ] Aku berdecak, mau tidak mau keluar dari bak mandi.

Kutarik handuk dari balik gorden.

"Masio!" Kenta tiba-tiba menatap bayanganku pada cermin di depannya.

"Ck! Bodoh sekali!" Handuk yang tadinya hendak kupakai, terpaksa kugunakan menutup seluruh kepala Kenta.

"Apa yang kau lakukan, Masio? Apa-apaan ini? Kau berperilaku aneh lagi!"

Kenta bergerak gelisah hendak melepas handuk itu. Lekas kutahan lalu kutarik sedikit kepalanya yang terbungkus sehingga mengikutiku ke dekat pintu.

"Masio, aku tidak bisa bernapas!"

[ Ini adalah pengalaman terburuk dalam hidupku. ]

Aku memalingkan muka, menghindari tubuh Kenta yang tidak mengenakan pakaian.

Suara Fujia terdengar di depan pintu kamar mandi. Kenop pintu tiba-tiba berputar.

Aku berusaha menggapai kenop pintu, untuk menggagalkan Fujia masuk. Sialnya, Kenta malah menarikku.

Pintu kamar mandi terbuka secelah. Bergegas kubentangkan kaki, menahan pintu.

Tuk Tuk Tuk

"Kenta? Kau di dalam? Kenapa pintunya dikunci?" tanya Fujia. Kenop pintu terus berputar.

"Masio, kau minta aku cepat-cepat menyelesaikan mandi. Lalu ini apa? Apa maumu, hah?" Kenta terus berontak.

"Sudah diam! Hanya sebentar saja! Beri waktu aku sebentar! Setelah itu aku akan melepaskanmu."

"Kalau dipikir-pikir, ini caramu balas dendam padaku? Kau benar-benar brengsek! Caramu konyol sekali. Hadapi aku dengan benar, jangan malah menyerang dari belakang!" Kenta terus berceloteh sambil bersikeras menarik handuk itu dari kepalanya.

"Fujia, aku sedang mandi dan Masio berperilaku aneh lagi!" Kenta berteriak. Suaranya tenggelam dalam balutan handuk.

"Kubilang diam!" Aku membentaknya.

Fujia melakukan perlawanan. Pintu kamar mandi terasa didorong dan kenopnya bergerak-gerak.

Kutahan pintu dengan kaki yang mengangkang, kuat-kuat.

"Akibat benturan itu, otaknya pasti rusak. Masio, ayo bicara, biarkan aku masuk!" Fujia membujuk seakan-akan seseorang sedang disandra di dalam sini.

Situasi yang menjengkelkan, terjepit antara dua bocah bodoh. Lebih jengkel lagi ketika aku harus melihat penampilanku yang telanjang di pantulan cermin.

"Sungguh ketiban sial. Ah!!!"

"Fujia, terus dorong, pintunya tidak dikunci. Masio menahannya!" Kenta berteriak, membangkitkan semangat Fujia untuk mendobrak pintu.

"Wah, sungguh! Kalian berdua berhenti menjepitku!" Aku balas berteriak. Apa jadinya jika pintu itu berhasil dibuka, selain tubuhku akan dilihat sepuas mata oleh Kenta, tubuh gadis itu juga akan menjadi pemandangan mengejutkan bagi Fujia. Duniaku akan hancur. Kehidupanku pasti tidak akan tenang lagi.

"Apa dia berbuat aneh-aneh lagi?" Fujia melontarkan pertanyaan lagi. Kini usaha bocah itu makin gigih.

Aku dapat merasakan semangat Fujia. Dia mendorong pintu tak tanggung-tanggung sampai mengerahkan kekuatan penuh.

Pintu berhasil terbuka sedikit.

"Wah bukan main, kuat sekali! Kurasa, aku perlu bantuan Erika. Erika, kemari!"

Deg!

Situasinya berubah jadi lebih buruk.

[ Tidak dengan Erika. Jangan libatkan Erika pada hal-hal begini! ] Aku dapat membayangkan apa yang terjadi jika Erika menendang dengan jurus Judonya.

"Celaka!"

"Erika! Cepat bantu aku, terjadi sesuatu di kamar mandi!" Teriakan Fujia memicu jantungku berdetak tidak normal.

Tanganku tidak memungkinkan untuk menggapai kunci pada pintu. Mengharapkan keberuntungan, dengan jari-jari kaki, aku menggerakkan kunci besi, meski sangat sulit.

Mendadak aku merasa aneh, karena pintu tidak terasa didorong lagi.

[ Apa Fujia sudah menyerah? Ah, mana mungkin. Pasti Cuma pura-pura. ]

"Kyaaaa!!!" Teriakan Fujia melonglong dan terdengar agak jauh dari pintu.

[ Kesimpulan terburuk, mungkin ... dia mau mendobrak pintu! ]

Aku bergegas menggeser kunci besi. Sedikit demi sedikit, kunci besi itu masuk pada lubangnya. Tepat saat itu, benturan kuat menghantam daun pintu hingga terasa bergetar.

Bruk!

Tubuh Fujia terdengar terjungkal.

[ Terlambat sedetik saja, identitas Kenta akan terkuak. ]

"Masih, lepaskan handuk ini! Sejak tadi, aku sesak napas." Kenta memukul-mukul tanganku di kepalanya.

Aku berpaling setelah sekilas melihat punggung Kenta yang basah.

"Sudah kubilang, jangan membangkang! Jika kau menurut, ini tidak akan lama. Kali ini saja menurutlah padaku!"

Gadis itu menurunkan kedua tangannya dari kepala dan berdiri dalam diam.

Aku tersenyum lalu kataku, "Tetaplah berdiri di sana dan jangan lepas handuknya. Tempo hari, kau masih berhutang kejadian yang sama seperti ini denganku. Setelah aku keluar dari sini, kunci pintunya!"

Handuk mandi di laci lemari lekas kupakai. Kemudian keluar dari kamar mandi. Begitu pintu dibuka, si kepala batu, Fujia masih ngotot mendobrak pintu.

Aku keluar dan berdiri di depan pintu, menghadangnya.

"Hentikan sikap konyolmu itu! Jangan rusak properti rumahku. Sudah untung, kau kuizinkan masuk kali ini."

"Wah, kata-katamu menusuk sekali. Setidaknya ucapkan terima kasih padaku sebelum kau lontarkan pisau setajam itu."

Fujia menatapku, sesekali pada hidungku."Pergilah ke luar, jangan mengurung diri di kamar."

Fujia meninggalkan kamar, sambil sesekali curi-curi pandang padaku.

[ Bagaimana jika, seandainya Fujia tahu Kento itu perempuan? ]

[ Aku harus memikirkan sesuatu untuk menyiasatinya. ]

Usai berpakaian, kudorong pelan pintu kamar mandi untuk memastikan Kenta sudah menguncinya.

Keributan di ruangan TV sejak tadi tak pernah surut. Hal itu menimbulkan kebingungan. Sebenarnya siapa saja yang berada di rumah ini?

Begitu keluar dari kamar, aku tercengang karena seluruh teman kelas duduk berkumpul sambil menonton film horor. Di sekitar sofa, banyak sekali remah-remah makanan, meja dipenuhi cemilan dan kotak pizza yang menyisakan satu potong. Ruang TV berubah menjadi tempat sampah.

"Apa-apaan ini? Siapa yang mengundang semua orang kemari?" Aku bertanya dengan sedikit membentak, tetapi, suaraku tenggelam oleh sorakan sambutan dari mereka.

Fujia langsung menarik tanganku menyuruh bergabung. Beberapa gadis duduk di bawah karena sofa sudah tidak muat. Mereka ramai menanyakan kondisiku.

Meski emosi, aku tersenyum tipis. [ Akan kucari tahu siapa dalang dibalik situasi ini. ]

<>