[Halo, Nak. Kamu bagaimana kabarnya? Bagaimana pekerjaanmu? Ayah dengar kamu mendapat promosi jabatan. Selamat, ya. Ayah bangga denganmu. Akhirnya, kamu bisa mendapatkan posisi yang kamu inginkan.]
[Aku baik-baik saja, Yah. Terima kasih, ya, atas ucapannya. Aku sangat senang mendapatkan ucapan selamat dari Ayah. Semua ini juga berkat dukungan dan didikan Ayah sejak dulu. Aku bisa sampai di posisi sekarang. Terima kasih banyak, ya, Yah.]
[Iya, sama-sama, Nak. Ayah turut senang mendengarnya. Kamu bisa mendapatkan promosi jabatan. Kamu pasti sangat senang sekarang dan sedang mengadakan perayaan. Kalau begitu, Ayah tutup panggilannya, ya. Ayah takut mengganggu perayaanmu. Jaga dirimu baik-baik, ya. Maaf Ayah belum bisa menemuimu. Ayah masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,] ujar sang ayah.
[Iya, Yah. Nggak apa-apa, aku bisa maklum, kok. Ayah juga jaga kesehatan dan hati-hati, ya, di mana pun berada. Bulan sayang sama Ayah.]
Telfon pun terputus tanpa sempat mendengar Ayah membalas ucapan sayang dari Bulan. Bulan hanya bisa menerimanya. Ia memasukkan kembali ponselnya di dalam tas.
"Semoga Ayah senantiasa sehat dan dalam perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa. Aku tak ingin membuat Ayah khawatir. Meski sejujurnya aku butuh sosoknya sekarang. Hadir di sini menemaniku," gumam Bulan dalam hatinya.
Bulan menunggu pemeriksaan lanjutan dirinya. Tubuhnya direbahkan. Menatap lampu yang menyilaukan. Matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Hingga akhirnya benar-benar terlelap tidur.
"Bu, Bu Bulan. Bu?" suster mencoba membangunkan Bulan dari tidurnya.
Ia tertidur beberapa jam. Tidurnya begitu pulas hingga tak menyadari suster masuk ke dalam ruangannya. Ia pun terbangun setelah kakinya ditepuk-tepuk oleh suster yang berusaha membangunkannya.
Bulan membuka matanya. Melihat senyuman suster ke arahnya.
"Ibu maaf saya mengganggu istirahatnya, saya perlu data diri Ibu dan tanda tangan Ibu. Untuk mengisi beberapa data."
"Oh, iya, Sus. Silahkan."
Suster mulai menanyai Bulan. Bulan yang tak dapat mengisi beberapa formulir sendiri terpaksa harus dibantu oleh suster untuk mengisinya.
"Ibu masih belum menghubungi pihak keluarga? Tidak ada orang yang akan datang menjenguk atau menemani Ibu selama di rumah sakit?" tanya suster.
"Memangnya harus, ya, Sus? Keluarga saya semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka. Tidak bisa ditinggalkan. Teman-teman saya pun sama. Mereka pasti sedang sibuk bekerja. Sebagian dari mereka menghandle pekerjaan saya."
"Bu, saya tidak bermaksud untuk mendesak Ibu. Tapi ini juga demi kebaikannya Ibu. Kalau terjadi sesuatu pada Ibu. Siapa yang akan bertanggung jawab atau menghubungi pihak keluarganya Ibu? Tapi kalau memang tidak ada ya sudah, Bu. Tidak apa-apa. Maaf saya lancang bertanya."
"Iya, nggak apa-apa, Sus. Nanti saya coba hubungi lagi teman terdekat saya. Siapa tahu mereka bisa. Kalau pun bisa, kemungkinan mereka akan ke sini menjenguk saya malam hari. Tapi ngomong-ngomong, Sus. Memangnya saya tidak bisa pulang hari ini, ya? Apa saya harus dirawat di sini untuk beberapa hari?"
"Kita tunggu hasil pemeriksaan lanjutan dari CT Scan. Setelah tahu hasilnya, barulah kita bisa berikan jawaban. Ibu bisa pulang atau dirawat selama beberapa hari di sini."
"Oh gitu, ya, Sus. Terus kapan saya menjalani CT Scan? Saya sudah menghabiskan beberapa jam di sini tanpa ada kepastian."
"Ibu tanda tangan di sini dulu, Bu. Pemeriksaan akan dimulai dalam waktu dua jam dari sekarang. Nanti saya akan kembali lagi ke sini. Ibu tidak usah khawatir."
"Dua jam dari sekarang? Baiklah kalau begitu, Sus. Saya akan tunggu." Bulan menandatangani formulir yang disodorkan oleh suster padanya.
"Semua formulir ini sudah saya bantu isikan dan sudah ditandatangani oleh Ibu. Ibu tinggal menunggu waktu untuk menjalani pemeriksaan CT Scan. Ibu sabar, ya. Saya permisi dulu."
"Iya, Sus."
Bulan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia kembali harus merasakan kesendirian di dalam ruangan tersebut. Hanya infusan yang menemaninya dan suara jam yang bergerak menujukkan waktu. Dirinya merasa benar-benar bosan. Tak sabar ingin segera mengetahui keadaannya. Kenapa kepalanya begitu merasakan sakit. Tapi dia harus bersabar. Menunggu dua jam lagi untuk mengetahui penyakit yang sedang ia derita. Dua jam berlalu, waktunya Bulan melalukan pemeriksaan CT Scan. Suster kembali masuk ke dalam ruangannya. Untuk membawa Bulan pergi menuju ruangan CT Scan.
"Pakai kursi roda, Sus?"
"Pakai, Bu. Ibu sudah siap untuk menjalani CT Scan, kan? Nggak tegang, kan?"
"Nggak, Sus. Saya justru tidak sabar untuk mengetahui hasil CT Scan saya."
"Bagus kalau begitu. Ibu harus siap menerima apa pun hasil pemeriksaannya, ya. Saya doakan hasilnya baik-baik saja dan Ibu bisa segera pulang."
"Terima kasih, Sus."
Bulan bangun dari ranjangnya. dibantu oleh suster. Infusannya dipindahkan dan diletakkan pada kursi roda. Bulan duduk di kursi roda, siap untuk menjalani pemeriksaan CT scan.
Perjalanan menuju ke ruang CT Scan, Bulan melihat ke sekeliling. Melihat beberapa pasien yang diantar oleh perawat. Ia juga melihat beberapa orang yang tengah menunggu di ruang tunggu rumah sakit.
Dirinya merasa kasihan pada diri sendiri. Seperti hanya dia yang harus berobat seorang diri tanpa siapa pun yang menemaninya. Ia mencoba tegar, menghadapi kenyataan pahit. Sampai tibalah kursi roda yang didorong oleh suster tiba di depan ruang CT Scan. Bulan terkejut melihat alat yang akan digunakan untuk memeriksanya. Bentuknya seperti tungku pembakaran. Hanya ada lubang kecil yang akan diisi olehnya ketika mulai diperiksa.
Di dalam ruangan tersebut terdapat beberapa perawat dan seorang dokter. Dokter yang sama yang menanyainya ketika di ruang ICU. Dokter itu melempar senyum hangat ketika melihat Bulan tiba di ruangan pemeriksaan.
"Bagaimana keadaanya, Bu? Sudah siap untuk melakukan CT Scan?" tanya sang dokter sembari melempar senyum.
"Semoga saja, Dok. Saya agak takut melihat alatnya. Ini tidak akan menyakitkan, kan? Berapa menit saya harus ada di sana?" Wajah Bulan tampak cemas. Keringat mulai mengucur.
"Tidak lama, kok, Bu. Sekitar 30-60 menit. Tidak akan menyakitkan sama sekali. Ibu tenang saja. Alat ini yang akan membantu kami menemukan penyebab sakit kepala hebat Ibu selama ini," ujar sang dokter meyakinkan Bulan.
"Ibu nggak usah takut, ya. Saya bersama Dokter ada di sini. Tidak akan terjadi apa-apa. Atur nafasnya Ibu dan tenangkan diri." Suster berusaha menenangkan Bulan yang mulai takut.
Bulan bangun dari kursi roda. Dibantu suster ia naik ke atas meja. Ia merebahkan tubuhnya. Tatapan matanya kosong, pasrah, juga takut.
"Ini nggak dicopot dulu infusannya?"
"Nggak, Bu. Yang masuk hanya kepalanya saja. Infusan itu tidak akan mengganggu, kok."
Bulan menarik nafas dalam-dalam. Matanya menatap ke atas. Ke arah lampu. Ia perlahan dimasukkan ke dalam mesin pemindai. Jantungnya berdegup kencang. Proses CT Scan padanya pun dimulai.
Bersambung