Chereads / Cahaya Terakhir Bulan / Chapter 2 - Tak Sadarkan Diri

Chapter 2 - Tak Sadarkan Diri

Wajah Deva dan Dinda mendadak berubah panik. Terlebih Deva, ia memang berniat memberikan kejutan itu untuk Dinda. Sampai menuliskan nama Dinda dan ucapan selamat untuknya. Akan tetapi, justru Bulan yang membacanya.

"Itu hanya becanda saja, kok, sayang. Aku hanya nge prank kamu saja. Aku tidak sungguh-sungguh. Cuma mau lihat reaksimu saja bagaimana kalau aku menulis seperti itu. Kamu tidak perlu curiga, aku tidak ada hubungan apa-apa, kok, sama Dinda. Iya, kan, Din?" Deva mencoba mencari alasan untuk meyakinkan Bulan.

"Iya, Bulan. Apa yang Deva katakan itu benar. Ini hanya gurauan yang dibuat oleh kami berdua. Supaya kesan lebih seru saja perayaannya," imbuh Dinda.

Bulan bungkam, tatapan matanya masih datar mengarah ke mereka berdua. Tapi akhirnya Bulan tak mau ambil pusing. Ia lebih memilih mempercayai apa yang mereka katakan.

"Ya sudah, kalau memang itu bagian dari kejutan. Aku bisa menerimanya. Terima kasih banyak, ya, kalian berdua. Sekarang sudah waktunya aku harus bekerja. Kalian juga harus kembali bekerja. Sudah waktunya."

"Iya, kamu benar, Bulan. Kalau begitu, kami berdua pamit dulu, ya. Sekali lagi selamat untukmu."

Dinda melangkah keluar dari ruangannya Bulan bersama dengan Deva. Mereka harus segera kembali ke meja masing-masing dan mulai bekerja.

"Oh, ya. Aku baru ingat. Nanti siang kita makan bersama, ya. Aku ingin traktir kalian. Sebagai bentuk perayaan dariku atas pencapaianku. Kalian tidak keberatan, kan?" ujar Bulan mengajak mereka berdua makan siang bersama.

"Tentu, kedengarannya bagus. Aku akan ikut. Bagaimana denganmu, Deva? Kau akan ikut makan siang bersama, kan?"

"Iya, aku ikut."

***

Waktu istirahat makan siang pun tiba. Bulan segera keluar dari ruangannya. Ketika ia membuka pintu ruangannya, tiba-tiba sudah ada Deva dan Dinda di balik pintu.

"Kalian? Sudah dari tadi menunggu di luar ruangan?"

"Tidak sayang. Aku dan Dinda baru hendak mengetuk pintu ruanganmu. Mengajakmu keluar untuk makan siang. Pas sekali denganmu yang baru saja membuka pintu," ujar Deva.

"Oh gitu. Aku kira kalian sudah menunggu cukup lama. Maaf kalau membuat kalian menunggu."

"Tidak apa-apa, Bulan. Mari kita keluar cari makan."

Bulan berjalan bersama Deva dan Dinda. Baru beberapa langkah. Ia merasakan sakit di bagian kepalanya. Pandangan matanya mulai kabur. Bulan hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan. Beruntungnya ia segera ditolong oleh Dinda. Dinda segera membawa Bulan untuk duduk.

"Kamu nggak apa-apa, Bulan? Kok, kamu kayak orang sakit. Hampir saja kamu jatuh. Untung aku segera tolong."

"Aku nggak tau, Din. Tiba-tiba penglihatanku kabur, kepalaku pusing. Rasanya kayak orang mau pingsan."

"Sayang kamu sakit? Aku antar ke dokter, ya, kalau kamu sakit. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa," ujar Deva yang khawatir akan keadaan Bulan.

"Aku nggak apa-apa, mungkin duduk sebentar bisa hilang rasa pusingnya. Mungkin karena dari pagi belum sarapan makanya aku jadi pusing begini."

"Kalau gitu, lain kali harusnya kamu sarapan terlebih dulu sebelum kamu berangkat kerja. Biar kamu nggak ngerasa kayak gini."

Beberapa menit digunakan untuk menunggu. Kondisi Bulan tak juga membaik. Rasa sakit di kepalanya semakin terasa. Ia terus memegangi kepalanya yang merasakan sakit.

"Kondisi kamu kayaknya semakin parah. Sudah lebih baik kamu kami antar ke dokter, ya. Takutnya terjadi sesuatu padamu."

Bulan hanya menuruti perkataan keduanya. Ia ikut mereka untuk pergi ke rumah sakit. Memeriksa kondisinya. Menaiki mobil milik Deva. Bulan diantar ke rumah sakit oleh Deva dan Dinda. Selama perjalanan, rasa sakit di kepalanya mulai mereda meski sesekali sakitnya masih terasa.

"Kalian kembali saja ke kantor. Aku bisa pergi memeriksa kondisiku sendiri. Kalian tidak perlu cemas, ya," ujar Bulan begitu tiba di parkiran rumah sakit.

"Kembali ke kantor? Aku nggak bisa meninggalkanmu dalam keadaan begini sayang. Kamu sedang sakit. Nanti terjadi apa-apa sama kamu gimana?! Aku tidak mau sampai terjadi hal buruk sama kamu. Pokoknya aku harus ikut mengantarmu. Aku mau memastikan kalau kondisimu baik-baik saja," ujar Deva menolak kembali ke kantor.

"Aku nggak apa-apa, sayang. Kamu nggak perlu cemas. Aku baik-baik saja. Kamu lebih baik pulang ke kantor sama Dinda. Nanti kalau aku sudah selesai periksa, aku akan segera kabari kamu. Kamu tenang saja. Jangan karena kamu mengantarku ke sini, pekerjaanmu jadi terlantar. Aku nggak mau kamu dan Dinda dalam masalah. Kumohon dengarkan aku," ujar Bulan.

Perdebatan sengit terjadi di antara Bulan dan Deva. Keduanya sama-sama tak mau mengalah.

"Bulan ada benarnya, Dev. Lebih baik kita kembali ke kantor. Pekerjaan kita tidak boleh sampai terlantar. Manager yang baik itu tidak pernah egois untuk memikirkan dirinya sendiri. Dia tetap berpikir untuk kepentingan perusahaan. Kita harus menghargai keinginannya. Bulan, kalau kamu sudah selesai periksa. Segera kabari kami, ya. Jangan sampai buat kami cemas. Kamu mau aku antar sampai ke ruang pemeriksaan atau cukup sampai di sini?" Dinda menyelinap di antara obrolan Deva dan Bulan. Menyetujui apa yang Bulan inginkan.

"Dinda! Kamu apa-apaan, sih! Sudah jelas-jelas Bulan sedang sakit. Sementara kamu masih memikirkan perusahaan yang belum tentu mikirin dia. Teman macam apa kamu?! Nggak kasihan kamu sama kondisinya Bulan?!" Deva marah dengan perkataan Dinda.

"Lalu kamu bisa berbuat apa, Dev? Apa yang dikatakan oleh Bulan adalah perintah atasan. Kamu mau bantah atasan kamu?!"

"Sudah-sudah. Kalian nggak usah berdebat. Lebih baik kalian segera kembali ke kantor atau kalau mau makan siang, kalian makan siang saja dulu. Sebentar lagi waktu makan siang akan segera habis. Jangan sia-siakan waktu kalian. Anggap perkataanku ini perintah dari atasan kalian. Kumohon kalian dengarkan. Aku janji, ketika sudah selesai periksa nanti. Akan segera mengabari kalian. Aku permisi," ujar Bulan seraya keluar dari dalam mobil.

"Sayang!" Deva mencoba menghentikan Bulan.

"Jalan, Dev! Kita harus segera kembali ke kantor."

Deva tak punya pilihan. Ia hanya bisa melihat Bulan yang berjalan masuk menuju rumah sakit. Deva bersama Dinda akhirnya pergi keluar dari parkiran kembali menuju kantor.

"Sandiwara yang bagus, Dev! Aku terkesan dengan apa yang kamu lakukan," ujar Dinda.

"Terkadang harus ada totalitas untuk membuat semuanya tampak nyata, kan?" sahut Deva.

Bulan berjalan dengan tergopoh-gopoh. Dari parkiran mobil, ia berjalan menuju ke lobby. Penglihatannya mulai kabur. Kepalanya kembali terasa sakit yang teramat sangat. Tiba-tiba dirinya terjatuh tepat di depan pintu lobby rumah sakit. Cahaya terang menyadarkannya dari pingsan. Matanya silau terkena cahaya lampu. Bulan melihat ke sekeliling. Dirinya kebingungan, tiba-tiba tersadar di atas sebuah ranjang dan berada di dalam sebuah ruangan. Tangannya sudah dipasangi infusan.

"Di mana aku ini? Kenapa aku bisa tiba-tiba ada di sini?" gumamnya merasa heran.

Bersambung