Chereads / Pulau OCD / Chapter 3 - Pulau Aneh

Chapter 3 - Pulau Aneh

3. Pulau Aneh

"Nanta ada pulau di sana!" Teriak Friska dengan heboh.

Sontak Nanta pun langsung mengikuti arah telunjuk Friska. Matanya menyipit, ada pulau di sana, ya ia melihatnya.

Lelaki itu menoleh ke arah Friska, kepalanya ia anggukkan mantap. "Kita berlabuh dulu ke sana," ucap Nanta.

"Menurut kamu itu pulau Glogo?" Tanya Friska. Dilihat dari kejauhan, pulau tersebut tak nampak seperti pulau wisata. Pulaunya gelap, tak ada penerangan satu pun.

Nanta menggelengkan kepalanya. "Gak tahu. Kalau pun itu bukan pulau Glogo kita harus istirahat di pulau itu," jawabnya. Sudah beberapa jam lamanya ia mendayung kapal, tangan Nanta hampir seperti mati rasa.

"Oke," jawab Friska.

Beberapa saat kemudian, mereka semakin mendekat ke arah pulau tersebut membuat kedua orang itu bisa melihat dengan jelas dari kedekatan pulau itu.

"Kayaknya memang ini deh pulaunya. Lihat gak di pulaunya bersih banget," ucap Nanta.

Friska menggelengkan kepalanya. "Gak tahu. Gak lihat," jawabnya membuat Nanta berdecak sebal. Memang suasana sudah mulai gelap, tak ada juga penerangan di tengah lautan lepas ini membuat kedua orang itu tak bisa melihat apa-apa.

Mengabaikan jawaban dari Friska, Nanta terus saja mendayung perahu mereka agar bisa berlabuh ke pulau tersebut.

Tak lama kemudian perahu yang kedua orang itu tumpangi telah sampai di pulau itu, lantas Friska dan Nanta pun langsung turun dari perahu itu. Dua pasang kaki sama-sama melangkah mendekat ke arah tengah pulau. Hanya bermodalkan dua senter hp, kedua orang itu nekat mendekat ke arah pulau yang tak tahu apakah berbahaya atau tidak.

Takut dengan suasana gelap gulita, perempuan dengan rambut yang diikat itu merapatkan tubuhnya ke arah Nanta. Angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh Friska juga membuat perempuan itu merasa merinding.

"Kenapa?" Tanya Nanta saat merasakan Friska yang mendekatkan tubuhnya ke arahnya.

"Gak papa, kok. Aku cuma kedinginan aja," dalih Friska. Padahal di dalam hati ia sangat ketakutan jikalau nanti akan ada penunggu pulau seperti apa yang ia karang tadi. Entahlah, ia yang mengarang namun ia sendiri juga yang ketakutan.

"Oh."

"Kamu gak mau gitu copot baju terus dikasih ke aku?"

"Aku juga dingin."

"Eh ya tapi kalau di film-film yang sering aku lihat, biasanya cowok tuh suka-"

Ucapan Friska terpotong saat tangan Nanta merangkul ke pundaknya dan membawa dirinya berjalan. Ada sedikit kehangatan yang menjalar ke tubuhnya saat tangan Nanta berada di pundaknya.

Kedua orang itu kemudian dalam diam berjalan menyusuri pulau tersebut. Tujuan mereka saat ini ialah mencari tempat yang sekiranya bisa untuk beristirahat.

"Menurut kamu ini Pulau Glogo?"

Pertanyaan Friska seolah mewakili Nanta. Sedari tadi pertanyaan itulah yang juga ada di kepala Nanta, tapi ia sendiri juga tak mengetahui apa jawabannya.

"Gak tahu. Tapi kalau dilihat-lihat pulau ini bersih banget buat seukuran pulau terpencil."

Friska menggerakan senter searah dengan penglihatannya. Benar apa kata Nanta, terlihat pulau tersebut sangatlah bersih, bahkan di antara banyak sekali pepohonan yang tumbuh di pulau tersebut, tak ada daun berguguran satu pun yang ada di tanah.

"Ini mah bukan bersih, tapi bersih banget. Kayaknya bener deh, ini pulau Glogo," jawab Friska.

"Mending duduk dulu. Istirahat," ucap Nanta.

Friska mengangguk. Kemudian dengan asal, perempuan itu langsung duduk di bebatuan. "Aw," pekik Friska, sedetik kemudian perempuan itu langsung berdiri dan mengelus pantatnya.

"Kenapa?" Tanya Nanta panik.

Friska mengarahkan senternya ke bebatuan yang baru saja ia duduki. "Lancip banget batunya."

Nanta tertawa kecil saat melihat kecerobohan Friska.

"Ye malah ketawa," cibir Friska.

Nanta menepuk batu di pinggirnya yang tidak lancip tentunya. "Duduk sini."

Friska mengangguk kemudian perempuan itu duduk di samping Nanta. Kedua orang itu sama-sama bungkam selama beberapa saat.

Sampai akhirnya Friska membuka suara. "Aku takut, Nan."

Nanta menoleh menatap Friska. "Its okay. Nanti kita cari jalan keluar bareng-bareng."

"Aku juga lapar."

Lelaki yang mengenakan jaket bomber itu berdecak. Bisa-bisanya Friska lapar di situasi seperti ini. Nanta mengedarkan pandangannya. Di pulau terpencil seperti ini mana mungkin ada warung makan. Tapi tunggu...tiba-tiba mata Nanta menangkap sesuatu. Lelaki itu hendak beranjak, namun sebelum ia berdiri, tangannya sudah lebih dulu dicekal oleh Friska membuatnya tak bisa berdiri. "Mau kemana?"

Melihat tangan Nanta yang menunjuk, Friska pun mengikuti arah telunjuk lelaki tersebut. Terlihat sebuah cahaya merah kecil yang ada tak jauh dari mereka. "Itu apa?" Tanyanya.

"Gak tahu. Makanya aku mau cari tahu," jawab Nanta.

Friska menggelengkan kepalanya. "Jangan. Aku takut."

"Kan aku yang nyamperin bukan kamu."

"Ya tapi aku gak mau sendirian di-"

Tanpa meminta persetujuan, Nanta menarik tangan Friska dan menariknya menuju cahaya kecil seperti laser yang tak jauh dari posisi mereka saat ini.

"Nanta kalau itu mata binatang buas gimana? Kan kucing kalau malam matanya suka ngeluarin cahaya. Nah itu kan jug-"

"Mata singa atau harimau ada dua," sela Nanta.

"Kan bisa aja harimau bermata satu."

Nanta mengacuhkan omongan Friska. Lelaki itu lebih memilih untuk mendekat ke arah cahaya tersebut, untuk mengetahui apa sebenarnya cahaya tersebut.

Sesampainya, Nanta begitu terkejut saat melihat sebuah kubus berwarna hitam yang kira-kira rusuknya berukuran 30 cm. Menggunakan senter hp, Nanta memberi cahaya ke kotak tersebut agar ia bisa melihat apa isinya. Di sisi kanan pojok terdapat sebuah cahaya merah kecil yang tadi ia lihat, di sisi kanan pul- mata Nanta langsung melotot saat melihat sebuah layar berukuran 8 x 8 cm dan terdapat touch screen layaknya gawai.

"Nanta, itu apa?" Tanya Friska. Lelaki yang sedang membungkukkan tubuhnya dan mengamati kotak tersebut hanya diam tak menjawab. "Bukan bom kan?"

Sontak Nanta pun langsung menjauhkan tubuhnya ke arah kotak tersebut saat mendengar pertanyaan dari Friska. "Itu bom?" Lanjut Friska lagi.

Nanta menggelengkan kepalanya. Ia kemudian mengamati kotak tersebut kembali saat menyadari jika benda di hadapannya itu tak mungkin bom.Dengan berani, Nanta memencet tombol yang ada di sana. Tombol yang di bawahnya bertuliskan, buka.

"Perlihatkan kartu akses untuk masuk"

"Waa! Setan!" Pekik Friska terkejut saat mendengar suara dari benda itu.

Nanta juga terkejut. Namun lelaki itu tidak menjerit layaknya Friska. Lelaki itu malah memencet tombol CS. Berharap dua huruf yang dimaksud adalah Customer servis.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara formal, datar, seperti dubber google terdengar kembali.

"Saya kehilangan kartu akses saya."

"Bisa disebutkan nama anda. Saya akan membuatkan kartu RFID yang baru."

Nanta dan Friska saling pandang. Mereka sama-sama bingung. Apa sebenarnya kotak tersebut dan siapa seseorang yang berucap.

"Kita pendatang baru yang akan daftar," ucap Friska asal membuat mata Nanta terbelalak.

"Baiklah. Silahkan isi lampiran berikut ini." Layar kecil tersebut menampilkan sebuah lampiran banyak sekali pertanyaan mulai dari nama, hingga moda transportasi yang digunakan untuk pergi ke pulau ini.

Walau sebenarnya bingung, namun kedua orang itu tetap mengisi semua pertanyaan yang ada di sana, berharap kedua orang itu menemukan hotel atau tempat istirahat di sini.

"Penyakit yang aku ketik unfalid," ucap Nanta bingung. Jikalau ini adalah form untuk masuk ke dalam hotel atau penginapan, mamun kenapa ada pertanyaan penyakit juga?

"Emang kamu tulis apa?" Tanya Friska.

"Gerd." Terlalu jujur, memang Nanta memiliki penyakit itu.

"Yaudah sih, ketik aja stres," jawab Friska asal.

"Gila!" Umpat Nanta.

Friska menyingkirkan tangan Nanta yang ada di atas touch screen, sesuai omongannya, ia mengetik stres pada kolom penyakit. Dan tanpa diduga layar itu beralih ke next page.

"Payment," gumam Friska membaca.

Sedangkan Nanta malah terbengong karena jawaban stres Friska tadi yang di-acc oleh kotak tersebut. Nanta menggelengkan kepalanya. Kemudian lelaki itu kembali lagi ke touch screen itu. Nanta terkejut kembali saat melihat ada sebuah nominal angka 1 dan 0, yang membuat ia kaget adalah angka 0 yang berada di belakang angka 1 ada 11. Yang artinya.... 10 milyar?

"10 milyar?!"

"Emang itu 10 milyar ya?" Tanya Friska dengan lugu dan santainya.

"Silahkan pilih metode pembayaran di bawah ini." Dubber kotak tersebut bersuara kembali.

"Aku gak bawa uang," ujar Nanta pada Friska.

"Kan ada m-banking."

Nanta menatap hp miliknya. Benar jika ia memiliki m-banking. Uang di dalamnya juga sebenarnya cukup. Ia termasuk orang mampu, tapi untuk membayar nominal tersebut untuk hal-hal tak jelas itu sangatlah banyak. Apalagi....

"Gak ada sinyal."

"Jaringan internet aktif."

Hp Nanta dan Friska langsung berdering berkali-kali. Ya, ada jaringan internet. Kedua orang itu sama-sama membuka mulutnya, benar ada jaringan internet yang masuk ke hp milik kedua orang tersebut.

"Cepat bayar, kan udah ada sinyal," pinta Friska dengan santai.

Nanta mendengus kesal, di dalam situasi bingung, ia tetap menjalankan perintah Friska. Ia mengikuti instruksi dari kotak tersebut hingga akhirnya dalam hitungan detik mesin yang tak diketahui namanya itu mengeluarkan dua kartu yang seukuran dengan kartu atm. Belum mereda dari rasa terkejut, kedua orang itu sama-sama terperanjat saat melihat tanah yang ada di sebelah mesin itu bergerak naik. Muncul ruangan berukuran 2 x 1 meter dengan tinggi 2,3 meter. Layaknya lift, di bagian depan terdapat segaris vertikal. Benar saja, bagian depan itu terbelah memperlihatkan....