Chereads / Pulau OCD / Chapter 7 - Ruang Terlarang

Chapter 7 - Ruang Terlarang

"Aku mau ke kamar," ucap Nanta sembari beranjak dari meja makan.

"Eh, Nan." Friska mencekal tangan Nanta membuat lelaki itu berbalik.

"Kenapa?" tanya Nanta.

"Mau kemana?" tanya Friska balik dengan nada bicara yang sangat manja.

Tangan Nanta menunjuk ke arah pintu berwarna putih yang tak jauh dari mereka. "Lihat ruangan itu, kayaknya itu kamar."

"Emang mau ngapain?"

"Aku capek, mau tidur," ucap Nanta memberi tahu.

Wajah Friska langsung cemberut saat mendengarkan jawaban dari Nanta. "Aku juga ngantuk."

"Terus?" Alis Nanta terangkat. Melihat ekspresi Friska, perasaannya sudah merasa tak enak.

"Kita bobo bareng ya?" pinta Friska dengan senyuman yang manis. Lain lagi dengan hatinya yang sebenarnya sangat takut jikalau Nanta nanti akan menolak dan berakhir ia akan tidur sendiri. Maka dari itu dengan senyuman yang sangat lebar itu ia berharap agar Nanta bisa luluh.

Nanta benar-benar dibuat terkejut dengan pernyataan dari Friska. Bahkan otaknya terasa membeku saat melihat Friska yang menatapnya dengan senyuman lebar. Selama beberapa saat ia hanya bisa diam melihat perempuan itu.

"Nanta, kenapa malah bengong sih?" Senyuman manis dari Friska tergantikan dengan wajah sebal Friska. Dan itu langsung membuat otak Nanta mencair kembali.

"Tadi bilang apa?"

"Kita tidur bareng ya? Aku capek, ngantuk, tapi aku takut kalau mau tidur sendiri, kamu baik kan? Kamu pasti mau dong tidur bareng sama aku," ucap Friska dengan nada memohon.

Nanta menggelengkan kepalanya. "Gak."

"Kamu emang tega kalau lihat aku ketakutan? Nanti kalau aku ketemu sama setan cit cit dan setan laci gimana?" bujuk Friska lagi dengan senyuman yang masih mengembang, berharap Nanta bisa terbujuk dengan senyuman manis yang telah ia pancarkan sedari tadi.

"Pokoknya enggak bisa," jawab Nanta dengan penuh penekanan.

Rengekan langsung terdengar di telinga Nanta.

"Nanta... kamu jahat banget sih, bisa-bisanya kamu tega biarin aku tidur sendiri, nanti kalau ada setan lagi gimana?" Friska terus saja merengek.

Namun Nanta tetap menggelengkan kepalanya. "Enggak mau." Tangan lelaki itu menunjuk ke pintu lain berwarna putih yang juga tak jauh dari jangkauan mereka.

"Itu pasti kamar juga, mendingan kamu tidur di sana."

Friska menggelengkan kepalanya. "Enggak mau, di dalam sana pasti ada setan lagi. Tadi kan aku sudah makan makanan yang dibuat sama setan. Aku takut nanti kalau setannya nyamperin aku buat minta bayaran," jawab Friska sembari merengek layaknya anak kecil.

Nanta berdecak kesal. "Terserah, pokoknya tidur sendiri." Bukan tanpa alasan ia menolak ajakan Friska. Walau ia dan Friska sangat dekat, tapi tetap saja ia tak pernah bermalam berdua dengan Friska. Ia pun juga lelaki normal yang mungkin saja Friska tak akan aman jikalau berada di sampingnya ketika tidur.

Friska menghembuskan nafasnya kasar. "Oke kalau gitu, gak papa. Aku bakalan tidur sendiri, gak usah pikirin aku. Aku berani kok."

Friska langsung melepaskan tangan Nanta dan langsung duduk kembali di kursi yang sebelumnya telah ia duduki.

Nanta menoleh ke arah Friska yang sedang terduduk di sana. Wajah perempuan itu merah, kedua bahu perempuan itu juga terlihat naik turun. Lelaki itu mengembuskan nafasnya sebal, kakinya kemudian melangkah ke arah seseorang yang sedang menangis itu.

"Gak usah nangis," ujar Nanta pelan sembari menghapus air mata yang ada di pipi Friska. Namun dengan cepat perempuan itu langsung menghempaskan tangan Nanta dari wajahnya. Tak lupa Friska juga langsung membuang mukanya dari pandangan Nanta.

Lelaki itu langsung mengelus keningnya sendiri saat melihat Friska sekarang. Kalau sudah seperti ini mana bisa ia menolak permintaan Friska yang sudah merajuk padanya.

"Iya tidur bareng," ucap Nanta pada akhirnya. Namun perempuan yang sekarang sedang membuang muka ditambah ekspresi cemberut itu belum juga membuka suara.

"Gak mau ya udah." Nanta langsung berjalan kembali ke pintu yang tadi hendak ia tuju.

Secepat kilat, Friska langsung beranjak dari duduknya dan langsung menyusul Nanta. "Mau," teriak Friska heboh sembari tertawa.

Nanta menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat tingkah sahabatnya itu. Padahal baru beberapa detik yang lalu perempuan itu menangis namun sekarang sudah tertawa saja.

Lelaki itu kemudian langsung menempelkan ibu jarinya ke holder pintu, beberapa kali ia menekan jarinya, namun pintu tak lekas terbuka. Nanta melihat di bawah alat yang mendeteksi sidik jari itu ada tombol angka, percuma saja karena ia juga tak mengetahui pin-nya.

Nanta beralih pada pintu yang ada di sebelah pintu itu, ia melakukan hal yang sama. Dan pintu tersebut langsung terbuka menampilkan seisi kamar. Mata Nanta dibuat tak berkedip saat melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Kamar yang sangatlah rapi dan bersih dengan cat nuansa putihnya. Nanta melangkah masuk ke dalam, matanya melihat barang-barang di sana yang sangatlah rapi, buku-buku tersusun sejajar berdasarkan warna dan bentuk. Bingkai yang sangat lurus, dan juga bantal dan selimut yang sangat amat rapi, bahkan bed cover yang menyelimuti kasur itu nampak tak kusut sama sekali.

Melihat Nanta yang masuk ke dalam, Friska pun ikut masuk ke dalam juga. Baru kaki sebelah kanan Friska menginjakkan ke lantai kamar, bunyi suara seperti bel terdengar di seisi ruangan, Friska yang panik itu langsung berlari masuk ke dalam dan mendekati Nanta.

"Ada apa, Nan? Kenapa... Itu bunyi apa, aku takut." Friska mendekatkan tubuhnya ke arah Nanta sembari menutup kedua telinga dengan tangannya. Matanya pun juga ikut terpejam.

Pandangan Nanta menelusuri seisi kamar. Ia juga terkejut saat mendengar suara seperti alarm berbunyi, apalagi sampai sekarang alarm tersebut tak kunjung diam juga. Hal itu tentu membuat Nanta bingung, lelaki itu berjalan dengan Friska yang menempelinya itu untuk mencari sumber suara tersebut. Suara aneh seperti alarm keadaan darurat terdengar dan tak kunjung berhenti. Nanta benar-benar dibuat bingung.

"Mending kita keluar aja, mungkin ini area terlarang," ucap Nanta sembari memegangi tangan Friska untuk keluar dari ruangan tersebut.

Kedua orang itu kemudian langsung keluar dari kamar itu. Benar saja dugaan Nanta, saat kedua orang tersebut keluar, bunyi alarm darurat tersebut berhenti bersuara.

"Itu kenapa, Nan? Kita gak digrebek polisi kan?" tanya Friska masih menutup telinga dan matanya.

"Aman."

"Itu bunyi apa?"

Nanta menoleh ke arah Friska. "Aku gak tahu."

"Itu bunyi apa, aku tanya?" tanya Friska lagi memaksa.

"Mungkin itu ruangan terlarang," jawab Nanta dengan asal. Ia menjawab hanya tak ingin Friska berisik.

"Kalau ruangan itu terlarang kenapa kita bisa masuk? Kalau ruang terlarang kenapa gak dikunci," jawab Friska sembari merengek sebal.

Nanta mengerutkan keningnya. Benar apa yang dikatakan oleh Friska. Lelaki itu kemudian melihat ibu jarinya, jikalau memang benar itu ruang terlarang, kenapa ia bisa mengakses ruangan itu menggunakan sidik jarinya. Ia juga mengingat tadi saat ia masuk alarm tak berbunyi selama beberapa saat. Namun saat Friska masuk, alarm dengan cepatnya berbunyi. Atau mungkin....

"Ruangan itu mungkin terlarang bagi kamu, bukan aku."