Sudah hari ketiga Nanta dan Friska berada di tempat yang tak mereka ketahui dengan jelas. Di hari yang masih pagi ini, Nanta berada di kamarnya sedang meminum kopi hasil dari alat yang entah mengapa langsung bisa membuatkan kopi begitu ia terbangun.
Kopi hitam hangat menemani Nanta dan pikiran Nanta yang begitu runyam. Pikirannya benar-benar terus saja memikirkan tempat ini, apa sebenarnya tempat ini. Ada sedikit rasa takut bagi Nanta jikalau ia nantinya tidak akan bisa kembali lagi ke rumahnya dulu, mengingat ia sama sekali tidak mengetahui dimana letak persis tempat ini.
Nanta yang baru saja menyeruput kopinya itu langsung meletakkan cangkir ke atas meja, namun karena ia tak fokus, jadilah kopi tersebut sedikit tumpah ke lantai, untung saja gelas yang ada di sana tak sampai terjatuh hingga pecah.
Nanta yang melihat lantai kotor karena kopi itu langsung beranjak, ia keluar dari kamarnya untuk mencari alat untuk membersihkan lantai. Lelaki itu sedang berada di dapur, ia mencari-cari dimana alat pel berada, tapi sayangnya ia sama sekali tak menemukan apa-apa. Ia hanya menemukan tissue toilet. Dan dengan tissue itu ia kembali lagi ke kamarnya.
"Hah?" Lelaki itu terkejut saat melihat lantai yang sebelumnya kotor karena kopi sekarang sudah bersih kembali. Langkah kakinya mendekat ke arah lantai itu, ia menyentuhnya, tak basah dan tak seperti habis dibersihkan, lantai tersebut bersih seperti sebelumnya.
"Gak mungkin kalau ini ulah Friska, dia kan kalau ke sini alarm bunyi," gumam Nanta dengan bingung. Tapi untuk memastikannya, ia keluar dari kamarnya. Kebetulan sekali saat ia keluar Friska juga baru saja keluar dari kamarnya.
"Kamu habis dari kamar aku?" tanya Nanta.
Friska yang sedang menguap sembari merenggangkan tubuhnya itu menatap Nanta dengan bingung. "Kamu ngimpi? Mana ada aku ke kamar kamu," jawab Friska sembari berjalan menuju ke meja makan.
Nanta menyusul Friska dan ikut duduk di depan perempuan itu. "Enggak, aku udah bangun dari tadi."
"Lah terus?"
"Tadi aku menumpahkan kopi di lantai kamar, terus aku keluar buat ambil pel, tapi pas aku balik lagi tiba-tiba lantainya udah bersih," cerita Nanta.
Mata Friska yang sebelumnya masih menyipit karena mengantuk itu sekarang langsung terbuka lebar. "Hah? Beneran?"
Pandangan Friska langsung tertuju ke arah pintu kamar Nanta dengan bergidik ngeri. "Jangan-jangan...."
Alis Nanta terangkat menunggu lanjutan ucapan Friska.
"Jangan-jangan ada setan cit cit, Nan," sambung Friska dengan wajah panik.
Nanta langsung berdecak saat mendengar jawaban wanita yang ada di hadapannya.
"Kita itu bodoh, Nan. Gak mungkin kita bisa ngerti dengan semua ini. Aku aja semalaman mikir kalau, kita sedang ada di alam mimpi."
Nanta tak menampik jikalau Friska bodoh. Namun kata kita mengusik dirinya, ia merasa jika dirinya tak sebodoh Friska. Tapi walau begitu, ia pun juga sama dengan perempuan itu, ia tak mengerti dengan semua ini.
"Hanya ada satu cara buat tahu semua ini," ucap Nanta pelan.
"Apa?"
"Penghuni rumah sebelah.... Rumah 17 B."
***
"Gak ada tanda apa-apa," ucap Nanta pada Friska.
Kedua orang itu sekarang sedang berada di depan rumah mereka tepatnya berada di pojok gerbang, perbatasan antara rumahnya dengan rumah bernomor 17 B. Sudah sekitar lima belas menit lamanya mereka ada di sana, mereka ingin menyelidiki mengenai lelaki yang kemarin bertemu dengan mereka. Tujuannya sudah jelas, mereka ingin mengetahui lebih lanjut mengenai tempat ini.
"Iya sih, mending aku masuk aja, nanti kalau ada apa-apa kamu panggil aku ya," ucap Friska dengan lemas, perempuan itu sepertinya sudah capek akibat berdiri sekitar lima belas menit lebih.
Nanta menatap Friska dengan datar. Tak ada jawaban apa-apa yang keluar dari mulut Nanta.
Beberapa saat kemudian, Nanta mendorong tubuh Friska mundur karena ia melihat seorang lelaki yang sama seperti kemarin dengan balutan jaket tebalnya keluar dari rumah. Lelaki itu berjalan keluar dari gerbang entah pergi kemana.
Kedua orang itu langsung mengikuti ke arah lelaki tersebut.
"Dia mau kemana ya?" tanya Friska.
Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya pertanda jika ia tak mengetahuinya.
Mereka belum terlalu jauh berjalan dari rumah, lelaki yang diikuti oleh Nanta dan Friska itu sepertinya juga tak sadar jikalau sedang diikuti. Namun tiba-tiba lelaki itu berhenti membuat Friska dan Nanta ikut berhenti. Nanta harap-harap cemas, ia takut jikalau nantinya mereka akan ketahuan. Tapi beruntungnya lelaki itu justru hanya diam saja. Hingga secara tiba-tiba lelaki itu jatuh dan sepertinya tak sadarkan diri membuat Friska dan Nanta langsung berlari mendekatinya.
Saat mereka sampai di hadapan lelaki itu, benar saja dia memejamkan matanya.
"Kita bawa aja ke rumahnya," ucap Nanta sembari mengambil tas yang ada di tubuh lelaki yang sedang tergeletak itu dan menyerahkan ke Friska, sedangkan ia sendiri menggendong tubuh lelaki asing itu ke untuk ia bawa ke rumah.
Tak lama kemudian, mereka hampir sampai ke rumah mereka.
"Kita mau bawa dia kemana? Rumah kita atau dia?" tanya Friska.
Nanta yang sedang menahan berat karena tubuh lelaki itu pun menjawab, "ke rumah dia saja. Mungkin di sana ada obat atau semacamnya yang bisa buat dia sadar."
Friska hanya menganggukkan kepalanya.
Kemudian kedua orang itu telah sampai di depan rumah dengan nomor 17B.
"Gimana caranya kita masuk?" tanya Friska.
"Kamu buka tas itu. Cari kartu akses," jawab Nanta. Sontak Friska langsung membuka tas yang ia bawa. Tangannya membuka-buka isi di dalam waist-bag tersebut, hingga akhirnya menemukan yang ia cari.
"Ini?" tanya Friska memperlihatkan pada Nanta.
Lelaki itu mengangguk. "Good. Sekarang kamu tempelkan kartu itu ke kotak hitam pinggir pagar," ucap Nanta menginstruksikan.
Friska menempelkan kartu seperti apa yang dikatakan oleh Nanta. Sedetik kemudian pintu gerbang terbuka membuat Friska terkejut.
"Udah, cepetan masuk," tegur Nanta pada Friska yang sekarang melamun menatap pagar yang bergerak sendiri.
Friska membuyarkan lamunannya, ia kemudian langsung mengikuti Nanta yang berjalan dengan cepat. Mungkin lelaki itu merasa keberatan karena menggendong lelaki yang tak dikenalnya itu.
"Masuknya gimana?" tanya Friska saat mereka sampai di depan pintu.
Nanta menundukkan badannya. Kakinya yang menopang berat badannya dan lelaki itu sampai ikut bergetar karena keberatan.
"Kamu tempelkan ibu jari cowok ini ke holder pintu."
Dengan sigap, Friska langsung menempelkan ibu jari lelaki itu ke holder pintu yang ada di sana membuat pintu tersebut langsung terbuka.
Nanta yang berada di ambang pintu itu sempat terkejut saat melihat pemandangan yang ada di dalam rumah, dimana semua tatanan, semua henda sama persis dengan apa yang ada di dalam rumah yang ia tempati bersama dengan Friska.
Namun karena tubuhnya menopang beban berat, dengan cepat ia langsung masuk ke dalam rumah dan meletakkan lelaki itu di atas sofa.
"Nan, kita gak salah rumah kan?" tanya Friska sembari mengedarkan pandangannya.
"Enggak," jawab Nanta sembari merenggangkan tangannya.
"Kenapa bisa sama ya?" tanya Friska lagi.
"Gak tahu," jawab Nanta. Sedetik kemudian Nanta beranjak masuk ke dalam rumah untuk mencari sesuatu yang mungkin saja akan membuat lelaki itu bangun, tentu saja ia memanfaatkan kartu akses milik lelaki itu.
Beberapa saat kemudian Nanta kembali lagi, lelaki itu tak menemukan apa pun. Mungkin ia bisa saja masuk ke dalam kamar lelaki itu. Namun ia takut jikalau nanti alarm berbunyi seperti yang terjadi di rumah yang ia tempati bersama dengan Friska.
"Mana, Nan?" tanya Friska saat melihat Nanta yang mendekat dan langsung duduk di sofa.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. "Aku gak nemuin apa-apa. Kita tunggu saja dia sadar," jawab Nanta.
Menit demi menit berlalu, kedua orang tampak menatap lelaki yang sedang memejamkan matanya itu, mereka menunggu mata tersebut terbuka.
Hingga akhirnya beberapa saat kemudian lelaki itu membuka mata, ia nampak mengamati tubuhnya sendiri, mengamati sekeliling dan.... Dan lelaki itu tampak sangat terkejut dengan kehadiran Nanta dan Friska. Dengan wajah yang panik dia beranjak dan berlari tertatih-tatih menjauhi kedua orang itu ke pojok ruangan. Tangannya nampak mengambil sesuatu di kantongnya dan segera mengenakan sebuah masker medis ke sebagian wajahnya.