Hari berganti. Sudah beberapa hari lamanya Friska dan Nanta tinggal di tempat yang mereka sendiri tak tahu dimana dan apa gunanya. Namun walau begitu, mereka sama sekali belum memiliki niat untuk keluar dari tempat itu. Kedua orang itu masih nampak asyik menikmati fasilitas yang ada di pulau tersebut. Terutama Nanta, lelaki itu pagi-pagi sekali sudah berada di ruang tamu membaca buku ditemani oleh secangkir kopi yang masih terlihat berasap di atasnya.
Beberapa menit kemudian, kopinya sudah tandas tak tersisa. Nanta beranjak sembari membawa cangkir tersebut setelah meletakkan buku yang baru saja ia baca ke rak.
Lelaki itu telah sampai di dapur. Ia meletakkan cangkirnya ke atas alat berbentuk kotak seperti aquarium versi kecil yang di dalamnya terdapat sedikit air. Saat ia memasukkan cangkir tersebut dengan otomatis air berputar dan mengeluarkan busa. Nanta tak terkejut. Sudah beberapa kali ia melihat itu. Nanta berjalan menuju ke kamarnya, namun entah mengapa matanya menangkap sesuatu yang aneh tertempel di tembok.
Ia mendekat, matanya memicing mengamati benda berkilauan berwarna hitam yang kira-kira memiliki luas sekitar 1 cm. Di tengah-tengah benda tersebut terdapat bulatan kaca cembung kecil yang mengkilap. Nanta mengamatinya. Apa itu kamera?
Kemudian pandangannya mengedar ke seluruh isi ruangan. Memang tak ada CCTV di rumah mereka. Bahkan di luar pun ia juga belum pernah melihat ada kamera CCTV.
"Nanta!" Panggil Friska dengan heboh membuat Nanta langsung mengalihkan perhatiannya kepada perempuan tersebut.
Nanta tak menanggapi panggilan dari Friska. Lelaki itu hanya mengangkat alisnya.
"Olahraga yuk?" Ajak Friska dengan nada yang bersemangat.
Nanta mengamati penampilan Friska. Atasan kaos polos berwarna abu dipadukan dengan celana leging berwarna hitam polos, serta rambut perempuan itu yang diikat, padahal biasanya rambut pendek tersebut selalu di biarkan begitu saja.
"Sejak kapan suka olahraga?" tanya Nanta. Ia mengenal betul perempuan tersebut. Dan olahraga jelas bukanlah seperti Friska. Friska yang asli ialah Friska yang selalu tidur sepanjang waktu, dan selalu memiliki alasan males gerak untuk melakukan sesuatu.
"Aku gak suka olahraga sih, aku cuma pengen tinggi aja. Apa ya olahraga yang bikin tinggi?"
"Kenapa pengen tinggi?"
"Semalem aku mimpi jadi model, tapi aku dimarah-marahin sama klien karena celana yang mau aku pakai buat pemotretan kepanjangan semua. Makanya aku pengen tinggi siapa tahu mimpi itu adalah petunjuk bagi aku, kalau besok aku udah besar aku bakalan jadi model."
Nanta hanya menganga mendengar cerita konyol Friska. Random sekali, pikir Nanta. Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba ingin olahraga, itu pun alasannya karena mimpi. Memang sih, perempuan itu memiliki tinggi badan yang bisa dibilang pendek dari perempuan pada umumnya. Namun tetap saja olahraga karena mimpi adalah sesuatu hal yang sangat konyol.
"Semalam katanya marah," sindir Nanta sembari mendekat ke arah kursi yang ada di meja makan.
"Aku lupa." Friska terkekeh. "Ya sudah sih, berhubung aku lupa. Aku gak marah lagi."
"Cerita dulu semalam Rey ngomong apa sama kamu," tanya Nanta.
"Lah, masih penasaran kah?" jawab Friska sembari tertawa terbahak-bahak.
Perempuan yang duduk di sebrang Nanta dan terhalang oleh meja itu berdehem. "Jadi kemarin Rey ngomong...." Friska menghentikan ucapannya. Kepalanya ia ketuk-ketukkan menggunakan jari kelingkingnya. Kedua matanya melirik ke atas seolah-olah perempuan itu sedang berpikir dengan keras.
"Ngomong apa?" sewot Nanta dengan kesal. Padahal ia benar-benar penasaran. Namun Friska terus saja tak segera menceritakan semuanya.
"Ais, aku lupa sih. Pokoknya kemarin ngomong random aja. Tapi beneran kok si Rey ngomong, dia juga ketawa-tawa."
"Ketawa?"
"Iyalah. Aku kan lucu."
"Najis."
"Ayo sekarang olahraga," ajak Friska sembari beranjak dari duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya seperti sedang pemanasan.
"Big no!"
***
Dari ujung timur, sinar matahari tampak terik di pagi hari. Seorang orang lelaki dan perempuan sedang berlari-lari kecil di pinggir jalan. Ya, mereka adalah Nanta dan Friska.
Sebenarnya Nanta sangat enggan untuk olahraga. Ia pun juga sama males geraknya dengan Friska. Dulu setiap harinya yang ia lakukan hanyalah mengurung diri di kamar sembari menonton anime kesayangannya atau kalau tidak ya nge-game.
Namun atas perintah dari Friska yang bersifat mutlak ia pun harus tetap ikut perempuan tersebut untuk joging. Ah, ia saja tak tahu apa joging bisa membuat Friska tumbuh tinggi atau tidak.
Sudah sekitar 200 meter-an, Nanta dan Friska berlari. Namun perempuan yang memiliki tinggi sekitar 155 cm itu sudah menunduk sembari memegangi lututnya dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Ayo lanjutin."
Tangan Friska melambai-lambai kepada Nanta, memberi kode jikalau ia sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan.
"Udah?" tanya Nanta sembari menghembuskan nafasnya kesal.
Friska menganggukkan kepalanya. Setelah itu, ia langsung berbalik badan dan berjalan dengan santai menuju ke arah rumah kembali.
Nanta hanya bisa mengikuti perempuan itu kembali. Padahal ia sudah capek-capek mengumpulkan niat, namun dengan kurang ajarnya Friska menghancurkannya begitu saja dengan hanya berlari sejauh 200 meter. Tapi tak apalah, ia pun juga sebenarnya malas. Tapi bagaimana Friska bisa tinggi bak model sungguhan jika hanya berlari sejauh 200 meter saja sudah menyerah.
Mereka berjalan bersama dengan santai, hingga akhirnya mereka telah sampai di depan rumah Rey. Nanta dan Friska sama-sama memandangi ke arah rumah tersebut saat mereka melihat sebuah benda aneh di depan gerbang. Benda beroda empat berwarna hitam dengan ukuran 80cm x 180 cm serta tinggi sekitar satu meter.
"Itu mobil?" tanya Friska.
"Mungkin."
"Tapi kok gak ada supirnya?" tanya Friska sembari mengintip dari kejauhan.
Nanta mengendikkan bahunya. Ia pun juga tak tahu.
Tiba-tiba perhatian mereka langsung teralihkan saat melihat sebuah brankar beroda yang berjalan sendiri. Yang membuat mereka terkejut bukanlah brankar yang berjalan sendiri, melainkan peti yang biasa digunakan untuk orang meninggal ada di atasnya.
"Itu?" tunjuk Friska kepada mobil yang terbuka di bagian belakang bersamaan dengan berhentinya brankar tersebut di depannya. Perlahan tapi pasti peti tersebut masuk ke dalam mobil itu dengan sendirinya.
Setelah peti masuk seutuhnya, pintu kembali tertutup. Benda semacam mobil itu langsung berjalan dengan kecepatan sekitar 60 km/jam. Nanta dan Friska hingga tak bisa berkata-kata serta mata mereka yang sama-sama melebar saat melihat benda semacam mobil itu menghilang begitu saja.
"Itu peti..."
"Peti buat orang meninggal."
Friska menoleh ke arah Nanta. Kemudian kepalanya ia anggukan. Walau pun ia tak terlalu pintar, namun ia tahu betul jikalau benda tersebut adalah peti untuk orang meninggal. Apa itu artinya Rey... meninggal?
Nanta mengecek lagi nomor rumah yang ada di depannya, 17 B, mereka tak salah, ini adalah rumah Rey.