Banyak pepohonan di sekitar pulau membuat suasana Pulau Triwu sangatlah sejuk, bukit-bukit yang dipenuhi oleh pepohonan hijau nampak indah, ditambah lagi dengan laut tenang yang mengitari pulau menambah kesan alami dan menenangkan. Ya, Nanta dan Friska sekarang sedang menikmati pulau Triwu dengan segala keindahannya, mungkin hanya Friska saja yang menikmati karena lelaki yang duduk bersandar di pohon itu nampak tak ada raut menikmati sama sekali di wajahya.
"Nanta, kita nanti nyebur terus nanti kita naik bukit juga ya," pinta Friska.
"Gak."
Friska memasang wajah cemberut. "Kenapa?"
Tangan Nanta menutupi mulutnya yang sedang menguap. Kemudian lelaki tersebut mengambil sebuah cangkir yang berisikan kopi lalu menyeruputnya. "Aku ngantuk," jawabnya singkat. Bagaimana tidak, tadi pagi ia baru saja tidur dua jam lamanya, dan dengan seenaknya Friska sudah membangunkannya lalu menyuruhnya untuk bersiap-siap untuk berangkat menuju ke pulau Triwu. Sangat tak sopan bukan? Mungkin jika ia tak mengingat Friska adalah sahabatnya sedari kecil, mungkin ia akan melempar perempuan bertubuh mungil itu ke lautan lepas.
"Kan udah minum kopi, jadinya udah gak ngantuk dong, ayo ah," ajak Friska dengan paksa.
"Aku-"
"Kamu mau aku pergi sendiri?" Sela Friska membuat Nanta berdecak sebal.
"Nanti. Aku mau tidur sebentar." Nanta menyandarkan tubuhnya dan mengesek-gesekkan punggungnya ke pohon untuk mencari posisi ternyaman. Matanya kemudian terpejam berusaha mengistirahatkan tubuhnya yang sudah lemas akibat terlalu capek dalam perjalanan, juga karena durasi tidurnya yang sangat pendek. Angin di pulau ini juga berhembus secara kencang seakan membujuk lelaki itu untuk tidur.
"Gak ada tidur-tiduran! Emang mau pas tidur kamu dirasuki sama penunggu yang ada di sini? Gak mau kan? Eh... Tahu gak? Dari yang aku baca dari sosial media, di sini tuh ada banyak sekali penunggunya, katanya juga penunggunya suka merasuki orang yang suka tertidur di-"
"Permisi, Mbak, Mas."
"Wa! Penunggunya datang?!" Teriak Friska. Perempuan itu dengan cepat langsung menghambur ke tubuh Nanta, memeluk tubuh lelaki tersebut.
Bibir Nanta berkedut saat melihat tubuh Friska yang menyatu dengan tubuhnya. Ia heran bagaimana perempuan se-penakut ini bisa mempunyai hobi traveling ke tempat seperti ini?
"Iya, Mbak. Saya Sarto, penunggu pulau Triwu."
Tangan Friska yang melingkar di tubuh Nanta itu semakin mengerat ke tubuh Nanta saat mendengar suara yang menyatakan pengakuan identitas penunggu pulau tersebut. Pasti ini gara-gara Nanta yang tertidur makanya penunggunya datang, pikir Friska. Ah, tapi apa benar? Tadikan Friska hanya mengarang cerita saja.
"Maaf ada apa ya, Pak?" Tanya Nanta. Lelaki itu masih membiarkan Friska yang memeluk erat tubuhnya.
"Saya mau menawari kunjungan ke pulau lain yang tak jauh dari sini-"
Friska dengan cepat melepaskan tubuh Nanta. Lalu pandangan perempuan itu langsung beralih kepada lelaki tua yang ada berdiri tak jauh darinya. Ia mengamati dari atas hingga bawah. Pandangan Friska kemudian terpaku kepada kaki lelaki tua itu. Friska menghembuskan nafasnya lega saat melihat kaki lelaki itu menapak. Itu artinya pria tua itu adalah orang.
"Bapak bukan penunggu?" Tanya Friska.
"Saya penunggu pulau ini."
Friska menatap pria tua itu dengan bingung. Tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tapi kok kayak manusia ya?" Tanya Friska.
"Saya buka setan, Mbak."
Friska menganggukkan kepalanya walaupun sebenarnya wajahnya masih bingung.
"Bapak mau nawarin apa?" Tanya Nanta membuat pria tua itu mengalihkan perhatiannya dari Friska yang masih bingung.
"Ke pulau lain, Mas. Gak jauh dari sini, cuma satu kilo meter aja, murah kok, cuma dua ratus ribu per satu orang."
Nanta menoleh ke arah Friska. Dalam diam ia mengisyaratkan apa Friska mau atau tidak.
Tangan Friska menunjuk ke arah beberapa kapal yang ada di ujung pulau. "Itu kapalnya di sewain?" Tanya Friska.
"Iya, Mbak. Harganya seratus ribu per satu jam."
"Kalau pulau-nya ada di sebelah mana?"
"Gak jauh dari sini kok, Mbak. Cuma ke arah situ lalu ke arah...."
***
Nanta sangat kesal sekali dengan Friska. Pertama, perempuan itu tadi mengajaknya untuk menyewa kapal dayung, catat! Kapal dayung. Kedua, ia pikir Friska akan mengajaknya berputar-putar di sekitar pulau Triwu, namun salah, perempuan itu malah mengajaknya pergi menuju ke pulau Glogo, pulau yang tadi diberitahukan oleh lelaki tua yang Friska sebut penunggu itu. Ketiga, informasi tentang jalan menuju ke pulau Glogo tak jelas, hanya mengandalkan ingatan Friska dan kertas yang Friska coret-coret tak jelas, perempuan itu menyebut jika kertas tersebut adalah peta. Keempat, cuaca sangatlah panas, bayangkan saja, di tengah lautan di siang menjelang sore hari dengan matahari yang sangatlah terik, itu adalah suasana tak mengenakan, lebih baik ia tidur di kamarnya sembari menonton anime atau memainkan mobile game-nya. Kelima, perahu yang kedua orang itu kendarai adalah perahu dayung, yang artinya akan ada seseorang yang mendayungnya. Tak perlu dijelaskan lagi kan siapa yang bertugas mendayung? Yang paling menjengkelkan adalah keenam, karena tak tega dengan Friska, juga tak mau Friska pergi sendiri, dengan perasaan tak ikhlas dan terpaksa Nanta pun harus menuruti semua kemauan perempuan tersebut.
"Kita kemana lagi?" Tanya Nanta.
Friska mengamati peta buatannya. Ia memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri. Sesekali ia mengangkat kertas itu untuk mengamati peta buatannya sendiri yang nampak membingungkan. "Em kita lurus aja terus," jawabnya dengan ragu.
"Beneran?" Tanya Nanta sembari menoleh ke belakang, dimana Friska berada. Saat Nanta menoleh, Friska dengan mantapnya menganggukkan kepala.
"Kamu gak yakin?" Friska memperlihatkan kertas yang ada di tangannya ke Nanta. Jarinya kemudian menunjuk salah satu garis yang ada di kertas itu. "Kan kita lagi di sini, terus kita tuh harus-"
"Stop! Gak usah diterusin," ucap Nanta. Lelaki itu kemudian menolehkan kepalanya menuju ke depan dan langsung mendayung perahu tersebut. Percuma ia diberitahu oleh Friska mengenai peta tersebut, toh ia tak mengerti bahasa manusia seperti Friska.
Beberapa saat kemudian mereka telah mendayung perahu cukup jauh, namun sayangnya mereka tak jua menemukan pulau Glogo yang katanya indah itu.
Hingga beberapa jam kemudian, hari sudah mulai menggelap, langit sudah mulai berwarna orange, sangat indah sebenarnya, namun keindahan tersebut rasanya tak pas dinikmati pada situasi Friska dan Nanta saat ini.
"Gimana? Kita kemana lagi? Udah mulai sore ini," ucap Nanta dengan nada yang sedikit meninggi.
Friska menggenggam kertas yang ia bawa dengan erat. Tangannya bergetar ketakutan.
"Kenapa diem?! Jawab pertanyaan aku!"
Friska mendongakkan kepalanya dengan takut. "Aku gak tahu. Dari tadi... Em, dari tadi aku kasih tahu kamu secara asal, aku mengarang, aku gak tahu."
Nanta menatap Friska tak percaya. "Hah? Be... Beneran?!"
Friska mengangguk dengan takut. Tangannya kemudian meremas kertas yang ia pegang menjadi sebuah bulatan. "Aku gak ngerti sama peta yang aku buat," ucapnya pelan.
Nanta mengacak rambutnya frustasi. Bukan, ini bukan kesalahan Friska, ini adalah kesalahan dirinya yang sudah mau mengikuti apa kata Friska dan mempercayai ucapan perempuan dengan otak separuh itu.
"Bener-bener ya, heh?! Ini lautan, jangan main-main kalau terjadi sesuatu sama kit...."
Pandangan Friska menoleh ke samping. Ia tak kuasa melihat wajah marah Nanta. Itu sangatlah menakutkan. Namun mata Friska malah melihat sesuatu. Indera penglihatan Friska menyipit, ia melihat sesuatu. Ya! Ada sebuah pulau di sana.
"Nanta! Ada pulau di sana!" Teriak Friska dengan heboh.