"Enak banget ya Ma burgernya!" Ucap Arzan sambil memakan cheese burger yang dibelikan oleh Tristan.
"Enaklah, gratis! Mana ada makanan gratis yang nggak enak!" Ketus Yurika.
Walau yang bicara hanya seorang anak kecil, tapi ia selalu membalasnya dengan kata-kata yang menyakitkan. Yurika melirik Vania dan Arzan memberi pertanda bahwa ia tak suka dengan keduanya.
Arzan sangat lahap memakan burger tersebut, karena semenjak Papanya meninggal, ia belum pernah lagi memakan burger seenak ini.
"Arzan mau lagi bugernya?" Tawar Tristan dihadapan Arzan.
"Pa, buang-buang uang aja deh! Mending untuk makan anak sendiri dari pada untuk anak orang lain!" Tutur Yurika yang kesal dengan Tristan karena mengistimewakan Arzan.
Arzan menolak karena perutnya sudah kenyang, ia tidak ingin nambah lagi. Selesai makan, mereka semua kembali ke mobil.
"Pa, bulan depan jadi kan kita jalan-jalan keluar kota?" Tanya Yurika.
"Iya, insya Allah. Arzan mau ikut juga nggak?"
Arzan yang mendengar bahwa dirinya ditawari untuk ikut jalan-jalan langsung bereaksi, "yeaaay ... ikut dong!" Arzan memang senang jika diajak jalan-jalan.
"Kalau mau ikut, kumpulkan uangnya! Karena nggak ada yang gratis di dunia ini!" Sahut Mbak Yurika.
"Iya Mama, nanti Arzan sama Mama Vania nabung deh!" Jawab Arzan dengan polosnya.
Fokus Vania sekarang adalah mencari pekerjaan, karena tidak mungkin ia hanya berharap kebaikan dari orang lain.
"Mamamu suruh kerja biar punya uang, jadi bisa untuk jalan-jalan!" Ucap Yurika.
"Mama, kerja dong!" Titah Arzan.
"Iya, nanti Mama akan mencari pekerjaan kok!
Vania yakin, ia bisa mencari rejeki, namun saat ini memang belum ia temukan jalan rejeki tersebut.
***
"Vania!" Panggil Ibu Rani, mertua Vania. Vania yang sedang berada di dalam kamar, langsung menghampirinya.
"Ada apa, Bu?"
"Ini ada surat untuk Erik, coba kamu baca!" Ucap Ibu Rani sambil memberikan surat tersebut pada Vania.
Vania membukanya, lalu ia membacanya. Surat ini berisi tagihan hutang, ternyata Erik mempunyai hutang pada Bank yang jumlahnya lumayan besar.
"Lima puluh juta ..." Gumam Vania. Ia harus membayar hutang almarhum suaminya itu sebesar lima puluh juta rupiah, 'dari mana aku mendapatkan uang sebanyak ini?' Batin Vania.
Vania baru mengetahui kalau Erik mempunyai hutang sebanyak itu, karena selama ini Erik tidak pernah membicarakan masalah hutangnya ini pada Vania. 'Untuk apa ia uang sebanyak ini?' Batin Vania terus bertanya-tanya.
Ketika orangnya sudah meninggal, hutangnya tetap harus dibayarkan, karena jika tidak, akan ditagih di alam kubur, itu yang Vania pahami.
"Itu surat apa Van?" Tanya Ibu Rani.
"Tagihan hutang dari bank, Bu!"
Ibu tercengang, seolah tidak percaya bahwa anaknya yang sudah meninggal itu mempunyai hutang.
"Untuk apa ia sampai berhutang sebanyak itu?"
"Aku juga nggak tau, Bu! Mas Erik nggak pernah cerita."
Sebagai seorang suami, Erik cukup tertutup dalam masalah keuangan. Sebenarnya Vania tidak mempermasalahkannya, yang terpenting kebutuhan sehari-harinya terpenuhi.
Kepala Vania tiba-tiba pusing, ia harus memikirkan dari mana mendapatkan uang sebanyak itu? Singgah di dalam rekeningnya saja belum pernah uang sebanyak itu, bagaimana harus membayar hutang?
Ia membuka laci lemarinya, ia masih menyimpan cincin pernikahannya, ia berniat akan menjualnya untuk mencicil hutang suaminya itu.
Vania menitipkan Arzan pada ibu Rani, lalu ia beranjak pergi ke toko perhiasan. Setelah sampai di toko perhiasan, ia langsung menjual cincin dua puluh empat karat miliknya. Cincin seberat lima gram itu laku dengan harga empat juta rupiah.
"Alhamdulillah ..." Ucap Vania. Ia bisa mencicil hutang suaminya itu, sisanya bisa ia pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Tin ... Tin ...
Vania mendengar suara klakson mobil, ia langsung menoleh ke belakang, ternyata itu adalah mobil Tristan.
"Van, mau pulang?" Tanya Tristan dari dalam mobil.
"Iya, Mas!"
"Yuk bareng!" Tristan mengajak Vania pulang bersama, karena ia merasa kasihan dengan Vania jika harus berjalan kaki.
Vania membuka pintu mobil bagian belakang, "Van, naiknya di depan aja, biar nggak seperti supir dan majikan!" Titah Tristan sambil tertawa karena melihat Vania yang kaku.
"Maaf, Mas!" Vania menutup kembali pintunya, lalu ia naik di jok depan.
Tristan memandang Vania, "kamu ke pasar beli apa?"
"Aku habis jual emas."
"Untuk apa?"
Vania terdiam, sebenarnya ia tidak ingin menceritakan masalah ini pada siapapun, tapi tak ada salahnya juga jika cerita pada Tristan karena ia adalah kakak kandung Erik.
"Mas Erik meninggalkan hutang di bank sebesar lima puluh juta. Aku juga nggak tau untuk apa uang itu, Mas!"
Mas Tristan pun kaget, ia juga tidak dapat menebak untuk apa almarhum adiknya itu mempunyai pinjaman sebesar itu.
"Jadi kamu baru tau masalah hutang Erik ini?" Tanya Tristan.
"Iya, kemarin surat tagihannya datang ke rumah."
"Kamu sabar ya Van, semoga ada jalan keluarnya. Nanti akan aku bicarakan juga pada Yurika!"
Jika dibicarakan pada Yurika, itu bukan solusi. Tapi biasanya ia malah berkata-kata yang menyakitkan. Menurut Vania, Kakak iparnya itu sangat senang jika dirinya sedang berada dalam kesulitan.
Tristan mulai curi-curi pandang, 'kapan lagi bisa berduaan dengan Vania.' Batinnya. Ia melirik tangan Vania yang putih dan mulus. Jantungnya mulai tak karuan, ia merasakan degub cinta dalam hatinya.
'Andai punya istri secantik Vania, pasti aku tidak akan malu mengajaknya kemana-mana' Batin Mas Tristan.
Setelah sampai di depan rumah, Vania langsung turun dari mobil Tristan. Yurika yang sedang menyapu teras rumahnya, melihat pemandangan itu.
"Dari mana kalian berduaan?" Tanya Yurika sambil menghampiri mereka berdua.
"Aku nggak sengaja ketemu sama Vania di jalan, Ma! Yaudah, aku suruh dia naik ke mobil, dari pada jalan kaki, lama."
"Iya Mbak, benar apa yang dikatakan Mas Tristan."
Mbak Yurika memandang Vania dari ujung rambut sampai ujung kaki, ia ingin mengikuti cara berpakaiannya yang sangat modis, namun belum mampu karena tubuhnya yang masih gemuk.
Vania masuk ke dalam rumahnya, lalu menceritakan pada Ibu Rani bahwa ia berhasil menjual cincinya.
"Ini Bu, aku bayar hutang yang kemarin!" Ucap Vania sambil memberikan sejumlah uang pada mertuanya itu.
"Nggak usah diganti, sudah kamu pegang saja untuk kebutuhan Arzan!" Ibu menolak uang pemberian Vania, lalu Vania masuk ke dalam kamarnya.
Bruukk ...
Tristan meletakkan tasnya di atas meja. "Buatkan aku kopi ya, Ma!"
Yurika beranjak ke dapur untuk membuatkan kopi permintaan suaminya itu.
"Mas, kamu nggak ngapa-ngapain kan sama janda itu?" Tanya Yurika seraya memberikan secangkir kopi pada suaminya.
"Nggak!"
"Dia habis beli apa ke pasar? Tadi aku lihat, dia nggak bawa apa-apa!"
"Dia habis jual perhiasannya untuk membayar hutang Erik. Ternyata Erik mempunyai hutang sebanyak lima puluh juta pada bank."