Yurika tertawa, "mati bukannya meninggalkan warisan, tapi malah meninggalkan hutang."
"Sssttt ... Mama! Orang lagi kesusahan kok malah ditertawakan!" Ucap Tristan.
Terbukti benar, apa yang ada dalam benak Vania, jika Yurika tahu masalahnya, pasti ia hanya menertawakannya. Senang ketika melihat orang susah, susah ketika melihat orang senang, itulah Yurika.
"Oh ya Ma, papa tadi beli kebab nih!" Ucap Tristan sambil memberikan kebab itu pada sang istri.
"Ya Ampun Papa, Mama kan lagi diet. Mama nggak mau ah!" Tolak Yurika sambil membuang mukanya.
"Yakin nih ga mau?"
"Iya, Mama nggak mau!" Ucap Yurika, walau sebenarnya dalam hati sangat ingin, tapi ia harus menahannya demi mempunyai tubuh langsing seperti Vania.
"Nanti Mama ribut lapar. Udah nih makan!" Ucap Tristan yang tetap memberikan kebab itu pada Yurika.
Sedangkan Vania, ia termenung di dalam kamarnya. Hatinya masih remuk, seakan tak punya asa yang dinanti. Andai saja Arzan tidak ada, mungkin ia akan mengakhiri hidupnya. Beruntung ada Arzan yang menjadi alasannya untuk terus berjuang.
Vania mengambil gawai miliknya, ia menghubungi Kak Virna, kakak kandung satu-satunya yang ia punya. Vania menanyakan kepada Kakaknya itu tentang lowongan pekerjaan dikantor suaminya. Vania berharap bisa mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat.
"Mama!" Panggil Arzan yang baru saja pulang mengaji, ia bersalaman kepada sang mama, lalu ia memberikan sebuah amplop kecil kepada sang mama.
"Apa ini?" Tanya Vania sambil membuka amplop tersebut. Amplop tersebut berisi uang dua ratus ribu rupiah.
"Itu dari guru ngaji aku, Ma!"
"Alhamdulillah ..." Ucap syukur Vania karena ia masih diberikan rejeki oleh Allah walaupun ia tidak bekerja. Tidak semua orang punya gaji, tapi semua orang bahkan semua makhluk dimuka bumi ini punya rejeki.
Vania tidak ingin terus berharap belas kasih dari orang lain, ia harus bekerja.
[Vi, gimana ditempat kerja lo ada lowongan ga?]
Vania mengirim pesan pada Vita, teman SMA-nya.
[Yah, belum ada Van. Nanti kalau ada gue hubungi lagi ya]
[Oke]
Vania menghubungi temannya yang lain. Karena ia tidak ingin berputus asa dalam mencari rejeki. Tak lama kemudian, ada salah seorang dari teman Vania yang menginfokan lowongan pekerjaan, Vania langsung mencatat nama perusahaan dan juga alamatnya karena besok ia berniat akan mendatanginya.
****
Vania sudah bersiap-siap untuk wawancara pada hari ini, dengan membawa surat lamaran yang sudah ia persiapkan, ia berharap akan diterima bekerja. Ia memakai kemeja berwarna abu tua, yang sudah terlihat sempit karena sudah lama tak dipakai, ini adalah kemejanya saat ia masih SMA.
Vania menitipkan Arzan pada Ibu Rani agar nanti di jemput saat pulang sekolah.
"Aku pamit ya, Bu!" Ucap Vania seraya mencium punggung tangan Ibu Rani.
"Iya, semoga diterima kerjanya!"
"Aamiin ..."
Ketika Vania keluar rumah, Tristan sedang mengeluarkan mobilnya.
"Arzan, yuk bareng Papa!" Ajak Tristan, lalu Arzan berlari menaiki mobilnya.
"Van, kamu mau kemana?" Tanya Tristan sambil memandang Vania dari ujung kepala sampai ujung kaki. Vania yang dipandang seperti itu merasa tidak nyaman.
'Cantiknya Vania,' batin Tristan, karena wajahnya memakai makeup tipis-tipis, tapi tetap terlihat cantik dengan rambut yang ia biarkan tergerai panjang.
"Mau melamar pekerjaan, Mas!"
Tristan mengajak Vania untuk bareng bersamanya, karena tempat wawancara yang akan Vania datangi letaknya tidak jauh dari kantor tempat Tristan bekerja. Vania pun langsung masuk ke dalam mobilnya.
Setelah sampai di sekolah Arzan, Vania mengantar Arzan sampai gerbang sekolah. "Mama cuma antar sampai sini ya, karena Mama mau melamar pekerjaan. Kamu jangan nangis ya! Nanti pulangnya dijemput Nenek!" Ucap Vania sambil memegang pundak sang anak, lalu Arzan masuk ke dalam sekolahnya. Setelah itu, Vania kembali naik ke mobil Tristan.
"Keanu, bekal yang tadi Mama siapkan sudah dibawa kan?" Tanya Tristan.
"Sudah, Pa."
"Bagus. Sekarang kita meluncur ke sekolahan kamu!"
Setelah sampai di Sekolah, Keanu bersalaman dengan Tristan dan Vania, lalu ia masuk ke dalam.
"Van, duduknya di depan aja!" Titah Tristan. Vania langsung menurut saja, ia berpindah tempat duduk ke sebelah Tristan.
Tristan kembali melirik Vania, ia melirik jari-jari Vania yang lentik, kulit tangannya yang putih dan bersih, lalu pakaiannya yang ketat membuat lekuk tubuhnya terlihat. Janda beranak satu ini selalu memuaskan pandangan mata Tristan.
"Mas, ayo jalan, aku takut telat!" Titah Vania.
Tristan sampai lupa kalau ia harus mengantar Vania ke gedung tempat wawancara, setelah itu ia harus berangkat ke kantornya.
Vania memandangi jalanan yang padat merayap, kemacetan menandakan bahwa pagi adalah waktunya para pencari rejeki untuk berjuang. Berjuang dengan kemacetan agar tidak telat sampai di kantor, lalu setelah sampai di kantor, harus berjuang dengan pekerjaan yang dituntut sempurna oleh atasan, itulah hidup memang penuh perjuangan.
"Kamu dapat info lowongan pekerjaan dari mana, Van?" Tanya Tristan seraya melirik Vania.
"Dari temanku, Mas!"
"Semoga diterima ya!"
"Aamiin ..."
Vania berharap, doa-doa orang terdekatnya dikabulkan, ia bisa secepatnya mendapat pekerjaan.
Akhirnya sampai di gedung tempat Vania akan melaksanakan wawancara, sebelum turun dari mobil, Tristan memberikan uang sebesar tiga ratus ribu padanya.
"Pegang ya Van, untuk ongkos kamu pulang!" Ujar Mas Tristan.
Lagi-lagi Vania menerima uang pemberian kakak iparnya itu.
Cuaca hari ini secerah, secerah harapan Vania pada kantor yang akan ia datangi hari ini. Semoga harapannya menjadi nyata.
Vania mulai masuk ke dalam gedung, sebelumnya ia tidak pernah masuk ke dalam gedung perkantoran. Ia menanyakan lantai dan ruangan tempat wawancara, lalu security menunjukkannya.
Vania memang terlihat norak, karena ia baru sekali ini menginjakkan kakinya di gedung perkantoran.
Dag ... Dig ... Dug ...
Sebelum memasuki ruangan, jantung Vania terasa berdegub kencang, lalu ia melihat ada beberapa orang yang juga ingin wawancara. Ia langsung mengisi formulir data diri, lalu memberikan surat lamarannya kepada pegawai yang membantu mewawancarai.
Vania menunggu giliran, nanti namanya akan dipanggil.
"Vania Intan Kamila."
Nama Vania sudah dipanggil. Ia langsung masuk ke dalam ruangan.
"Silahkan duduk!" Ucap seorang yang mewawancarai Vania. Ia memandangi wajah Vania, Vania merasa tidak nyaman dipandang seperti itu oleh laki-laki.
"Nama kamu Vania Intan Kamila?"
"Iya, Pak!"
"Namanya cantik ya, secantik orangnya!"
Vania hanya tersenyum mendengar ucapannya.
"Sebelumnya sudah pernah bekerja dimana?" Tanya orang yang mewawancarainya tersebut sambil melihat-lihat surat lamaran yang sudah ia berikan.
"Belum pernah bekerja, Pak!" Jawab Vania sambil tersenyum.
"Sayang sekali, cantik-cantik tapi belum pernah bekerja."
"Kamu hanya lulusan SMA?"
"Iya Pak!"
"Maaf, status kamu sudah menikah atau belum?"
"Sudah pernah menikah, tapi suami saya sudah meninggal, Pak!"
"Oh, jadi kamu janda?"
"Iya, saya janda, Pak!"
"Kalau disini, saya carinya karyawan minimal lulusan D3 dan juga sudah berpengalaman, minimal satu tahun bekerja. Mohon maaf, saya tidak bisa menerima karyawan yang hanya lulusan SMA dan belum berpengalaman seperti kamu."
Yang sebelumnya wajah Vania terlihat sumringah, tiba-tiba berubah menjadi masam. Harapannya untuk dapat diterima bekerja ditempat ini telah sirna.