"Hei, Tuan! Apa kau ini tuli?! Aku sedang berbicara dengan Anda!"
Alika sudah berteriak-teriak, tetapi suaranya seolah tidak didengar oleh pemuda tersebut, hingga akhirnya Alisa dibuat geram olehnya dan menarik lengan pemuda itu. Sontak saja pemuda tersebut terkesiap ketika tubuhnya berada sangat dekat dengan Alika.
Gadis itu mengejapkan matanya sama-sama terkesiap ketika tidak ada lagi jarak di antara keduanya. Hanya helai pakaian yang memisahkan sepasang anak manusia ini.
Keduanya berada dalam satu sudut pandang, semilir angin yang menghembus pelan membuat helai rambut Alika berterbangan, menyapu matanya yang indah, menciptakan debaran di hati Alika.
"Lepaskan aku!"
Alika mendorong pemuda itu setelah berhasil mendapatkan kesadarannya. Dia membuang pandangannya, berpura-pura tidak terjadi sesuatu tadi. Alika bersiul pelan sambil melihat ke arah atas seperti sedang mencari sesuatu di sana.
Sementara itu, pemuda tersebut memilih untuk tidak mempedulikannya. Dia melihat sekitarnya, setelah dirasa aman baru selanjutnya dia mulai melangkah mengayunkan kakinya meninggalkan Alika yang masih asyik dengan caranya menghilangkan kegugupan.
Alika memandang pemuda itu dari belakang, matanya terus terpaku pada sosok pemuda yang baru pertama kali ditemuinya itu.
Alika bisa menebak bahwa pemuda itu sebenernya bukan orang asli yang tinggal di sekitar wilayah tersebut karena Alika hampir mengenal semua orang yang ada di sana.
Setelah pemuda itu menghilang dari pandangannya barulah Alika menyadari kalau hari sudah mulai gelap. Tanpa terasa waktu telah berjalan begitu lama setelah dirinya pulang sekolah.
"Aku harus cepat-cepat sampai rumah atau Ibu akan cemas nantinya."
Alika buru-buru meraih tasnya yang berada di tanah, dia berlari sekencang mungkin untuk meninggalkan tempat tersebut menuju halte bus yang jaraknya tidak jauh dari sana.
Alika akhirnya sampai di rumah juga saat hari sudah mulai menampakkan malam. Dia bergegas masuk rumah dan mencari keberadaan Agatha.
"Ibu!"
Belum sempat dia mencari lebih jauh, Agatha sudah lebih dulu menyambutnya dengan pelukan. Sesungguhnya Agatha telah menantikan kepulangan Alika sejak tadi. Agatha terus mondar-mandir di depan pintu, ketika dirinya hendak pergi ke dapur untuk mengambil minum saat itu juga Alika menampakkan dirinya.
"Ibu sangat mencemaskan dirimu, Sayang. Kemana saja kau pergi, mengapa jam segini kamu baru kembali, Sayang?"
Alika dapat merasakan kecemasan dari ibunya, dia membalas pelukan tersebut sambil berurai air mata. "Maafkan Alika, Bu karena Alika pulang terlambat."
Dia sungguh menyesali perbuatannya yang sudah membuat Agatha menangis. Ada perasaan sesal yang sangat membelenggu dalam hati Alika. Agatha pun membelai rambut putrinya.
"Lain kali jika ingin pergi kemana-mana, beritahu ibu. Jadi Ibu tidak khawatir seperti ini, Sayang."
Agatha perlahan melonggarkan pelukannya, lalu menatap gadis sang pemilik manik hitam tersebut. Agatha mengusap kedua pipi putrinya yang basah akibat air mata.
"Jangan menangis, Sayang. Ibu tidak marah denganmu. Jadi untuk apa kau menangis?"
Biarpun sudah ditenangkan, tetapi Alika tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya. Dia masih terisak-isak walau air matanya tidak lagi turun deras seperti sebelumnya.
"Tapi ... Bu ..." Dia terbata-bata, napasnya sedikit tersendat akibat air mata yang tidak bisa dia tahan. Agatha kembali memeluk putrinya, putri kecilnya. Biarpun usianya sudah beranjak remaja, di mata Agatha, Alika tetaplah putri kecilnya yang tidak bisa pergi tanpa dirinya.
"Sudahlah, tidak usah menangis seperti ini, Sayang. Sebaiknya kau pergi ke kamar dan berganti pakaian. Setelah itu kita makan bersama. Ibu sudah memasak makanan kesukaan kamu, Sayang. Jadi, jangan menangis lagi, Ya. Sayang."
Perkataan ibunya membuat Alika tenang, terutama saat ibunya tersenyum menambah ketenangan dalam hati Alika. Dia pun mengangguk pelan, sambil menyeka air mata yang masih membasah di pipi.
"Ayo, cepat. Ganti pakaian, lalu setelah itu kita makan." Agatha pun menutup perbincangannya sambil mengecup kening putrinya dan Alika pun mengiyakan perkataan ibunya.
Alika mulai mengayunkan kakinya pergi menuju kamar yang ada di lantai dua. Agatha, tersenyum lebar ketika memandang punggung putrinya. Alika pun berbalik badan sejenak, lalu melambaikan tangan sambil mengulas senyuman ceria. Baru setelahnya Alika menapaki anak-anak tangga.
Agatha tidak bisa membendung air matanya, sehingga dia kembali menangis. Ketika dirinya hanyut dalam lamunan, saat itu juga Agatha dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja menarik tangannya. Seketika itu juga, Agatha dibawa pergi menuju ke suatu tempat yang jauh dari kata ramai.
Mata Agatha membulatkan matanya ketika dia mengetahui orang yang telah membawanya ke tempat tersebut.
"Kau ..." Seketika napas Agatha memburu, pria yang ada di hadapannya sekarang bukanlah orang asing, melainkan orang yang sudah lama dirinya kenal.
"Mengapa kau membawaku ke tempat ini, Devan?"
Mendengar pertanyaan tersebut, pria yang sudah matang usianya itu langsung berbalik badan, menapakkan dirinya di depan Agatha.
Namanya, Devan. Benar, dia adalah Devanca, pria lajang yang tinggalnya di seberang rumah Agatha. Sudah sejak lama keduanya bertentangan dan Alika begitu menyayangi Devan, seolah pria yang memiliki senyuman hangat tersebut adalah ayahnya.
"Ada apa ini, Devan? Mengapa kau membawaku ke tempat ini? Di mana kita sekarang? Apakah Alika mengetahui kalau kau membawaku kemari? Bagaimana jika dia mencari diriku dan mendapati aku yang tidak ada di sana?"
Wanita dewasa itu pun kini dibalut kecemasan, memikirkan Alika yang berada jauh darinya sekarang. Keberadaannya bukan lagi dipisahkan oleh jarak saja, tetapi ruang dan waktu juga.
Devan sendiri masih diam tak bergeming, sambil memandang Agatha dari atas sampai bawah. Bukan bermaksud untuk berpikiran yang buruk, tetapi Devan merasa perihatin dengan kondisi Agatha sekarang.
"Mengapa kau sangat kacau, Yang Mulia?" tanyanya, sambil menghela napas panjang. Ada sedikit rasa kasihan ketika melihat Agatha setelah kejadian beberapa hari yang lalu.
Mendengar sebutan 'Yang Mulia' yang terlontar dari mulut Devan membuat Agatha dibawa kembali pada kehidupannya seratus tahun yang lalu.
Sudah banyak hal yang telah berlalu, tetapi Devan masih kerap memanggilnya dengan sebutan 'Yang Mulia' yang mungkin tidak pernah sekalipun diketahui oleh banyak orang, termasuk Alika, putrinya sendiri.
"Sudah aku katakan, jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu. Aku bukan lagi Ratu di kerajaan Aqua atau istri dari pemimpin Kerajaan Aqua dan aku bukan lagi putri dari Kerajaan Miracle yang pemberani!" tegas Agatha.
Agatha pun menegaskan kalau dia tidak lagi ingin dipanggil dengan sebutan 'Yang Mulia' karena itu mengingatnya akan masa lalu yang telah berlalu.
Agatha juga menambahkan andai sekali lagi Devan menyebutkannya dengan sebutan 'Yang Mulia' apa lagi di depan Alika, maka dia tidak akan segan-segan membuat Devan menyesal nantinya.
Devan pun akhirnya mengangguk pelan dan menyetujui permintaan tersebut. Walaupun berat, tetapi dia harus patuh pada perintah Agatha. Permintaannya adalah perintah bagi Devan yang harus dipatuhi.
Agatha pun bisa bernapas lega mendengar jawaban tersebut. Namun, sekarang pikirannya kembali terpaku pada sosok pria yang ada di hadapannya.
Devanca ...