Chapter 23 - Chapter 23

Tidak ada permintaan terakhir yang dapat Devan sampaikan. Dia hanya ingin melihat Agatha selalu bahagia dan dapat melanjutkan kehidupannya yang lebih baik lagi.

Algojo itu pun telah siap dengan pedang di tangannya. Dia mendekati Devan yang saat ini tubuhnya sudah dibaringkan. Bagian kepalanya sudah terjepit batang kayu sehingga akan mempermudah algojo itu memenggal kepala Devan.

Mata Devan pun telah ditutup kain hitam sehingga dia tidak dapat melihat proses kematiannya tersebut. Sesungguhnya Devan sudah pasrah akan nasibnya tersebut, baginya hidup pun akan terasa hampa andai tidak ada Agatha di sisinya. Lebih baik dirinya mati, daripada harus melihat Agatha menderita. Setidaknya itulah yang Devan pikirkan sekarang.

Namun, Lain dengan Agatha. Ketika jarak pedang itu hanya berkisar beberapa sentimeter saja, saat itulah Agatha berteriak.

"Hentikan!"

Suaranya yang lantang dan mengandung kekuatan besar dapat didengar oleh semua orang yang ada di sana. Termasuk Algojo dan Devan.

"Agatha!" Devan bergumam, dia mencari letak di mana Agatha berdiri sekarang karena matanya yang ditutup kain membuat Devan sulit melihat keberadaan Agatha.

"Yang Mulia!"

Algojo itu seketika membulatkan matanya, bukan karena kehadiran Agatha saja, tetapi gadis cantik itu datang bersama dengan ayahnya, yaitu penguasa kerajaan Miracle.

Semua orang termasuk Algojo itu langsung membungkukkan tubuh mereka berada dalam posisi sujud. Hal tersebut mereka lakukan karena keberadaan Raja Miracle.

Agatha menatap lirih seseorang yang saat berada  diambang Kematian. Andai dirinya datang lebih lama lagi, maka kemungkinan Devan tidak akan selamat.

Agatha ingin sekali berlari pada Devan, membebaskan pria yang dicintainya itu, lalu memeluknya dengan erat. Namun, langkahnya harus terhenti saat sang Ayah meraih tangannya. Agatha pun tidak dapat berbuat apa-apa. Dia menahan dirinya untuk tidak berlari pada Devan.

Pria paruh baya dengan janggut putih panjangnya itu pun mulai melangkahkan kakinya. Tidak ada satu orang pun di sana yang berani mengangkat kepala dan menatap maniknya.

Pria paruh baya itu berjalan mendekati Devan, yang saat ini matanya tengah tertutup, sehingga dirinya tidak mengetahui kedatangan sang Raja. Agatha pun hanya bisa mengelah napas dari waktu ke waktu. Ingin rasanya dia menemui Devan dan memeluknya. Namun, dirinya sudah berjanji pada sang Ayah untuk tidak menemui Devan kembali.

Pria paruh baya itu mengangkat tangannya, seketika Agatha pun langsung bereaksi. "Jangan, bunuh dia!" teriakannya dari kejauhan.

Pria paruh baya itu memandang ke arah sang putri, dia pun menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa dirinya tidak akan mengingkari janji yang sudah disepakati bersama-sama.

Pria berkepala plontos yang bertindak sebagai algojo itu tidak dapat mengangkat kepalanya. Biarpun dirinya ingin sekali melihat bagaimana Sang Raja menghukum Devan, tetapi dia tidak kuasa untuk menatap langsung manik sang Raja.

Agatha pun mengelah napas lega, dia sangat cemas memikirkan bagaimana ayahnya tersebut akan menghukum Devan. Namun, kecemasannya tersebut kita telah hilang karena sang ayah menepati janjinya.

Sang penguasa itu pun membuka penutup mata Devan, menunjukkan dirinya di hadapan pemuda tersebut. Sontak saja mata Devan terbelalak, dirinya tidak mengetahui sebelumnya kalau Raja Miracle pun turut hadir di tempat ini.

Biarpun dalam keadaan lemas dan napas yang terputus-putus, tetapi Devan masih bisa mengenali dengan jelas sang Raja penguasa kerajaan Miracle tersebut. Devan juga tetap menunjukkan sikap hormatnya di depan Ayah sang kekasihnya tersebut.

Pria paruh baya itu pun melepaskan semua rantai yang membelenggu diri Devan, dengan sekali mengibaskan tangannya saja. Dia juga sedikit mengalirkan energi pad tubuh Devan, agar pemuda tersebut dapat pulih kembali.

Devan pun perlahan-lahan mulai berdiri. Namun, karena yang ada di hadapannya sekarang adalah Raja Miracle, maka Devan pun langsung bersujud di lantai.

Sang Raja pun mengelah napas berat, seraya memejamkan matanya. Rasanya dia ingin sekali membunuh pemuda yang saat ini berada di depannya karena telah berani mencintai putrinya.

Namun, demi kebahagiaan Agatha serta janji yang sudah membuatnya harus membiarkan Devan tetap hidup, sesuai yang Agatha inginkan.

"Bangunlah!" kata pria paruh baya itu.

Devan pun langsung mengikuti perintah tersebut. Dia perlahan mulai berdiri, walaupun tubuhnya belum mendapatkan keseimbangannya. Devan berusaha agar berada dalam posisi tegak, tetapi kepalanya tetap menunduk.

"Pergilah dari kerajaan ini dan bila perlu tinggalkan planet ini. Kehadiranmu di sini sudah tidak lagi diperlukan. Kau adalah aib bagi Kerajaan ini!" seru pria paruh baya itu dengan napas yang menggebu-gebu.

Devan tak kuasa menahan dirinya untuk tidak membulatkan mata dan memandang langsung sang Raja. Sementara itu, Agatha mencoba untuk tidak menitihkan air mata, walau berat. Namun, dirinya harus bisa tegar.

"Pergilah dari kerajaan sebelum nama baik kerjaan Miracle menjadi buruk di mata para pemimpin yang lain," tutur Sang Raja. Dia bahkan tidak melihat sedikit pun Devan.

Agatha yang mendengarkan dari kejauhan hanya bisa memejamkan matanya seraya menahan bulir bening yang ingin menerobos keluar. Bibirnya sampai tak kuasa untuk berkata. Sebagai seorang putri dirinya tidak dapat berbuat apa-apa dan sebagai kekasih pun dia hanya bisa diam saja.

Sementara itu Devan mencoba menata hatinya. Dia memandang ke arah Agatha yang tengah berdiri membelakanginya. Devan tahu saat ini kasihnya sedang mencoba untuk tidak menangis dan hal serupa pun tengah dirinya lakukan.

Devan menarik napasnya dalam-dalam, mencoba untuk menguatkan hatinya yang tengah rapuh. Bukan hanya rapuh, tetapi telah hancur berkeping-keping. Dirinya yang bercita-cita menjadi seorang ksatria hebat dan dapat melindungi tanah kelahirannya, harus berakhir seperti ini, bukan sebagai ksatria melainkan dianggap sebagai aib bagi Kerajaan.

"Jika ini, Yang Mulia inginkan, maka aku akan pergi meninggalkan kerajaan dan planet Airraksa," tutur Devan, sembari melirik ke arah Agatha yang masih berdiri membelakanginya.

"Aku siap untuk meninggalkan kerajaan ini dan aku tidak akan pernah menunjukkan diri lagi di planet ini," tegasnya seraya menahan bulir beling yang mencoba menerobos keluar.

Agatha berbalik badan. Dia memandang Devan yang tengah menundukkan kepala seraya mengelah napas secara perlahan-lahan. Agatha dapat merasakan sesak yang saat ini mengungkung tinggi di hati Devan. Andai dirinya memiliki kemampuan lebih, maka dia sudah melarikan diri bersama Devan.

Namun, Agatha bisa apa? Dia hanya bisa diam dan mungkin mengikhlaskan kepergian Devan dari kerjaan ini, bahkan tidak akan ada lagi seorang Devan di planet ini.

"Bolehkah aku meminta satu permintaan padamu, Yang Mulia?" pinta Devan dengan suara lirih.

Pria paruh baya dengan janggut putih itu mengangguk, "Cepat katakan, apa permintaanmu?"

Devan pun melirik ke arah Agatha sejenak, sebelum akhirnya menjatuhkan pandangannya pada sang Raja. "Aku hanya ingin Yang Mulia Putri Agatha selalu bahagia. Jangan salahkan dirinya apa lagi menghukumnya karena semua ini adalah kesalahanku."

Pria paruh baya itu memejamkan matanya. Ada rasa kesal yang bergejolak sangat hebat dalam hatinya. Namun, dia sekeras mungkin untuk menahan emosi tersebut.