Agatha pun tersungkur ke lantai, sesaat setelah Alika dan Devan meninggalkan rumah. Tubuhnya lunglai dan tidak memiliki tenaga. Menghadapi semua pertanyaan Alika membuatnya harus mengambil keputusan yang berat.
Entah yang dirinya katakan adalah demi kebaikan Alika, atau itu semua dari alam bawah sadarnya. Masihkah dirinya berharap cinta Devan? Itukah yang saat ini dia rasakan, atau semua ini hanya mimpinya saja?
Agatha pun merasa malu pada dirinya sendiri, "Mengapa aku mengatakan hal tersebut? Kenapa juga aku membiarkan Alika memanggilnya dengan sebutan Ayah?"
Sebuah meja pun dia jadikan sebagai pelampiasan kemarahannya karena telah berkata bodoh di depan putrinya. Sesungguhnya dirinya tidak benar-benar bermaksud untuk meminta Alika memanggil Devan dengan sebutan Ayah. Akan tetapi, mengapa kata itu harus terlontar dari bibirnya?
"Dasar bodoh! Mengapa masalah seperti ini harus datang sekarang?"
Agatha mengutuk dirinya sendiri karena sudah mengatakan hal bodoh yang sebenarnya tidak perlu dia lakukan hanya untuk membahagiakan Alika. Saat ini yang seharusnya dia pikirkan adalah bagaimana cara dia melindungi Alika dari jerat Orion dan para pengikutnya?
Dia tentu masih ingat betul ucapan Zeus tentang kedatangan Orion di planet ini. Biarpun belum dapat dipastikan kapan itu terjadi. Namun, beberapa dari pengikut Orion sudah berada di planet ini.
Mungkinkah Dewa sudah menakdirkannya hal ini? Agatha mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit. "Ayah! Mengapa aku harus dipertemukan kembali dengannya? Takdir sungguh mempermainkan perasaanku, Ayah. Bagaimana bisa Putriku, cucumu itu harus memanggil Devan, yang jelas-jelas sangat kau benci itu, dengan sebutan Ayah?"
Agatha pun tidak bisa mengendalikan kristal bening yang berusaha menerobos pertahannya. "Ayah! Andai, aku tidak pergi dari Planet Airraksa, mungkin diriku tidak akan bertemu dengan Devan kembali," sesalnya dengan kristal bening yang sudah membasahi pipi.
Ada rasa sesal yang mengungkung tinggi di hatinya. Mengingat kembali bagaimana dia harus pergi meninggalkan Arthur di sana, seorang diri dengan keadaan suaminya yang terluka?
Ingatan Agatha dibawa kembali pada kejadian, di malam terakhir dirinya bersama Arthur. Sungguh itu menjadi hari yang sangat berat. Bukan hanya melukai hatinya, tetapi Arthur juga dan mungkin Alika yang saat itu masih berada di dalam kandungannya.
****
Flashback
"Cukup, jangan sentuh diriku, Arthur! Kau tidak lagi pantas disebut Ayah dari anak ini. Selama ratusan tahun kita sudah menantikan kehadirannya, dan sekarang … Kau mengatakan ingin membunuhnya. Ayah seperti apa dirimu?!"
"Di mana rasa kasih sayangmu, Arthur? Dia ini anakmu, darah dagingmu yang seharusnya kau jaga dengan segenap jiwa, dan bukan berpikir untuk mengakhiri nyawanya!''
"Ini semua demi keselamatan nyawanya. Aku melakukan ini semata-mata ingin melindungi anak kita dan Kerajaan ini! Sungguh, aku tidak berniat membunuhnya. Kau dan aku telah menantikan dia, menunggu tangisannya mewarnai Istana ini, tetapi dia tidak bisa hidup untuk sekarang. Mohonlah untuk mengerti, Agatha!''
"Tidak ada yang harus dimengerti! Kau hanya dibutakan oleh kekuasaan. Seorang Ayah tidak akan berpikir untuk membunuh buah hatinya, hanya demi kesenangannya semata!''
"Astaga, sudah berapa kali kukatakan! Diriku sama sekali tidak memiliki niat membunuh anak kita hanya untuk kekuasaan. Keputusan ini kuambil semata-mata untuk melindungi Rakyat Aqua dari kekejaman Orion. Mohon untuk mengerti …''
''Agatha, biarkan aku melakukannya tanpa rasa bersalah. Percayalah, aku pun tidak ingin mengorbankan dia. Akan tetapi, saat ini kelahirannya akan membawa bencana besar bagi Tiga Kerajaan, kemungkinan Planet Airraksa pun akan hancur. Keseimbangan Alam Semesta akan kacau … Mohon untuk memahami keadaannya sekarang, Agatha.''
"Cobalah untuk mengerti, Agatha. Saat ini ratusan ribu pasukan yang dipimpin langsung Raja Orion, mulai bergerak untuk melawan Bangsa kita. Tujuannya hanya satu, yaitu merebut Immortality yang ada pada anak kita. Aku tidak ingin dia mati di tangan Orion, dan Immortality jatuh padanya. Apa kau ingin Planet Airraksa dipimpin Raja seperti dia? Kau ingin Tiga Kerajaan tunduk di bawah perintah Raja biadab seperti dia? Cobalah untuk mengerti ….''
"Jika, memang demikian. Maka, jangan salahkan diriku yang harus pergi. Bagaimana juga, aku tidak akan menyerahkan bayi dalam kandungan ini pada pria seperti dirimu, yang hanya memikirkan Kerajaan saja!"
Agatha bersikeras untuk menjaga bayi yang ada di dalam kandungannya. Dia tidak peduli, dan memilih acuh dengan semua perkataan Arthur. Baginya, bayi tersebut sangat berharga bahkan tidak ada kebahagiaan yang dapat dirinya terima selain menimang seorang anak.
Arthur mengelah napas, sebelum akhirnya berbicara kembali, "Kau tidak akan bisa pergi dari Kerajaan ini. Seluruh penjuru Planet Airraksa bahkan sudah dipasang dinding kekuatan Lunar. Siapa saja yang ingin keluar dari Planet ini, maka Orion akan mengetahuinya dengan mudah. Ketika itu terjadi, kau tidak akan bisa lolos darinya."
Ancaman tersebut nyatanya tidak membuat Agatha menjadi takut. Sebaliknya dia semakin ingin mempertahankan bayinya itu, bagaimana pun caranya juga.
Arthur mencoba untuk mendekat. Namun, saat itu juga Agatha mengangkat tangannya. "Berhenti di sana, Arthur! Satu langkah lagi kau mendekat, maka aku tidak segan-segan menggunakan kekuatan untuk melawan dirimu. Aku bukan hanya Ratu di Kerajaan Aqua saja, tetapi aku juga Dewi dari bangsa Miracle. Bagaimanapun kekuatan kita berimbang. Andaipun kita bertarung, maka aku tidak akan kalah darimu!"
Arthur tersenyum pahit. Dia memijat pelan kepalanya yang mulai terasa sakit, andai perdebatan ini tetap dilanjut. Bukan tidak mungkin, dirinya akan mengambil tindak tegas, seperti yang terlihat. Diskusi tidak menemukan jalan keluar, sebaliknya semakin memperburuk situasi sekarang. Tidak ada cara lain, yaitu dengan bertarung andai itu bisa menyelesaikan semuanya.
Agatha terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengelah napas panjang dan menyadari, yang dikatakannya bisa membawa dampak buruk yang lebih besar lagi. Menantang Arthur sama saja menyerahkan nyawa. Hal yang seharusnya dia sangat hindari.
Namun, Agatha telah mengibarkan bendera perang, yang artinya sekarang Arthur bukan lagi suaminya, melainkan musuh baginya.
"Kau sendiri yang sudah mengatakannya, Agatha. Jangan salahkan diriku andai pada akhirnya, aku menggunakan kekuatan untuk membuat dirimu mengerti …."
Agatha menelan salivanya, yang ditakutinya akan segera terjadi. Sudah dapat dibayangkan bagaimana kekuatan besar yang akan Arthur tunjukkan.
Agatha menekan perutnya, seolah sedang memeluk anaknya. Hal yang langsung terlintas dalam benaknya adalah, Arthur akan sangat mudah membunuh bayinya andai itu terjadi.
Arthur tidak lagi bisa menahan emosinya dan begitu juga dengan Agatha. Dirinya tidak memiliki niatan untuk mempertahankan rumah tangannya bersama Arthur.
Sorot mata berwarna biru laut itu sudah berubah merah. Menandakan keseriusan dia untuk menggunakan kekuatan, demi mendapatkan apa yang diinginkannya.
Agatha tidak bisa diam begitu saja. Dirinya juga memiliki kewajiban untuk melindungi anak dalam kandungannya, meskipun lawan di hadapannya adalah suami, sekaligus Ayah dari bayinya.
"Aku berikan satu kesempatan lagi untukmu. Menyerahkan bayi itu secara baik-baik, atau …."