Chapter 24 - Chapter 24

"Baik, kalau begitu saya akan pergi dari kerajaan ini, bahkan dari planet ini dan tidak akan pernah menunjukkan diri di hadapan kalian semua."

Pada kalimat terakhirnya, Devan menjatuhkan pandangannya pada Agatha yang tengah menatapnya lekat. Kedua netra mereka saling bertemu dalam garis lurus, ada kesedihan dan rasa yang begitu mendapat. Namun, baik Agatha maupun Devan sama-sama diam karena tidak ingin ada yang terluka kembali.

Perlahan-lahan tubuh Devan mulai mengeluarkan cahaya. Seberkas cahaya menyelimuti tubuhnya. Agatha pun tampak memejamkan matanya. Dia tidak memiliki kekuatan untuk bisa melihat sang kekasih pergi untuk selama-lamanya.

Sementara itu, para rakyat kerajaan Miracle pun mengangkat kepala begitu juga dengan pria berkepala plontos yang bertindak sebagai algojo itu. Mereka menyatukan pandang pada pemuda yang dianggap sebagai aib itu.

Tubuh yang berselimut cahaya, perlahan berganti menjadi butiran-butiran kecil yang membuat Devan menghilang. Agatha tidak dapat menahan air matanya. Dia menangis. Ya, dia menangis tersedu-sedu. Sungguh dia sakit, perih dan tidak sanggup melihat sang kekasih pergi seperti ini.

Namun, ini adalah pilihan terakhir. Agatha tidak ingin Devan mendapatkan hukuman pancung karena sudah mencintai dirinya. Itulah sebabnya Agatha menjalin perjanjian dengan sang Ayah.

"Ibu!"

Seketika panggilan lembut membuat Agatha tersadar dari lamunannya. Wanita yang tidak lagi muda itu pun menyeka air mata tanpa terasa sudah membasah di pipinya.

"Ibu menangis? Ibu, kenapa menangis?" tanya gadis manis bersurai panjang itu, seraya mengusap sisa air mata di pipi ibunya, yang tidan lain adalah Agatha.

"Tidak apa-apa, Sayang. Ibu baik-baik saja," akunya seraya mengulas senyuman di bibir, yang terlihat seperti dibuat-buat.

Setidaknya itulah yang Alika rasakan. Air mata ibunya telah membuktikan bahwa ada sesuatu yang tengah ia rasakan. Namun, bibirnya berusaha membohongi dengan kata-kata.

"Alika, tidak percaya." Dia mengembangkan pipinya, matanya mulai berkaca-kaca. "Hei, kamu jangan menangis, Sayang." Buru-buru Agatha menghapus air mata yang berusaha keluar dari manik indah sang putri tercinta.

"Ibu boleh memang, lalu kenapa aku tidak boleh?" sentaknya, yang membuat Agatha segera memeluknya.

"Maafkan Ibu, Sayang. Seharusnya Ibu tidak menangis di depanmu. Maafkan, Ibu sayang." Agatha menepuk-nepuk pundak Alika, dia membelai surai sang putri tercinta, mencoba untuk menenangkannya kembali.

Alika pun menangis sampai terisak-isak. Remaja cantik dan ceria itu dapat merasakan bahwasanya air mata yang coba ibunya tahan adalah tanda, bahwa dirinya tengah rindu dengan sang Ayah.

Ya, Alika berpikir kalau Agatha menangis karena merindukan suaminya, sosok pria yang belum pernah Alika lihat wajahnya.

Agatha sendiri pun menjatuhkan pandangannya pada sosok pria yang berdiri sedikit jauh di depan sana. Pria dewasa yang kini tengah dekat dengan putrinya tidak lain adalah mantan kekasihnya.

Ingatan akan sosoknya di masa lalu, kini terbayang kembali oleh Agatha. Nyatanya, hidup bersama dengan Arthur selama dua ratus tahun, tidak sedikit pun memudarkan cintanya pada Devan.

Detik-detik kepergian Devan dari kerajaan Miracle masih sangat membekas dalam benak Agatha. Bahkan sampai detik ini, ketika kembali membuka lembaran lama itu akan membuat dirinya tidak kuasa untuk menangis.

Betapa besarnya cintanya pada Devan, mengalahkan cinta yang telah dibaginya pada Arthur selama ratusan tahun. Agatha bukan tidak mencintai Arthur. Akan tetapi, Devan sebagai pemilik cinta pertamanya tidak akan pernah terhapus kan dalam hatinya.

"Sudah, Sayang. Kamu jangan nangis terus. Sebaiknya pergi sana, nanti kamu terlambat ke sekolah lagi."

Agatha melonggarkan pelukannya, dia menatap manik sang putri yang masih berlinang kristal-kristal bening. Dirinya segera mengusap air mata itu, menghilangnya dengan sedikit menggoda.

"Pergi sana, jangan buat ayahmu menunggu," tuturnya seraya melirikkan mata ke arah Devan, yang saat ini terpaku di sana.

Seketika Alika membulatkan matanya, dia menutup mulut dengan kedua tangan. Agatha pun mengangguk pelan, "Ya, Sayang. Jangan buat Ayahmu menunggu seperti ini," katanya kembali mengulang kata 'Ayah' yang semakin membuat Alika bahagia dibuatnya.

Senyuman menghias di bibir manis Alika. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya tatkala mendengar bahwasanya saat ini dirinya diperbolehkan memanggil Devan dengan sebutan Ayah.

Ya, ayah yang dimaksudkan adalah Devan dan bukan Arthur tentunya. Agatha terpaksa melakukan hal tersebut dikarena dia tidak ingin terus menerus melihat Alika bersedih dan juga dengan keberadaan Devan akan membuat Alika selalu aman.

Alika pun berbalik badan, pandangannya langsung jatuh pada sosok pria yang sudah sejak lama dirinya kenal. Alika tersenyum pada Devan dan dibalas dengan senyuman pula oleh pria dewasa itu.

Alika kembali menatap ibunya. Agatha melontarkan senyuman terbaik, walau sebenarnya itu adalah senyuman kesedihan yang coba dia sembunyikan.

"Terima kasih Ibu." Dia pun memeluk Agatha dengan begitu erat. Sementara itu, Agatha menatap lekat Devan yang berdiri mematung di sana.

Dirinya pasti memiliki pertanyaan besar mengapa Agatha mengatakan hal tersebut pada Alika, yang sebenarnya tidak perlu Agatha lakukan.

Alika pun melepaskan pelukannya, dia merasa bahagia sekaligus bahagia karena mendengar kabar ini, dan terutama setelah ini dia akan bisa memanggil Devan dengan sebutan Ayah.

"Aku sayang Ibu," katanya seraya mencium pipi kanan dan kiri ibunya.

"Ibu juga sayang kamu," balas Agatha dengan senyuman simpul.

Alika pun segera berpamitan, dia melambaikan tangan pada Agatha, setelah itu berlari menuju Devan. Agatha pun berusaha menjaga kesadarannya agar tetap terus terlihat bahagia di depan sang putri tercinta.

Sementara itu Devan pun tersenyum lembut pada Alika. Pria dewasa itu mengusap pucuk rambut Alika, seraya berkata. "Apa kamu sudah siap, Sayang?"

Pertanyaan itu langsung disambar dengan anggukan cepat, "Ya. Tentu, Ayah," ucapnya tanpa malu-malu.

Devan terkesiap, dirinya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar Alika manggilnya dengan sebutan Ayah. Andai dia bisa berkata, dirinya ingin Alika tidak memanggilnya dengan sebutan itu. Namun, melihat Agatha yang mengedipkan mata, membuat Devan memahaminya.

"Iya, Sayang. Aku kita pergi!" ajaknya seraya memutar tubuhnya. Ketikan dirinya hendak melangkah, Alika terlenih dahulu membuat Devan terkejut.

Tanpa diduga-duga, Alika menggenggam tangannya. Devan meliriknya. Akan tetapi, dia segera tersenyum menanggapi hal tersebut.

"Ayo!" ajaknya sembari tersenyum simpul.

Alika pun merasa bahagia, baru kali ini dia merasa sangat bahagia. Itu semua tidak terlepas dari peran Devan. Sudah sejak lama Alika memimpikan bahwa dirinya akan pergi sekolah bersama sang Ayah dan hari ini mimpinya itu terwujud juga.

Biarpun Devan bukan ayah kandungnya, tetapi Alika sudah merasa cukup bahagia karena ini lah yang dirinya inginkan. Memiliki sosok pria yang menjadi cinta pertama bagi seorang wanita.

Keduanya pun akhirnya menghilang dari pandangan, di waktu bersamaan Agatha pun tersungkur di lantai. Tubuhnya seketika lemas, tulang-tulangnya seolah meledak dan tidak lagi dapat menopang tubuhnya.